Oleh: Zaenal Arsyad Alimin
Kasus mega korupsi E-KTP yang menjerat Ketua DPR RI Setya Novanto (Red;SN) sebagai salah satu tersangka menjadi satu tamparan keras dalam perjalanan politik dan demokrasi di Negara Indonesia. Selain merugikan negara dalam jumlah yang fantastis, ini juga merugikan masyarakat secara luas karena susahnya untuk mendapatkan tanda identitas. Termasuk praktek pungli dalam proses pembuatan KTP merupakan salah satu dampak dari kasus ini.
Kita boleh dan dianjurkan untuk terpengangah, bagaimana mungkin seorang yang menjadi pimpinan tertinggi dalam institusi yang katanya mewakili kedaulatan rakyat tersebut melakukan tindakan yang begitu amoral, baik dalam kacamata agama maupun negara. Alih-alih menjadi wakil dari aspirasi dan kedaulatan rakyat, dia menjelma menjadi monster buas yang menghancurkan kedaulatan rakyat sendiri. Yang menjadi sangat ironi adalah saat negara dengan pemerintahnya sedang getol-getolnya memberantas praktek “brengsek” itu, dia sebagai salah satu pimpinan negara malah menjadi pendukung dalam praktek-praktek biadab tersebut.
Maka atas nama kebenaran dan kedaulatan rakyat, apapun alasan dan pembelaannya, tindakan korupsi yang amoral tidak bisa dibenarkan dalam kacamata apapun.
Lebih menyakitkan lagi bagi kita sebagai masyarakat adalah drama yang disuguhkan oleh para pendukung tindakan koruptif tersebut dan para penegak hukum dalam skenario kasus SN ini. Bagaimana mungkin praperadilan bisa memenangkan dan meloloskan SN dengan alasan yang tidak masuk diakal sehat kita serta meminta KPK untuk menghentikan pemeriksaan terhadapnya. Alasan sakit yang “dibuat-buat” telah menjadi benteng SN dari jeratan hukum. Lebih teramat sangat menggelikan ketika praperadilan memutuskan SN sebagai pemenang dan pemeriksaan harus dihentikan, dan seketika itu sakitnya sembuh dan penyakitnya hilang entah dibawa kemana dan oleh siapa. Maka sebuah hal yang pantas ketika tanggal 29 September diabadikan sebagai Hari Kesaktian Setya Novanto oleh berbagai lini masa. Karena hanya dialah manusia sakti yang tidak bisa tersentuh hukum di era reformasi dan demokrasi negara kita.
Dalam benak yang masih heran saya berfikir bahwa penyakit apa yang berani-beraninya menyentuh tubuh SN yang menjadi raja dari segala penyakit ?
Lebih lanjut, dengan status agama SN sebagai seorang muslim, kasus yang menimpanya menjadi satu serangan telak dalam citra dan daftar hitam dalam kepemimpinan Islam masa kini.
Kasus sang Papa ini merupakan sekuel dari daftar hitam oknum pemimpin muslim yang berprilaku korup. Sebelumnya kita disuguhkan babak korupsi mega proyek Hambalang, impor daging sapi, dana haji, dan uang hantu di rekening sang tokoh reformasi dan sebagainya yang semua aktor utamanya adalah pemimpin yang berlatar belakang agama Islam. Hal ini merupakan ironi yang sangat tragis di sebuah negara yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar se-dunia.
Bukankah Islam bahkan agama apapun sangat tegas melarang dan mengharamkan tindakan koruptif ? Lembaga keagamaan sekaliber MUI telah mengeluarkan fatwanya, bahkan tanpa harus MUI mengeluarkan fatwa, kita meyakini bahwa tindakan korupsi merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai keagamaan. Akhirnya wajar saat kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin muslim pun berkurang dan citra pemimpin Islam selalu buruk oleh oknum-oknum bedebah tersebut. Ini menjadi satu bukti bahwa dalam persoalan kepemimpinan bukan status agama dia apa yang akan membawa maslahat bagi umat dan masyarakat. Tapi bagaimana pemimpin tersebut bisa berbuat seadil-adilnya dalam rangka membangun dan mensejahterakan masyarakat, bukan menumpuk harta untuk dibagi kepada sanak saudara sebagaimana yang dilakukan oleh sang Papa.
Sebagaimana Imam Ibnu Taymiah pernah menerangkan “lebih baik pemimpin non muslim tapi adil, daripada pemimpin muslim yang dzhalim”. Walaupun adagium ini tidak proporsional, setidaknya ini menjadi satu landasan dalam kepemimpinan di negara demokrasi seperti Indonesia, bahwa tidak ada satu jaminan mutlak bahwa pemimpin selalu benar dan tidak bisa berbuat salah hanya dilihat dari agamanya saja (dalam hal ini Islam). Tentu kita sebagai Muslim sangat yakin dan berharap akan munculnya sosok pemimpin muslim yang adil dan amanah dalam menjaga amanah rakyat. Kasus SN ini harusnya menjadikan evaluasi yang mendasar khususnya bagi partai-partai Islam agar dalam mencetak pemimpin yang akan dipersembahkan kepada masyarakat adalah pemimpin yang memiliki integritas, adil, amanah dan tidak korup.
Kembali kepada SN, sang Papa termasuk dalam golongan manusia yang beruntung, karena dengan kesalahan dan dosanya yang teramat besar dia masih bisa bebas menghirup udara segar (walaupun beberapa hari sebelumnya harus menghirup gas LPG di Rumah Sakit). Tidak ada aksi angka-angka yang masif dan mengawal penegakan hukum dari yang katanya para pembela agama, pembela Islam dan pengawal fatwa MUI. Padahal ini jelas telah melanggar fatwa MUI sendiri. Sangat kontras dengan kasus pelanggaran fatwa MUI tahun lalu yang iklimnya masih terasa sampai detik ini. Tapi saya hanya bisa menghela nafas panjang sambil husnudzon mungkin mereka lelah.
Akhirnya, semoga kasus Papa segera diselesaikan dengan tuntas sebagaimana kasus-kasus korupsi lainnya dan kasus pelanggaran fatwa MUI yang lain demi terciptanya keadilan yang merata. Dan teruntuk partai politik, lahirkanlah pemimpin-pemimpin yang tidak berprilaku korup, adil dan berintegritas demi meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap peran dan fungsi partai politik dalam tatanan negara Indonesia.
Terakhir, untuk Papa segeralah bertaubat dan memohon ampun dari segala dosa sebelum dosa yang memohon ampun kepada Papa. Segeralah mengingat lahat sebelum lahat yang mengingat Papa
Tabik !!!
Penulis adalah Sekretaris Umum PC. PMII Kota Serang