Jokowi akhirnya positif membatalkan Permen No. 23 Tahun 2017 mengenai program lima hari sekolah atau full day school. Sejatinya hal paling krusial dari dilontarkannya gagasan full day school atau yang kemudian diralat menjadi Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPPK) adalah soal keragaman sistem dan jenis pendidikan. Kekhawatiran itulah yang mendorong banyak pihak beramai-ramai menolak kebijakan yang rencananya akan dilaksanakan semester depan.
Barangkali karena penolakan tersebut Mendikbud kemudian menyatakan bahwa full day school tidak diartikan sebagai belajar di kelas/sekolah sepenuhnya. Namun diarahkan menggandeng Madrasah Diniyah, sanggar kesenian, klub olah raga, lembaga kursus, dan lainnya. Di sinilah sekilas agaknya terdapat arah untuk mengintegrasikan beberapa jenis pendidikan yang ada di Indonesia. Upaya ini tentu patut diapresiasi.
Lebih jauh, walaupun dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 31 ayat (3) mengamanatkan bahwa pemerintah diarahkan untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, namun faktanya kita memiliki lebih dari satu sistem pendidikan. Untuk pendidikan Islam saja terdapat banyak ragam. Di Aceh kita mengenal ‘dayah’, ‘meunasah’, ‘rangkang’, dan ‘balee’, di Sumatera Barat kita mengenal ‘surau’, di Jawa kita mengenal ‘langgar’ dan pondok pesantren yang kemudian menyebar luas hingga ke luar Jawa (Azra, 2003).
Patut diduga lahirnya lembaga-lembaga pendidikan keislaman tersebut dimulai sejak Islam masuk ke Nusantara, yakni kisaran abad ke-13 Masehi. Jauh-jauh hari sebelumnya bahkan bisa dipastikan kita sudah punya lembaga-lembaga pendidikan tradisional di masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Universitas Nalanda (abad ke-5 Masehi) di Sumatera misalnya pernah tercatat sebagai universitas tertua dan terbesar di Asia serta menjadi sumber tujuan utama belajar nilai-nilai Budhisme (Abidin, 2014). Di banyak tempat pun lahir paguron, padepokan, dan pecantrikan sebagai sebuah lingkungan belajar yang dibangun di atas otoritas seorang Begawan atau Guru.
Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tersebut menunjukkan eksistensi sistem pendidikan yang beragam. Pendidikan Islam misalnya dengan adanya pesantren, dayah, langgar, majlis taklim dan sejenisnya merupakan satu sistem yang oleh karenanya terdapat beberapa kesamaan visi, kurikulum, model pembelajarannya, dan penilaiannya. Demikian juga padepokan, pecantrikan, paguron, dan—pada periode berikutnya—seminari. Pendidikan formal model sekolah justru baru berdiri di Nusantara ketika kolonial Hindia Belanda menjalankan politik etis tahun 1900.
Sayang kekayaan ragam jenis dan sistem pendidikan tersebut belum terkelola dengan baik. Kepentingan mencapai tujuan pendidikan formal seringkali menafikan keberadaan jenis pendidikan lain seperti Madrasah dan pesantren. Sekadar misal, les tambahan sore hari agar siswa lulus 100% UN di daerah banyak mengorbankan waktu siswa belajar di Madrasah pada sore hari. Barangkali bahkan bisa dikatakan hampir tak ada sekolah umum yang menyapa dan mensinkronkan ritme belajarnya dengan masjid—dan rumah ibadah lain di sekitar sekolah—dan pesantren. Perkecualiannya tentu adalah yayasan pesantren yang juga memiliki sekolah formal.
Perlu kerjasama
Oleh karena itu perlu pemahaman baru, yakni menyadari keberadaan sistem dan jenis pendidikan lain yang eksis, dibutuhkan, dan sudah banyak berkontribusi di masyarakat. Namun yang perlu dikritik dari gagasan full day school adalah orientasi kebijakan pengelolaannya. Berdasarkan pada pernyataan Kemdikbud program ini potensial menjadikan sistem dan jenis pendidikan nonformal sebagai subordinat yang bisa disetir menggunakan logika tata kelola pendidikan formal persekolahan.
Walaupun Mendikbud menyatakan nama programnya bukan full day school, melainkan Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPPK) namun kehawatiran ini patut dikemukakan. Mengingat di lapangan terjadi praktik formalisasi pendidikan formal yang digawangi pemerintah. Bentuknya adalah standardisasi komunitas belajar, sanggar, kelompok belajar, dan sejenisnya. Dengan dibayang-bayangi oleh hadirnya Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) standardisasi diarahkan untuk menyamakan level kompetensi, baik pendidikan formal maupun nonformal.
Formalisasinya bisa dalam bentuk harus ada AD/ART, struktur organisasi, badan hukum, keuangan, standar pembelajaran, materi, dan penilaian. Jika kita kembali pada filosofi dasar pendidikan nonformal dan juga informal, maka formalisasi tersebut jelas bertentangan dengan hakikat dasar pendidikan nonformal. Nah, penjelasan dari Kemdikbud bahwa sekolah yang akan menyamakan materi di luar sekolah dengan di sekolah menunjukkan adanya superioritas sekolah atas jenis pendidikan non persekolahan.
Bukan tidak mungkin pembelajaran di Madrasah diniyah atau mengaji di langgar atau pesantren akan disamakan materinya dengan materi di sekolah. Bisa juga disamakan cara belajar-mengajarnya dan penilaiannya. Inilah bentuk formalisasi pendidikan nonformal yang harus dihindari. Alih-alih melakukan formalisasi pendidikan nonformal mestinya yang harus dirintis adalah pengembangan kerjasama. Bahwa belajar tak harus di sekolah, belajar pun merupakan hak dasar manusia, memilih tempat belajar juga hak dasar siswa-siswi sebagaimana dirumuskan dalam konvensi hak-hak dasar pendidikan (Right to education) oleh Unesco.
Oleh karena itu, pasca pembatalan full day school/PPPK pemerintah perlu memikirkan lebih lanjut mengenai kebijakan pendidikan yang mengakomodasi keragaman sistem dan jenis pendidikan di Indonesia dalam rangka penguatan karakter siswa. Tidak mudah memang, terlebih jika terdapat rasa superior dan kecenderungan melakukan formalisasi pendidikan nonformal. Namun bagaimanapun juga keragaman system dan jenis pendidikan dan kebebasan siswa dan orangtua dalam memilih jenis pendidikan harus dihormati dan diutamakan.