Kamis, April 25, 2024

Setelah 25 Tahun Genosida Muslim Bosnia

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi

11 Juli kemarin adalah hari yang sangat pilu dirasa bagi warga Bosnia-Herzegovina. Di Srebrenica, 25 tahun yang lalu, umat Islam setempat menghadapi genosida dari pasukan Serbia pimpinan Ratko Mladic. Peristiwa ini dinilai sebagai sejarah terkelam pembantaian sebuah etnis yang terjadi setelah Perang Dunia II.

Srebrenica adalah luka sejarah yang masih terbuka sampai kini. Kota indah yang berbatasan dengan Sarajevo ini melengkapi teritori negara Bosnia-Herzegovina di pinggir Laut Adriatik sebagai negara Balkan.

Sepertiga abad yang lalu, keluarga para korban tak sempat menangisi kepergian anggota keluarganya. Mereka hilang tak berbekas entah kemana. Bisa jadi, saat itu tak ada warga Bosnia yang ditinggalkan anggota keluarganya berani bermimpi menemukan keadilan dan menjadi perhatian penting seluruh dunia dalam upaya penegakan hak atas korban penghilangan paksa.

Seturut pilu yang dirasa Muslim Bosnia (demikian mereka disebut) atas kehilangan anggota keluarganya, rasa keadilan juga sulit ditemukan. Keberadaan Pasukan Perdamaian di Srebrenica dan Sarajevo, untuk menyebut dua wilayah yang paling parah mengalami pembantaian, kadang lebih sering menjadi paradoks atas makna damai yang diusung.

Pasukan Perdamaian Dunia PBB dari kontingen Belanda, misalnya, pada hari-hari pembantaian itu terjadi sering kali tidak melakukan apapun untuk mencegah terjadinya peristiwa tersbut berlangsung. Di Beograd, ibu kota Serbia, banyak jurnalis Inggris yang meliput dan menginvestigasi  peristiwa tersebut. Tim Ripley dalam Conflict in The Balkans 1991-2000 (2013), mengatakan bahwa keberadaan para jurnalis tersebut kadang membawa bias pemberitaan tersendiri yang menambah keruh kondisi perang.

Pendapat dan penilaian tentang perang Bosnia – Serbia memang beragam. Tidak semua pandangan dan penilaian terasa sepenuhnya berada di pihak muslim Bosnia. Pihak yang meragukan terjadinya genosida menilai sulitnya kemungkinan pembantaian muslim Bosnia tersebut terjadi. Filosof  bahasa dan pemerhati politik negara-negara Balkan Noam Chomsky, misalnya, turut meragukan adanya genosida tersebut.

Dalam Yugoslavia, Peace, War, and Dissolution (2018), Chomsky mendasarkan pendapatnya pada investigasi yang dilakukan oleh wartawan The Guardian dan ITN TV. Dari investigasi yang dilakukan, Chomsky tidak melihat adanya konsistensi pemaknaan genosida. Dari semula kesimpulan yang tidak melihat adanya kamp penyekapan dan penyiksaan, seterusnya berubah dengan asumsi adanya kamp penyiksaan serupa milik Nazi di Austria, Auschwitz.

Lebih jauh, dia juga menilai tidak ada genosida di Srebrenica, Sarajevo, Tropoje, dan daerah lain di Bosnia. Pasalnya, dengan pengawasan pasukan perdamaian yang demikian banyak dan hampir meliputi seluruh Bosnia, tak ada laporan yang menyatakan adanya kamp penyiksaan.

Kamp penyiksaan tidak memungkinkan adanya tawanan atau sandera di dalamnya untuk keluar masuk kamp tersebut, sementara, dalam pandangan Chomsky, para tawanan itu masih bisa melakukan sebaliknya. Terlebih, tempat yang dirujuk sebagai lokasi kamp konsntrasi tersebut berada di wilayah Bosnia. Kamp penyiksaan dan genosida adalah satu paket, dan Chomsky tidak melihat itu terjadi di Bosnia.

Namun demikian, kesaksian bernada lain juga berbicara. Martin Bell dalam In Harm’s Way, Bosnia: A War Reporter’s Story (2012) membuat laporan sangat mendetil tentang hari-hari berlangsungnya perang Bosnia tersebut. Pada satu sisi, sebagai bagian dari perang yang tidak ada aturan kemanusiaan di dalamnya dan sentimen kebencian rasial yang demikian besar, Bell menilai kemungkinan adanya kekerasan yang kurang lebih sama yang dilakukan tentara muslim Bosnia pada rakyat Serbia.

Bell menyimpulkan bahwa perang telah menafikan adanya toleransi kemanusiaan di dalamnya. Beberapa saksi hidup Serbia menyatakan bahwa tentara muslim juga melakukan kekerasan tak berperi pada mereka.

Namun demikian, pada sisi lainnya, tak ada bukti sahih yang dapat membenarkan itu. Dalam ukuran investigasi dan dakwaan terkait perang Bosnia – Serbia,  International Tribunal Court tidak menyentuh dan mengungkap kejahatan perang yang dilakukan pasukan Bosnia. Sebaliknya, mereka menyatakan peristiwa tersebut sebagai “skenario dari neraka, ditulis dalam lembaran tergelap sejarah kemanusiaan”.

Genosida dan Inisiatif Keadilan    

Pembantaian muslim Bosnia di Srebrenica mendorong kesadaran bersama untuk upaya menghitung jumlah korban genosida sebenarnya dan bagaimana individu dan negara yang terlibat di dalamnya harus bertanggung jawab. Warga Bosnia-Herzegovina, terutama di titik Srebenica dan Sarajevo, bahu membahu bersama International Commission on Missing Persons (ICMP), sebuah lembaga internasional untuk pembelaan bagi orang-orang hilang,   memperjuangkan hak para korban dan menggiring pihak dan pelaku genosida dan penghilangan paksa ke Mahkamah Internasional.

Rakyat Bosnia-Herzegovina bersama ICMP dan berbagai dukungan internasional yang didapat oleh mereka, dinilai telah berhasil membuat cetak biru untuk menegakkan keadilan bagi korban dan keluargnya. Dengan melakukan penyelidikan masif terhadap kerangka korban melalui tes DNA, 7000 korban telah teridentifkasi sejauh ini. Namun demikian, diyakini masih banyak titik kuburan massal muslim Bosnia yang belum terungkap.

Masih dalam pandangan Martin Bell, Pasukan Serbia dengan kekejaman luar biasa bukan hanya membunuh ribuan muslim Bosnia hanya dalam hitungan 3-4 hari secara serentak, tapi juga menceraiberaikan anggota tubuh mereka agar kelak tidak bisa dikenali. Namun demikian, melaui tes DNA yang dilakukan ICMP dan organisasi nirlaba lainnya, pelan tapi pasti misteri genosida itu terkuak.

Pada akhirnya, perang adalah terutama sekali mengenai hilangnya makna dan eksistensi kemanusian. Hingga hari ini, masih banyak keluarga muslim Bosnia Herzegovina yang belum menemukan kepastian dan keberadaan saudaranya. Selain itu, perlakuan internasional kadang juga masih nyata menunjukkan rendahnya empati pada mereka.

Pada tahun 2019, Peter Handke menerima anugerah Nobel Bidang Sastra. Pemberian Nobel ini memicu protes yang luas di Bosnia Herzegovina, karena Handke adalah orang dekat dan pembela Ratko Mladic lewat karya-karyanya. Pemberian Nobel itu seperti mengabaikan luka muslim Bosnia yang masih menganga karena genosida pasukan Serbia.

Perpecahahan etnis, kepentingan politik, dan problem kewilayahan berkelindan membentuk bangunan problem pelik di Yugoslavia dulunya, dan sisa sentimen rasial di Bosnia-Herzegovina dan Serbia kini.  Memang, derajat dan kualitas masalahnya tidak lagi sebagaimana problem runtuh dan tumbangnya Yugoslavia, namun benih kebencian itu masih tersisa dan terlihat.

Jejaring masalah seperti ini lazim ditemui pada bangsa yang dihuni heterogenitas ras dan agama. Konflik dan problem rasial mudah tersulut tanpa adanya kesadaran bersama untuk menghargai perbedaan dan pluralitas. Di titik ini, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” adalah sebuah semangat mendasar yang perlu terus dijaga dan digelorakan sebagai langkah bersama.

Semoga, kita sempat menundukkan wajah sejenak. Mendoakan saudara kita, muslim Bosnia korban kekejaman pasukan Ratko Mladic.

Saiful Maarif
Saiful Maarif
Asesor SDM Aparatur dan pegiat Birokrat Menulis. Bersenang dengan Sepak Bola dan Bola Voli. Tulisan adalah pandangan pribadi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.