Hunian, hal pokok di kota dimana harga lahan kian melonjak tidak terjangkau. Warga berupaya bertahan, tapi tidak semua memiliki akses baik terhadap hunian. Di Tamansari warga berdaya, namun program rumah deret menjadi ancaman kepastian tenurial, penggusuran paksa dengan kekerasan akhirnya mencerabut itu semua.
Berawal dari sesat pikir walikota Bandung pada waktu itu Ridwan Kamil, terkait status lahan, keberadaan warga dan hunian serta stigma negatif, memunculkan ide rumah deret yang proyeknya dieksekusi walikota Bandung sekarang, Oded yang notabene merupakan wakil Ridwan kamil kala itu serta melibatkan Yu Sing sebagai arsiteknya. Ini sesat pembangunan !
Pertama, warga tamansari memiliki hunian, bayar PBB sejak tahun 50an, memiliki akses bank, listrik, dan air bersih yang disediakan oleh lembaga negara lainnya bahkan juga memiliki akses politik sebagai peserta pemilu baik tingkat lokal maupun nasional. Warga bukan warga ilegal.
Kedua, warga menempati lahan negara bebas yang belum diberikan haknya kepada siapapun oleh BPN. Merujuk UUPA 1960, ketika ada warga mengelola untuk kehidupannya dan tidak menelantarkan lahan maka warga prioritas untuk berhak mendapatkan hak atas lahan.
Di Tamansari, hanya warga RW 11 yang tidak bisa mendapatkan hak itu, sedangkan RW disekitarnya bisa, padahal sudah mengajukan pendaftaran lahan sejak tahun 80an tapi selalu ditolak mulai dari tingkat kelurahan. Ada apa?
Klaim pemkot Bandung tidak didukung bukti, hingga saat ini BPN tidak pernah mengeluarkan sertifikat untuk pemkot Bandung yang menjadi dasar klaim aset. Klaim pemkot menggukanan surat BKPA, berdasarkan surat keterangan Status Tanah yang baru dikeluarkan 21/03/2017 No 593/268-BKPA yang dikeluarkan oleh BKPA, dan bukan oleh BPN padahal itu tugas BPN. Ini aneh !
Klaim lainnya berdasarkan perjanjian jual beli tahun 1930 oleh Gementee, dimana negara Indonesia belum ada. Gementee itu bentukan kolonial, jadi perjanjian itu terjadi diera kolonial dan jika dipakai sama saja tidak mengakui Indonesia. Lalu nomor register 0630 yang tercantum itu dikeluarkan setelah Indonesia merdeka dan pakai hukum Indonesia. Disini sudah sesat data, klaim lahan pakai surat/aturan kolonial, ketika register pakai aturan Indonesia.
Ketiga terkait stigma kumuh yang diberlakukan kepada warga RW11. Jika melihat Tamansari, tidak hanya RW11 yang memiliki tipe hunian serupa, di RW lainnya pun sama. Kalaupun kumuh, bisa diperbaiki oleh skema revitalisasi bukan dengan penggusuran. Pemkot Bandung tidak punya standarisasi kumuh, karena itu akan berbeda disetiap daerah. Jadi ini kumuh versi siapa? Versi walikota Bandung?
Kumuh itu pembingkaian logika kelas pembangunan,karena kumuh layak gusur. Pemkot Bandung berlaku sebagai kapitalis-birokrat yang menawarkan hunian asri-nyaman versi mereka dan investor bukan versi warga.
Kumuh merupakan cara kota-kelas melancarkan investasi pemodal-pengembang melakukan perampasan ruang hidup. Di tamansari, terdapat 95% rumah permanen, beralas keramik dengan sanitasi dan akses air bersih baik, bahkan hampir 50% adalah rumah berlantai dua. Ini tidak kumuh!
Stigma sesat lainnya, jika terdapat 3KK dalam satu rumah, apakah bisa dibilang kumuh? Ini arogan dan bias kelas, bagaimana jika 3KK ini mendiami rumah dua lantai layak huni bagi dan versi mereka, bukan versi pemkot-walikota.
Penjelasan pemkot untuk satu rumah 3 KK itu akan diberi 3 hunian di rumah deret, juga sesat. Bagaimana satu rumah type 45/60/90 yang dihuni 1 KK kemudian diganti satu unit rumah deret 4×6 meter yang harus sewa, sebelumnya gratis. Ini upaya pemiskinan struktural oleh pemkot.
Keempat, terkait relokasi yang rencananya akan ke rusunawa Rancacili, sejauh 30km, tanpa tahu bagaimana penghidupan disana, seperti skema penempatan, perpindahan mata pencaharian yang mayoritas sektor informal serta ongkos mobilitas ekstra. Hal ini belum termasuk nilai penggantian wajar sesuai aturan atas hunian warga yang akan dirubuhkan. Itu semua tidak dipikirkan !
Kelima terkait status lahan dimana pemkot tidak pernah bisa menunjukan sertifikat resmi BPN. Lalu, tidak ada amdal yang menjadi dasar dalam menerbitkan IMB. Maka, dasar ini warga menggugat kepengadilan.
Gugatan pertama terkait SK pembangunan rumah deret, SK DPKP3 No 538.2/1325A/DPKP3/2017 penetapan kompensasi bangunan, mekanisme relokasi dan pelaksanaan pembangunan Rumah Deret. SK ini merujuk Peraturan Walikota Bandung No. 665/2017 tentang Relokasi warga Tamansari. Sedangkan, gugatan kedua terkait tidak adanya Amdal.
Kedua gugatan masih berlanjut dan menetapkan status lahan Tamansari dalam status quo, namun penggusuran menunjukan bahwa pemkot Bandung tidak menghargai hukum dan sistem pengadilan yang berlaku di Indonesia.
Selain itu, badan-badan negara seperti KomnasHAM, Ombusman hingga Komisi C DPRD Kota Bandung sejak tahun 2017 telah memberikan rekomendasi untuk Pemkot Bandung agar beritikad baik untuk menghormati proses hukum, menjunjung tinggi HAM dan tertib administrasi tata kelola pemerintahan.
Skenario perencanaan rumah deret ini pun cacat dan sesat administrasi termasuk pembohongan publik. Isunya rumah deret tapi yang dibangun apartemen dua tower, 10 lantai dengan 500an unit dan 6 lantai degan 350an unit tapi warga hanya sekitar 200an KK. Sedangkan jika menurut Pemkot, 1 KK mendapat 1 unit maka sisa unit yang lain untuk siapa? ini pemkot atau developer? Selain itu, tidak pernah ada perjanjian hitam diatas putih kepada warga , semua hanya perkataan lisan walikota waktu itu-Ridwan Kamil.
Rencana pembangunan rumah deret ini juga tidak ada dalam RTRW kota 2011-2031 dan RPJMD ketika pertama kali direncanakan tahun 2017, terlebih kemudian diketahui bahwa pemenang tender merupakan developer yang masuk daftar hitam. Kalau pun ada rencana, merujuk dokumen RIPP 2010-2031 menetapkan 19 lokasi penyediaan hunian vertikal (Rusun-Apartemen).
Namun kenapa Tamansari yang menjadi prioritas walaupun itu banyak menabrak prosedur hukum dan dilakukan dengan penggusuran dan kekerasan. Tamansari ini yang memiliki nilai market lahan dan properti-nya yang terbesar, jadi sangat menguntungkan pemkot dan bisnis real estate dari pada lahan lainnya.
Pemkot Bandung mengklaim sebagai pemerintahan good-governance, transparansi dan akuntabilitas publik yang telah banyak mendapatkan penghargaan tapi nyatanya tidak terjadi di rumah deret ini.
Begitu pula dengan klaim kota ramah HAM, dengan penghargaan terbaru selang 3 hari sebelum penggusuran brutal aparat pada desember 2019 lalu memberikan fakta lain. Bandung bukan ramah HAM tapi ramah Hotel-Apartemen dan Mall. Program rumah deret ini merupakan program mengarang desain dengan sketsa arsitektur rupawan padahal bertujuan mendapatkan lahan gratis dengan perampasan lahan dan penggusuran hunian warga oleh pemkot untuk diberikan kepada investor.
Jadi, pemkot dan walikota Bandung itu abdi warga atau abdi investor. Tamansari merupakan contoh bagaimana spatial culture terjadi, memori kolektif tercipta dan hubungan kekerabatan terbentuk.
Jadi kampung memang melahirkan desa, desa melahirkan kota. Kini kota melahirkan Metropolis yang memangsa desa dan kampung, memangsa ibunya sendiri dan kampung tamansari mengalaminya melalui penggusuran oleh Pemkot.