Wacana pemindahan ibukota dari DKI Jakarta kini bergulir kembali. Rencana ini menjadi perbincangan hangat pelbagai pihak.
Sebenarnya, pemindahan ibukota bukanlah hal yang baru di Nusantara ini. Rezim Mataram Kuno pernah memindahkan ibukota sebanyak dua kali. Tersebutlah Mamratipura dan Poh Pitu sebagai kota yang memperoleh kehormatan sebagai pusat kekuasaan. Mataram Islam yang dikuasai oleh keturunan Danang Sutawijaya pun mengulangi siklus serupa, ketika Amangkurat I memindahkan ibukota dari Kotagede ke Plered.
Pada masa kekuasaan penjajah Belanda, hal serupa pun dilakukan. Gubernur Jendral VOC keturunan Jerman, Gustaf Wilhelm von Imhoff, kendati tak mencabut status Batavia sebagai ibukota namun membuat basis pemerintahan baru di Buitenzorg, yang kemudian dijadikan pusat administratif oleh Letnan Gubernur inggris, Thomas Raffles. Gubernur Jendral Hindia lain yang juga keturunan Jerman, Johann Paul von Limburg Stirum, juga berencana memindahkan ibukota dari Batavia ke Bandung.
Pemindahan ibukota yang kabarnya tengah direncanakan saat ini, santer memunculkan kandidat ibukota yang sebenarnya sudah tak asing lagi di telinga kita, yaitu Palangkaraya. Kota ini, merupakan pusat administratif Provinsi Kalimantan Tengah.
Mengapa Palangkaraya ? padahal delineasi di Palangkaraya memiliki lapisan gambut tropis yang rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Lahan Gambut juga tak seyogyanya ditranformasikan, karena memiliki fungsi sebagai penyimpan karbon, yang dapat mencegah pemanasan global.
Tak lain dan tak bukan, Presiden-Pemimpin Besar Revolusi, Ir.Soekarno adalah tokoh yang mencetuskan ide tersebut. Meskipun demikian, rencana tersebut diurungkan sendiri olehnya, ketika beliau menandatangani UU no 10 tahun 1964. UU tersebut menegaskan bahwa Jakarta tetap menjadi ibukota NKRI, karena perannya sebagai penggerak segala aktivitas revolusi.
Terlepas dari pemilihan lokasi, ada sebuah alasan ultra-populer yang selalu didengungkan oleh masyarakat maupun sejumlah aparatur negara. Alasan yang menjiwai urgenisitas relokasi pusat pemerintahan kita, yakni pemerataan pembangunan. Dikarenakan masih adanya kesenjangan pembangunan maupun kemakmuran antara sisi Barat dan Timur Indonesia, maka pemindahan ibukota diyakini dapat menjadi jalan pintas atas dilema tersebut.
Realitanya, tak semanis gula jawa. Berdasarkan beberapa contoh yang penulis temukan, motivasi diatas dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk sesat pikir. Eksistensi ibukota di satu sisi wilayah negara, tak melulu berbanding lurus dengan akselarasi pembangunan atau pendongkrakan tingkat kemakmuran.
Contoh pertama, Kekaisaran Jerman. Sejak tahun 1875, empat tahun sejak Keluarga Hohenzollern menyatukan Jerman, hingga tahun 1910, tercatat urbanisasi besar-besaran ke wilayah industri baru yang berdiri di sepanjang Sungai Rhein.
Tumbuhnya industri baru di Rheinland, yang ditopang oleh kekayaan mineral disana, menarik perhatian orang-orang dari seluruh penjuru Jerman untuk mengadu nasib, mencari pekerjaan yang lebih baik. Pertumbuhan Industri mendorong kota-kota di Rheinland berkembang pesat, ada permintaan untuk infrastruktur yang lebih baik atas kehendak pemilik modal.
Dimana ibukota Jerman saat itu ? di Berlin, di sebelah timur sungai Elbe. Wilayah ini mengalami penurunan populasi dan kota-kota disana, tak berkembang, tetap tradisional. Karena wilayah itu, dikuasai oleh para Junker (tuan tanah Prussia) yang konservatif dan memiliki usaha di sektor agraris. Kehadiran ibukota Berlin, diantara lahan-lahan milik para Junker, tak mampu memodernkan wilayah tersebut.
Contoh kedua, Polandia. Ibukota Polandia adalah Warsawa yang terletak di sisi timur sungai Vistula. Namun, tetap terjadi kesenjangan, wilayah Polandia di sisi barat sungai Vistula yang mencakup kota Breslau, Posen, Stettin dan Danzig secara ekonomi lebih makmur dibandingkan Polandia sebelah timur yang terdiri atas kota Lublin, Bialystok, Rzeszow dan Suwalki.
Jurang kesenjangan itu diduga, selain karena Polandia Barat secara lokasi lebih dekat dengan negara anggota Uni Eropa yang lebih maju seperti Jerman dan Austria, juga pernah berada dalam kekuasaan Jerman. Berbeda dengan Polandia Timur yang lebih jauh dan malah jatuh kedalam penjajahan Rusia yang autokratik.
Eksistensi ibukota Polandia di sebelah timur sungai Vistula ternyata tak mampu mengatasi kesenjangan, sampai-sampai Polska Agencja Inwestycji i Handlu (Kantor Perdagangan dan Investasi Polandia) harus merilis iklan bertajuk : “Dlacznego nie zainwestowales w polsche Wschdonia” (mengapa anda tak berinvestasi di Polandia Timur ?) untuk memikat investor.
Sekali lagi, ternyata peran investor sangat vital dalam mendorong pertumbuhan disatu kawasan. Faktor-faktor diatas, menjelaskan kenapa investor lebih suka menanamkan modal di Polandia Barat, bukan di Polandia Timur. Karena investor lebih tertarik menyuntikkan kapital di daerah yang pernah dikelola oleh negara yang ekonominya maju (Jerman) dan bukan bekas wilayah negara autokratik (Rusia). Adanya Ibukota di Polandia Timur, tak serta merta menjadi magnit penarik investor.
Contoh terakhir, Italia. Wilayah Italia Utara (Italia Settentrionale) yang terdiri atas Lombardi, Venesia, Tirol Selatan, Piedmont,Liguria dan Emilia Romagna memiliki kinerja ekonomi dan standar hidup yang lebih tinggi ketimbang Italia Selatan (Mezzogiorno) yang terdiri atas Napoli, Sisilia, Apulia, Calabria, Campania dan Sardinia. Adapun ibukota Roma, terletak dekat wilayah Selatan.
Pertanian dan industri, berkembang pesat di utara. Sedangkan, kemiskinan di wilayah selatan membuat penduduknya banyak pindah ke negara lain, seperti Amerika, Kanada dan Australia. Mengapa demikian ?. dua faktor utama, jelas kesuburan di wilayah utara dan akses yang lebih dekat dengan negara anggota Uni Eropa seperti Swiss, Prancis dan Austria.
Faktor lain yang cukup krusial adalah keamanan. Di selatan, Mafioso (mafia) dan Brigandage (Bandit), terus menebar teror dan menancapkan kuku disana, sejak lebih dari seabad silam. Karenanya, kinerja ekonomi pun terhambat. Penduduk hanya bergantung pada turisme, dan bukannya industri.
Karenanya, ketika Il Miraculo Economico (keajaiban ekonomi) bersemai di Italia pada dekade 1960an, penduduk utara saja yang mencicipi buah manisnya. Roma, bukannya tak berusaha. Mereka pernah mengucurkan anggaran dalam sebuah paket ekonomi bernama Cassa per il Mezzogiorno, tujuannya untuk membangun infrastruktur guna melecutkan ekonomi di bagian selatan.
Proyek tersebut, mirip seperti yang selama ini dilakukan oleh Presiden Jokowi. Namun hasilnya, tak memuaskan. Banyak proyek infrastruktur mangkrak, karena tak sesuai kebutuhan masyarakat dan industri. Mafia juga terus mengganggu perkembangan usaha. Alhasil, Italia selatan tetap tertinggal.
Berdasarkan pengalaman diatas, kita bisa menyimpulkan, sungguh sesat pikir jika menganggap pemindahan ibukota ke wilayah yang ekonominya kurang prima otomatis berkorelasi dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan.
Penting diingat, pemerataan kesejahteraan dan pembangunan bukan an sich karena faktor lokasi ibukota sebagai simbol kekuasan eksekutif saja. Peran pemilik modal kapital juga penting dan kehadiran ‘negara’ di Ibukota, tak bisa serta merta memaksakan kehendak pada mereka.