Menurut Sri Margana dalam buku Pujangga Jawa dalam Bayang-bayang Kolonial (2004) Serat Centhini ditulis atas prakarsa KGPAA Hamengkunagara III (Sunan Pakubuwana V) dibantu oleh R.Ng. Ranggasutrasna, R. T. Sastranagara dan R.Ng.
Sastradipura serta dibantu pula Pangeran Junggut Mandurareja, Ulama Besar Ponorogo Kiai Kasan Besari dan Kiai Mohammad Minhad dengan candra sengkala Paksi Suci Sabda Ji jika dikonversikan dalam angka menjadi 1742 Jawa atau 1814 M. Tak lain masih dalam masa pemerintahan Pakubuwana IV.
Tercatat dalam Serat Centhini Pupuh 394. wirangrong sampai 398.Gambuh daerah Ngebel diceritakan sebegitu terperinci. Mulai dari Bale Batur, Sumber Bethara, Sumber Padusan, Sumber Upas,Telaga Ngebel dan Celangap warih (saluran irigasi zaman Belanda) sangat rinci digambarkan. Dusun Saba menjadi latar Amongraga (tokoh dalam Serat Centhini) menapakkan kakinya kali pertama di Ngebel.
Timbullah pertanyaan, kenapa dusun Saba menjadi latar penceritaan dalam Serat Centhini?
Alusi Peristiwa Sejarah Di Ngebel
Dalam buku Kuasa Ramalan Jilid 1 (2011) Peter Carrey memaparkan peristiwa konflik kecil di desa Sekodok, yang sekarang masuk dalam wilayah administratif kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo.
Peter Carrey mengungkapkan bahwa di tahun 1810 Masehi terjadi gejolak politik antara Raden Ronggo dan Mas Aryo Wiryodiningrat. Pemicunya, adanya tuduhan penyerangan lintas batas perbatasan Madiun sebagai wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Ponorogo sebagai wilayah Kasunanan Surakarta.
Babad Pakualaman mengungkap kepedihan Raden Ronggo pasca kematian istrinya Ratu Maduretno. Hampir saban hari Raden Ronggo meratapi kepergian istrinya di makam Giripurno yang terletak di Gunung Bacak, Maospati. Selepas bangkit dari duka mendalam atas kematian istrinya, Raden Ronggo melakukan pengusutan para komplotan perampok ke daerah Sekodok, Gunung Ngebel.
Raden Ronggo menduga penduduk daerah itu terlibat perampokan daerah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta yang berada di Madiun. Dia mengirimkan satu regu berjumlah 800 orang ke Sekodok. Pengusutan itu dilakukan seizin rekannya Ario Wiryodiningrat pejabat daerah kekuasan Kraton Surakarta di Ponorogo.
Saat melakukan pengusutan, utusan dari Raden Ronggo mendapati penduduk desa itu telah kosong. Pada waktu pencarian, regu pencari utusan Raden Ronggo disergap oleh perampok asal daerah tersebut. Baku hantam pun terjadi. Tercatat 2 orang penyergap tewas dan satu luka-luka. Regu pencari pun melakukan serangan balasan dengan me-ngobrak-abrik daerah sekitar Ngebel.
Atas peristiwa tersebut Raden Ronggo berinisiatif melakukan pertemuan dengan tiga bupati kawasan Ponorogo, setelah Grebeg Maulud 18 April 1810. Namun, Raden Ronggo malah dituduh bahwa peristiwa membela diri di daerah Sekodok pada 31 Januari 1810 itu sebagai bentuk penyerangannya di wilayah tapal batas kerajaan (Peter Carey, 2011).
Keadaan tak kondusif ini terus berlanjut. Pada akhirnya, gejolak kecil terjadi dimanfaatkan oleh Raja Surakarta yang mempunyai dendam pribadi dengan Raden Ronggo. Secara terpisah, Wiryodiningrat melakukan tuduhan balik kepada Raden Ronggo. Raden Ronggo dituduh menampung pembelot militer bernama Brotoseno (Brotosentono) keturunan Batoro Katong yang bergelar Prawirobroto. Brotoseno juga dianggap sebagai perampok yang sering merampok perangkat gamelan.
Dengan adanya peristiwa ini Jendral Daendels memerintahkan penyelidik untuk mengusut kasus Brotoseno. Kasus ini pun digulirkan, karena Daendels menganggap mencuri gamelan layaknya pencurian orkestra militer yang sakral.
Ternyata Jendral Daendels pun mempunyai maksud lain. Dia ingin menghapus pengaruh Raden Ronggo sebagai pengobar perjuangan anti-Londo, yang memang sudah sangat masif. Namun Sultan Yogyakarta tak memberikan hukuman kepada Raden Ronggo. Hal ini menimbulkan sangkaan polemik baru bahwa Sultan Yogyakarta akan bermusuhan dengan Jendral Daendels dan Raja Surakarta Pakubuwana IV.
Secara geografis dusun Saba latar dalam Serat Centhini dan dusun Sekodok tempat peristiwa terjadinya konflik bersebelahan. Saba masuk kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Sekodok masuk dalam Kasultanan Yogyakarta. Penarasian dalam Serat Centhini dari tapal batas wilayah Kasunanan Surakarta ini sangat dimungkinkan sebagai langkah legitimasi wilayah di zaman itu.
Mungkin, tanpa membaca narasi sejarah dusun Saba tercitrakan hanya sebutan dusun dalam Serat Centhini. Begitu pula asumsi non-teks yang menyiratkan praduga pemunculan legitimasi PB IV atas wilayah dan segala kekayaan isinya dalam Serat Centhini. Pijakan sejarah ini istilah keren-nya dalam sastra disebut sebagai alusi sejarah.
Dengan begitu, pembaca harus lebih awas dalam membaca karya sastra, terkhusus manuskript lama. Mungkin, ada titik imajiner yang harus lebih diperhatikan dan ditelusur lebih mendalam. Bukan berarti semua teks dalam karya sastra pasti mengandung rentetan latar peristiwa di masa lalu. Dimaksudkan hanya sebagai langkah pembaca atau peneliti masuk dalam deep structure sebuah karya sastra.
Penelurusan narasi sejarah Ngebel dan (mungkin) daerah lain lewat Serat Centhini, seyogyanya menjadi sorotan untuk lebih diperhatikan, lebih teliti dihimpun dan lebih kas (giat) dicari. Jikalau pengetahuan masa lalu masih dianggap penting di masa sekarang! Apalagi narasi sejarah lokal “daerah” yang sangat jarang diteliti dan diperhatikan. Bagaimana langkah selanjutnya para pemangku pemerintahan ? Wallahu a’lam bis-shawab.