Tahun 1998 adalah masa pertama penulis mulai gemar menonton sepak bola. Kala itu, bersamaan dengan momentum Piala Dunia (World Cup) di Prancis. Ketika opening match mempertemukan tim yang digadang-gadang bakal menggila di negeri Napoleon, Brazil, berhadapan dengan Skotlandia, maka beberapa pundit saat itu memprediksi kemenangan akan menjadi milik tim Samba.
Saat itulah, seorang kiai tiba-tiba muncul menjadi pundit di salah satu stasiun televisi, berusaha ikut memprediksi hasil akhir pertandingan. Kiai itu adalah Ketua PBNU sekaligus Presiden ke-6 RI, KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur saat itu memprediksi, Skotlandia memang akan takluk, namun tidak dengan mudah. 2-1 adalah skor kemenangan tipis yang akan diraih oleh Brazil.
Karuan saja, pada tanggal 10 Juni 1998, Stadion Stade de France menjadi saksi, bagaimana raksasa Samba yang diunggulkan tak jua mampu menjinakkan tim kurcaci Skotlandia. Menit 5, anak asuh Mario Zagallo saat itu memang sempat menunjukkan keperkasaannya dengan unggul cepat di menit 5 melalui gol Cesar Sampaio. Namun mereka salah memandang enteng Skotlandia setelah pada menit 38, Taffarel, kiper Brazil saat itu, dipaksa memungut bola di dalam gawang setelah Colin Hendry mencetak gol balasan melalui titik putih.
Hampir saja sang raksasa malu kalau saja Skotlandia tidak berbaik ‘hati’ menjaga reputasi mereka. Reputasi besar Brazil-pun terjaga pada laga awal ini, meski dengan bantuan pemain lawan Tom Boyd yang membuat gol bunuh diri pada babak kedua.
Akurat, bahkan presisi, begitu Gus Dur memprediksi. Bukan prediksi ‘pasaran’ mengutip konsep Idol of Market Francis Bacon, apalagi sekedar mengikuti opini gelombang ‘keriuhan sosial’ (social crowded) seperti gagasan sosiologi Emile Durkheim. Gus Dur memberikan prediksi yang genuine, hasil dari rangkaian proses analisis yang kuat dengan kekuatan orsinilitas sebagaimana yang khas dalam hampir seluruh produk pemikirannya.
Gus Dur paham bahwa sepak bola bukan sekadar kekuatan fisik. Mentalitas, kreativitas dan kecerdasan merupakan anasir yang tak bisa dilepaskan dari sepak bola. Desain strategi, rancang formulasi permainan serta ketepatan membaca formasi yang realiable dalam menundukkan lawan, adalah kemampuan yang tidak berada dalam domain kekuatan fisik. Butuh kecerdasan serta daya analisis yang tajam untuk melakukan tugas-tugas demikian
Di sinilah, Gus Dur memiliki semua yang berkaitan dengan anasir-anasir ‘halus’ ini. Dan itu dibuktikan dengan kemampuannya membaca dan menganalisis secara jeli prediksi suatu pertandingan. Satu hal yang pasti, kegemaran Gus Dur kepada sepak bola, menjadi faktor utama yang menentukan akurasi hasil prediksi yang dibuatnya.
Gus Dur sejak anak-anak memang penggila bola. Bermain bola menjadi salah satu hobi yang paling dipeliharanya. Ketika dewasa, intensitas bermainnya mungkin sudah menurun, namun tidak dalam arti yang sesungguhnya. Sebab, fikiran-fikiran cerdasnya tak pernah alfa memainkan si kulit bundar. Komentar-komentar segarnya serta berbagai prediksi akuratnya, adalah produk dari kepiawaian pikirannya ‘memainkan’ bola.
Kegemaran Gus Dur terhadap sepak bola juga termanifestasikan dari kebiasaannya meminjam istilah-istilah sepak bola untuk menganalisis berbagai topik lain yang lebih serius, misalnya politik. Tengoklah ketika budayawan Sindhunata mengkritik gaya kepemimpinan Gus Dur dengan menggunakan analisis sepak bola. Maklum pendiri Majalah basis ini dulunya adalah wartawan spesialis sepak bola. Tulisan Sindhunata kala itu berjudul Catenaccio Politik Gus Dur.
Gus Dur kemudian menjawab kritik ini dengan bahasa yang sama, bahasa sepak bola. Gus Dur menulis ‘Catenaccio Hanyalah Alat Berat’ dua hari setelah tulisan Sindhunata dimuat. Dalam tulisan itu, Gus Dur menggunakan terminologi khas sepak bola, seperti Total Football, hit and run, dan tentu saja Catenaccio untuk menganalisis probelamatika politik dalam negeri.
Salah satu kalimat dalam tulisannya berbunyi, “bukan hanya gaya Catenaccio, tapi juga gaya hit and run. Ada defensi dan ofensi, namun senantiasa sebagai tim yang kompak” (Kompas, 18/12/2000). Begitulah, Gus Dur yang cerdas begitu piawai memainkan bahasa sepak bola untuk mencairkan topik politik yang begitu serius. Terdapat sisi humoris Gus Dur dalam kebiasaannya memakai bahasa sepak bola untuk persoalan yang serius. Namun tidak berarti Gus Dur tidak serius.
Orang bijak mengatakan, orang cerdas adalah mereka yang mampu menyederhanakan persoalan yang rumit. Mungkin dalam prinsip inilah kita bisa memaknai cara Gus Dur menderek terminologi sepak bola ke dalam aneka permasalahan pelik politik yang umumnya seringkali disikapi secara serius dan mengernyitkan alis.