Senin, Oktober 7, 2024

Seorang Katolik dan Anjing Masuk Masjid, Salahnya Di Mana?

muflihmappaujung
muflihmappaujung
Mahasiswa Pascasarjana, tinggal di Gowa.

Hingga perhari ini, perbincangan mengenai seorang Ibu yang memboyong anjingnya ke dalam masjid masih berlanjut. Bagi sebagian orang, ini merupakan tindakan penistaan agama. Sebagian yang lain lebih memilih menahan diri untuk menjustifikasi peristiwa ini karena diduga pelaku sedang mengalami gangguan jiwa.

Akan tetapi, meskipun sudah ada surat keterangan gangguan jiwa dari dua rumah sakit, polisi tetap menetapkan pelaku sebagai tersangka.

Mungkin polisi memiliki pertimbangan lain sehingga mengambil langkah ini. Bisa itu demi alasan perlindungan terhadap perilaku, demi kelancaran penyidikan, demi menjaga kondusifitas masyarakat, ataupun demi pertimbangan-pertimbangan lain.

Dengan adanya peristiwa ini, tulisan tentang kejadian ini pun bertebaran di mana-mana. Ada yang mengulas debat sengit antara argumen berdasarkan dalil Quran dan Hadits melawan dalil Humanisme, adapula yang membahas respon-respon orang terhadap peristiwa ini.

Tulisan ini justru melihat titik permasalahan lain yang menarik untuk dibicarakan: yaitu tentang tata nilai.

Kita semua mengerti bahwa tiap tempat memiliki sistem moral yang patut kita perhatikan. Misalnya, kita terlarang untuk menginjak rumput di Monas, atau meludah di lantai KRL. Kita bisa dianggap tidak bermoral ketika membiarkan ibu hamil berdiri di busway. Kesadaran akan nilai ini sangat diperlukan. Maka ketika kita tidak mengetahui, kita patut berwaspada, patut bertanya, dan patut mengamati.

Terlebih ketika kita berada di tempat-tempat yang disakralkan orang. Bisa itu tempat ibadah, situs bersejarah, rumah kebesaran kerajaan, dan lain-lain.

Bagi Bourdieu, yang mengatur tindakan manusia itu adalah ranah (field). Sebuah tempat atau lingkungan dapat mengondisikan dan mengatur tindakan manusia di dalamnya, karena tempat itu mengandung sistem moral yang menghalangi manusia untuk berbuat bebas dan tidak terbatas.

Namun faktanya, ibu ini justru mendobrak nilai yang telah ada di masjid: nilai tentang liur anjing yang najis bagi umat Muslim dan tentang tidak diperkenankannya mengenakan alas kaki di dalam masjid. Artinya, peristiwa ini tidak terakomodasi oleh teori Bourdieu.

Lalu di mana masalah sebenarnya?

Skizofrenia

Hal ini kemudian akan lekas menjadi persoalan hukum yang sebelumnya menjadi persoalan sosial.

Kita bisa mengafirmasi potensi kehilangan kontrol diri (self-control) terhadap seseorang yang mengalami skizofrenia. Kehilangan kesadaran inilah yang menyebabkan ketidakteraturan tindakan.

Di sisi lain, kita masih tetap bisa mempertanyakan kesadaran sang ibu terhadap nilai yang mapan di masjid. Jika kesadarannya normal, menjadi sangat logis bagi dirinya untuk membawa anjing dan mengenakan sendal di dalam masjid.

Hal itu dapat diasumsikan bahwa ada upaya untuk mengkonfrontasi tindakannya dengan tata nilai yang ada di masjid demi melahirkan kontroversi.

Persoalan ini bukan persoalan agama. Ini hanya problem sosial yang melibatkan variabel agama. Yang patut kita tolak ialah sikap, perilaku dan tindakannya. Bukan sang ibu, sang anjing, apalagi agamanya.

Bagi umat agama lain pun akan keliru ketika anda masuk ke rumah ibadah orang lain dengan cara-cara yang mencak-mencak. Jangankan rumah ibadah orang lain, rumah ibadah anda sendiri saja akan sangat tidak etis.

muflihmappaujung
muflihmappaujung
Mahasiswa Pascasarjana, tinggal di Gowa.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.