Publik kembali diramaikan dengan adanya Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 pada tanggal 14 Desember 2017 yang pada intinya menolak permohonan terkait dengan perzinaan (Pasal 284 KUHP), pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) dan homoseksual (Pasal 292 KUHP).
Pemohon beranggapan pasal-pasal tersebut sangat mengancam ketahanan keluarga di Indonesia sehingga pada akhirnya mengancam Ketahanan Nasional. Selain itu Pemohon mendalilkan bahwa seluruh agama di Indonesia pada dasarnya juga melarang perzinaan di luar perkawinan, melarang pemerkosaan kepada siapa saja dan melarang hubungan sesama jenis.
Oleh karena itu menurut Pemohon, tidak ada kebutuhan untuk mempertahankan pasal-pasal tersebut (yang merupakan produk kolonial dari zaman kolonial yang sudah lama berlalu) selain itu harus ditegaskannya kembali nilai-nilai agama sebagai salah satu pedoman hidup bermasyarakat yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Namun atas dalil-dalil Pemohon itulah, MK menegaskan menolak dalil Pemohon dengan setidaknya terdapat berbagai pertimbangan, Pertama permohonan para Pemohon bukan lagi sekadar memohon kepada MK untuk memberi pemaknaan tertentu terhadap norma undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Juga bukan pula sekadar memperluas pengertian yang terkandung dalam norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, melainkan benar-benar merumuskan tindak pidana baru (criminal policy), sehingga yang demikian hanya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang dapat melakukannya karena MK tidak dapat mengambil-alih wewenang pembentuk undang-undang tersebut.
Kedua, kedudukan Putusan MK yang sejajar dengan UU hanya sebagai negative legislator, bukan dalam pemahaman sebagai pembentuk undang-undang (positive legislator). Dalam hal yang menyangkut norma hukum pidana, MK dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy). Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh MK karena hal itu merupakan salah satu bentuk kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang.
Ketiga, menurut MK hukum pidana harus ditempatkan sebagai “obat terakhir” (ultimum remedium). Hukum hanyalah salah satu kaidah sosial atau kaidah kemasyarakatan yang bertujuan menciptakan sekaligus memelihara tertib sosial dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak kaidah sosial atau kaidah kemasyarakatan lainnya yang juga bertujuan menciptakan dan memelihara tertib sosial dimaksud, yaitu kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah agama.
Tugas hukum akan menjadi jauh lebih ringan manakala kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan, dan kaidah agama itu ditaati oleh masyarakat yang lahir dari kesadaran bahwa kaidah-kaidah itu dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menimbulkan rasa wajib moral untuk mentaatinya.
Pandangan yang berbeda (dissenting opinion) menurut 4 (empat) Hakim Konstitusi lainnya, yang pada intinya menyatakan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan jati diri dan identitasnya sebagai konstitusi yang berketuhanan (Godly Constitution) sehingga terlihat jelas bahwa nilai agama dan ketertiban umum diberi posisi dan fungsi oleh konstitusi sebagai salah satu rambu atau pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk norma undang-undang.
Selain itu mengembalikan kembali konsep zina sesuai dengan nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat di Indonesia merupakan ijtihad dengan melakukan moral reading of the Constitution dan bukan justru menerapkan prinsip judicial restraint.
Perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan Hakim Konstitusi (dissenting opinions) lebih banyak dipengaruhi oleh perbedaan tafsir antara 2 (dua) pendekatan, yakni antara “pembatasan yudisial” (judicial restraint), dengan pendekatan “aktivisme yudisial” (judicial activism).
Judicial restraint lahir atas keinginan adanya pembatasan atas kewenangan yang diberikan kepada ekskutif dan legislatif sebagai bagian dari pembentuk UU. Sedangkan Judicial Activism lebih menekankan pada pendekatan hakim dalam mengambil pertimbangan dalam putusan yang bersifat mengontrol atau memengaruhi bahkan mengoreksi pada institusi baik di legislatif maupun eksekutif dalam membuat keputusan dan kebijakan. Dalam beberapa putusan MK keduanya sering digunakan secara campur aduk dan tidak ada konsistensi penggunaan antar keduanya.
Langkah Mundur
Menanggapi atas putusan MK tentang LGBT di atas, hemat penulis Hakim Konstitusi perlu membuka kembali sejarah judicial review yang pertama kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury Vs Madison” tahun 1803.
Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan didukung 4 Hakim Agung lainnya yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Selain itu perlu juga menyimak dan memahami sejarah pembentukan MK pertama kali di Austria yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau MK (Constitutional Court) yang dipelopori oleh Hans Kelsen, yang menurut Kelsen tujuan MK salah satunya adalah membentuk hukum dalam arti negatif.
Artinya MK dapat membentuk hukum guna mengisi kekosongan hukum dalam masyarakat sesuai dengan Konstitusi yang hidup dalam masyarakat. Bahkan dala perjalanannya MK di berbagai negara telah terdapat pergeseran dari semula fungsi MK yang hanya bersifat negative legislator dalam hal tertentu juga bersifat positive legislator atau bahkan kearah temporary legislator.
Berdasarkan kedua uraian di atas, sejarah sebenarnya telah mencatat tentang adanya fungsi pembentukan hukum oleh MK, baik melalui Marbury Vs Madison maupun pembentukan MK pertama kali oleh Hans Kelsen. Sehingga apabila dikaitkan dengan ditolaknya permohonan tentang pelarangan LGBT sebagaimana tersebut di atas, dapat dikatakan merupakan langkah mundur MK, di mana dalam sejarah perjalanannya MK yang semula sangat dipenuhi oleh semangat pembentukan hukum yang progresif.
Namun, semua itu sirna dengan pemaknaan hukum hanya sebatas tekstual. Sehingga tidak salah apabila dikatakan oleh sebagian kalangan bahwa MK telah kehilangan momentum untuk dapat membentuk terobosan hukum yang dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan.