Sabtu, April 20, 2024

Sengkarut Rancangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Eskalasi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dalam format Omnibus Law kian meningkat, utamanya dari kalangan buruh. Sejatinya, substansi penolakan ini tidak berbeda dengan penolakan atas wacana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan pada pertengahan tahun lalu, yaitu penolakan atas fleksibilitas pasar kerja yang menyerahkan aturan main perburuhan kepada mekanisme pasar. Namun, Pemerintah masih saja menunjukkan bahwa ia merupakan entitas yang bebal.

Pada Jumat (17/1), Kemenko Perekonomian menerbitkan siaran pers “Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, Bentuk Perlindungan Pemerintah terhadap Usaha dan Pekerja Lokal” tertanggal 17 Januari 2020.  Pada tanggal yang sama, beredar pula materi presentasi dari Kemenko Perekonomian tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Karena ketiadaan draft rancangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (selanjutnya ditulis RUU Cipta Lapangan Kerja), maka wajar kiranya untuk menjadikan materi presentasi dari Kemenko Perekonomian tersebut beserta pernyataan dari pejabat publik sebagai rujukan dalam menanggapi politik hukum RUU Cipta Lapangan Kerja, khususnya pada klaster ketenagakerjaan.

Pertama, mengenai upah. Terdapat empat poin yang dijelaskan Pemerintah pada bagian ini, yaitu: 1) upah minimum hanya berlaku bagi pekerja baru dengan masa kerja kurang dari satu tahun; 2) pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun berhak menerima upah sesuai struktur upah dan skala upah; industri padat karya dapat diberikan insentif berupa perhitungan upah minimum tersendiri; dan 4) peluang penerapan skema upah perjam pada jenis pekerjaan tertentu.

Pada dua poin pertama yang dijelaskan Pemerintah pada bagian ini, sebenarnya telah diatur dalam aturan ketenagakerjaan yang saat ini berlaku. Namun permasalahannya, apa upaya yang selama ini dilakukan pemerintah untuk menjamin aturan ini terlaksana?

Selanjutnya, berkenaan dengan insentif yang diberikan pada industri padat karya mengenai upah minimum. Selama ini, praktik yang demikian diakomodasi melalui penetapan upah minimum sektoral bagi sektor padat karya, namun selalu ditolak oleh buruh. Alasannya, upah ini lebih rendah dibanding ketentuan upah minimum yang belum terkategori layak.

Menyitir data Clean Clothes Campaign, pada 2013 besaran upah layak Indonesia adalah €266,85. Namun, rata-rata upah minimum nasional hanya ditetapkan sebesar €82,14. Meksipun data ini berdasarkan situasi tujuh tahun lalu, namun patut diduga bahwa saat ini keadaannya tidak banyak berubah.

Sebab, hanya dua tahun berselang, Pemerintah mengesahkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. PP Ini menyerahkan kenaikan upah berdasarkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya disparitas antara upah minimum dan upah layak tetap terjaga. Dengan demikian, upah tersebut hanya ditujukan untuk subsitensi -sekedar agar buruh dapat bertahan hidup untuk kembali bekerja pada bulan berikutnya.

Selanjutnya, mengenai skema upah perjam. Bagaimana pemerintah menjamin bahwa skema ini bukan hanya merupakan pintu masuk untuk pemberlakuan upah perjam secara lebih luas? Berkaca pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan outsourcing yang secara normatif hanya terbatas pada kondisi tertentu, namun pada praktiknya diperluas hingga pekerjaan inti perusahaan dan pemerintah tidak dapat berbuat banyak.

Saat upah perjam telah diberlakukan secara luas, maka, buruh yang cuti karena sakit, melahirkan, atau berduka, tidak akan lagi mendapatkan upah dari perusahaan.

Kedua, mengenai PHK. Pemerintah menyatakan bahwa pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan kompensasi PHK. Poin ini mesti kita korelasikan dengan konsep easy hiring, easy firing yang diutarakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Saat konsep ini menjadi kebijakan ketenagakerjaan, yang pertama terjadi adalah maraknya pekerja kontrak dan outsourcing. Saat pekerja tetap sudah hampir tidak ada, maka untuk apa jaminan kompensasi PHK?

Meskipun Pemerintah menyatakan bahwa pekerja kontrak akan mendapat kompensasi, namun tentu patut diragukan ihwal besarannya. Apalagi, jika melihat praktik selama ini, bahwa pekerja dengan status pekerja tetap saja harus mati-matian untuk mendapatkan kompensasi PHK.

Disamping itu, aktivitas keserikat-buruhan juga kerap dijadikan alasan untuk melakukan PHK. Tindakan tersebut memang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana union busting, namun laporan-laporan mengenai union busting yang diajukan oleh buruh kerap dimentahkan, baik oleh Pengawas Ketenagakerjaan maupun Kepolisian.

Karena tindakan ini, union density –persentase buruh yang berserikat- kian menurun. Saat PHK semakin mudah dilakukan, apalagi dengan wacana Pemerintah untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha, maka perusahaan akan semakin mudah melemahkan perjuangan hak yang dilakukan buruh.

Ketiga, mengenai kerja kontrak, outsourcing, dan waktu kerja. Pemerintah menyatakan, melalui Omnibus Law, perlindungan hak-hak pekerja kontrak dan outsoucing sama dengan pekerja tetap. Semua yang dijabarkan pada poin ini sebenarnya telah dijamin dalam aturan ketenagakerjaan yang saat ini berlaku. Sekali lagi, penegakan hukum berkaitan dengan hal ini masih minim.

Dengan alasan-alasan diatas, telah tergambar bahwa RUU Cipta Lapangan Kerja hanya merupakan jalan baru menuju lembah curam bernama precarious work, yaitu praktik ketenagakerjaan yang dirancang untuk membatasi buruh permanen seminimal mungkin dan mengalihkan resiko kepada buruh dengan ciri utama sementara, tidak aman, dan menciptakan ketergantungan (ILO, 2012).

Bahaya yang dikandung RUU Cipta Lapangan Kerja tidak dapat dilepaskan dari proses penyusunan RUU dilakukan tanpa melibatkan adressat hukumnya: buruh. Di sisi lain, Kadin menjadi pihak yang diakrabi Pemerintah untuk kemudian dipercaya menjadi Satgas dalam penyusunan RUU ini. Terlihat betapa tidak partisipatifnya penyusunan RUU ini dari sisi kepentingan buruh.

Sebagaimana dinyatakan oleh Shery Arnstein (1969), terdapat delapan tangga partisipasi warga negara, yang urutan derajat partisipasi dari terendah ke yang tertinggi antara lain: manipulasi; terapi; peginformasian; konsultasi; penempatan; kemitraan; delegasi kekuasaan; dan kontrol warga negara.

Saat ini, derajat partisipasi buruh hanya berada pada tingkatan terapi. Pemerintah hanya melempar wacana substansi RUU seadanya dan kemudian memberikan penjelasan sebagai terapi atas kritik dari buruh yang diposisikan seolah sebagai penyakit. Di sisi lain, sebagaimana diberitakan koran Tempo pada Selasa (21/1), semua klausul yang dibahas dalam Omnibus Law harus mendapatkan persetujuan Kadin.

Lapangan pekerjaan memang dibutuhkan. Namun, jika Konstitusi masih ada artinya, tentu perlu untuk memperhatikan imperatif Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Ketentuan tersebut pada intinya menjamin hak buruh untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Artinya, tidak hanya kerja, kerja, kerja, melainkan Pemerintah wajib untuk menciptakan lapangan kerja dengan beban kerja yang wajar untuk mewujudkan kehidupan yang layak (decent work).

Jika Rancangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tetap diberlakukan, maka benar bahwa Pancasila hanya dijadikan instrumen untuk menggebuk lawan politik rezim. Keadilan sosial hanya menjadi pesan kosong.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.