Presiden Jokowi akhirnya memutuskan untuk menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Keputusan pemerintah tersebut telah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR pada Kamis (24/4), kemudian dipertegas oleh presiden pada Jumat (25/4) melalui Video yang dirilis Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden.
Pengambilan langkah tersebut tak terlepas dari sikap beberapa serikat buruh seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menolak RUU Cipta Kerja. Serta “ancaman” yang menyatakan akan melakukan aksi massa bila RUU tersebut tetap disahkan. Walaupun saat ini sedang berlaku Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah.
Harus diingat bahwa RUU Cipta Kerja berupaya untuk mengharmonikan sebelas klaster regulasi yang dari berbagai undang-undang. Diantaranya yaitu penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, pengendalian lahan, kemudahan berusaha, serta ketenagakerjaan. Dalam hal ini, setidaknya terdapat tujuh puluh undang-undang yang harus dilihat satu per satu kemudian diidentifikasi oleh pemerintah. Supaya dapat menghindari tumpang-tindih regulasi.
Menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan tidak serta merta akan menyelesaikan permasalahan. Karena pada klaster lain, juga terdapat ketentuan yang mengancam kebebasan berekspresi dan demokrasi di Indonesia.
Padahal di tengah pandemi Corona Virus Dissease 2019 (Covid-19), lebih bijak agar fungsi legislasi difokuskan membahas tentang Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Aturan tersebut secara umum mengatur tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam penanganan pandemi Covid-19.
Pembahasan secara komprehensif dibutuhkan untuk melihat potensi penyelewengan terhadap beberapa ketentuan dalam Perpu tersebut. Seperti pada Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, dianggap bukan merupakan kerugian negara. Lalu segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Klausul ini membuka peluang terjadinya penyelewengan kewenangan. Mengingat pendanaan besar yang berasal dari APBN digunakan untuk menanggulangi pandemi ini. Sehingga dibutuhkan pengawasan ketat oleh DPR. Bukan hanya pada saat pengawasan penggunaan anggaran, namun juga pada pembahasan Perppu tersebut untuk menjadi undang-undang. Serta audit penggunaan anggaran pasca penanggulangan Covid-19.
Sehingga fungsi legislasi dan pengawasan DPR menjadi penting dalam usaha penanggungan pandemi Covid-19. Pembiaran terhadap klausul bermasalah dalam sebuah produk hukum dapat dikategorikan sebagai legislative corruption. Sehingga menjadi tugas DPR untuk menutup celah tersebut melalui pembahasan yang paripurna.
Kekeliruan dalam RUU Cipta Kerja
Pada kontek pembahasan RUU Cipta Kerja, terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan publik. Pertama, tujuan pembentukan RUU tersebut. Salah satu tujuan awal pembentukan RUU Cipta Kerja adalah untuk mengharmonikan sebelas cluster regulasi yang dianggap menghambat arus investasi di Indonesia.
Sehingga pemerintah mengambil beberapa langkah strategis, yaitu dengan melakukan penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, pengendalian lahan, serta kemudahan berusaha. Dalam hal ini, setidaknya terdapat tujuh puluh undang-undang yang harus dilihat satu per satu kemudian diidentifikasi oleh pemerintah. Dengan tujuan untuk menghindari tumpang-tindih regulasi.
Jika melihat tujuannya untuk melakukan harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia, langkah ini cukup efektif. Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), telah terjadi hiperregulasi atau melonjaknya angka pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif.
Dari Tahun 2014-2018, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menerbitkan lebih dari delapan ribu peraturan yang diterbitkan oleh lembaga eksekutif. Aturan tersebut terdiri dari Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, hingga pada Peraturan Menteri.
Obesitas regulasi tersebut berakibat pada overlapping hingga tidak efektifnya pelaksanaan dari setiap aturan yang ada. Diduga menjadi alasan penyumbat aliran-aliran investasi di Indonesia. Setidaknya, begitulah pemerintah memandang permasalahan ini sehingga memilih jalan untuk menggunakan omnibus law. Sehingga langkah yang lebih ideal adalah menertibkan aturan-aturan yang berada dibawah kekuasaan eksekutif.
Kedua, RUU Cipta Kerja atau juga dikenal dengan omnibus law Cipta Kerja masih menyisakan tanda tanya dalam hal penerapannya. Pasalnya penerapan konsep omnibus law sebelumnya tidak dikenal dalam konsep ketatanegaraan Indonesia yang menerapkan karakteristik sistem Civil Law. Selama ini konsep omnibus law hanya diterapkan di negara-negara yang menganut sistem Common Law seperti Amerika Serikat. Namun karena hukum harus bersifat fleksibel dan mampu untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, mencoba untuk menerapkannya bukanlah masalah.
Dinamika muncul pada saat eksperimen tata negara yang memiliki tujuan baik tetap dilakukan pada saat Indonesia sedang menghadapi darurat kesehatan dalam skala global. Lebih elok apabila hal-hal yang benar-benar dianggap baik dilakukan pada saat situasi sedang dalam kondisi yang “normal”. Sehingga pelibatan partisipasi akan dapat menggaet masyarakat yang lebih luas.
Karena dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undang telah mengisyaratkan agar dalam pembahasan sebuah RUU, maka dibutuhkan partisipasi publik yang luas. Apalagi RUU Cipta Kerja memuat tentang aturan yang multi-dimensi karena mencakup tentang banyak hal.
Namun efektifitas pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja tidak akan maksimal dalam situasi seperti saat ini.
Ketika negara sedang dikepung oleh pandemi yang berdampak secara langsung pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat secara umum, alangkah eloknya apabila pemerintah bersama dengan DPR menghentikan keras hatinya untuk membahas RUU Cipta Kerja. Karena pada saat ini, yang harusnya menjadi prioritas adalah memberikan rasa aman dan menyelamatkan masyarakat dari teror Covid-19.