Semakin gencar upaya pemberantasan korupsi, tampaknya tidak berbanding lurus dengan berkurangnya kasus korupsi di Indonesia. Hal ini ditenggarai semakin canggihnya modus operandi diperankan oleh pelaku korupsi sehingga sulit bagi penegak hukum untuk membongkarnya. Trend itulah yang kemudian kerap terjadi belakangan ini menimpa industri keuangan berlabel pelat merah.
Apa yang dialami PT. Asabri dan PT. Jiwasraya terkait korupsi penggelapan dana investasi di internal perseroan membuktikan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang perasuransian dalam mengelola dana investasi sedang dalam kondisi tidak sehat dan rawan akan korupsi.
Dalam batas penalaran yang wajar, peristiwa ini semestinya memberikan pelajaran bagi seluruh BUMN yang bergerak di bidang tersebut, agar selalu mengedepankan prinsip integritas dan kehatian-hatian dalam pengelolaan dana investasi. Namun tak disangka, belum sampai setahun kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri dituntaskan, sorotan dugaan kasus korupsi pengelolaan dana investasi kembali mencuat dan kali ini giliran institusi BPJS Ketenagakerjaan menjadi target operasi Kejaksaan Agung. Pasalnya, adanya temuan dugaan penyimpangan dalam investasi saham dan reksadana di tubuh BPJS Ketenagakerjaan.
Artinya, korupsi di bidang pengelolaan dana investasi di tubuh BUMN bukan kali pertama terjadi di Indonesia.Meskipun dugaan korupsi yang menghantui BPJS Ketenagakerjaan saat ini sedang ditangani Kejaksaan Agung, namun berkaca dari pengalaman beberapa kasus, penyimpangan pengelolaan dana investasi berujung korupsi ditenggarai adanya penempatan investasi secara tidak hati-hati berbentuk pembelian saham yang risiko tinggi.
Hal itu tentu berakibat ketika saham anjlok, maka industri keuangan milik negara tersebut juga menderita kerugian. Itu sebabnya, terkadang dalam setiap audit keuangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan dapat diketahui mana BUMN yang mengalami kerugian negara akibat fraud atau mana karena kelalaian dalam pengelolaan keuangannya terutama dalam bidang investasi.
Bahkan modus penempatan investasi tersebut juga dilakukan dengan money game, yaitu dengan pembelian saham terhadap emiten tertentu namun harganya telah dipersekongkolkan atau didesain sebelumnya dengan harga tinggi. Lalu setelah dibeli oleh perusahaan pelat merah, nilainya anjlok sehingga hanya menguntungkan segelintir pihak.
Tentu hanya oknum yang memiliki kuasa di perusahaanlah yang dapat memanipulasi kebijakan tersebut untukkepentingan pribadi/kelompok sehingga uang tersebut tidak kembali ke negara.
Perbaikan terhadap pengaturan dan sistem
Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi, kerawanan korupsi di industri keuangan sudah seharusnya menjadi perhatian khusus. Sebab, kerugian keuangan negara dan nasabah ditaksir tidak dalam jumlah yang kecil. Hal tersebut dilihat dari hasil audit investasi BPK, di mana kerugian negara dalam Kasus Jiwasraya mencapai Rp.16,81 triliun, sementara Kasus Asabri ditaksir merugikan keuangan negara sebesar Rp.17 triliun, dan Kasus BPJS Ketenagakerjaan masih dalam proses audit BPK.
Atas dasar itu, beberapa hal menjadi catatan pembenahan dari sengkarut ini terutama soal sistem dan regulasi. Agar ke depannya dapat menutup celah kecurangan dalam mengelola dana investasi pada institusi perusahan milik negara. Pertama, peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah saatnya lebih dioptimalkan. Sebab, OJK-lah yang berada di garda terdepan dan bertanggungjawab mengawasi setiap pergerakan lalu-lintas industri keuangan, terutama yang bergerak di bidang perasuransian sebagaimana amanat Pasal 6 huruf c UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.
Bahkan dalam menjalankan kewenangannya, berdasarkan Pasal 55 Peraturan OJK Nomor 71 /POJK.05/2016, OJK dapat memberikan sanksi administratif kepada industri keuangan, yakni peringatan tertulis, pembatasan sebagian/seluruh izin usaha, pencabutan izin usaha. Di samping itu, OJK juga bisa memberikan sanksi tambahan berupa larangan pemasaran produk terentu. Ketentuan pemberian sanksi merujuk pada tingkat kesehatan keuangan Perusahaan yang meliputi tingkat solvabilitas, cadangan teknis, kecukupan investasi, ekuitas, dan dana jaminan.
Meskipun dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat prinsip business judgment rule,dimana seorang direksi perusahaan tidak dapat dihukum jika mengalami kerugian bisnis. Namun, mesti diketahui prinsip ini berkaitan dengan fiduciary duty. Dimana prinsip ini merupakan pemberian kepercayaan kepada direksi untuk melakukan keputusan bisnis yang sejalan dengan unit risk management dan investement assesment.
Itu sebabnya, apabila OJK menemukan indikasi mencurigakan terhadap investasi bermasalah yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap dana nasabah, maka OJK semestinya menindak langsung perusahaan tersebut. Karena rumusan Pasal 57 UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Peasuransian menyebutkan bahwa pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha perasuransian dilakukan oleh OJK.
Bahkan, dalam menjalankan fungsi pengawasannya Undang-Undang Perasuransian memberikan wewenang kepada OJK untuk mencabut izin usaha perasuransian. Artinya, dari rumusan norma yang ditelaah, hampir keseluruhan norma memberikan kuasa yang begitu besar kepada OJK dalam menindak setiap industri keuangan bermasalah.
Kedua, tidak hanya OJK, tak kalah pentingnya perbaikan pengaturan dan sistem pengelolaan dana investasi juga harus dimaknai setiap industri keuangan. Sebab, rumusan Pasal 11 Undang-Undang Perasuransian menukilkan bahwa perusahaan asuransi wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Good Coorporate Governance) dengan dijalankan berdasarkan itikad baik (te goeder trouw). Artinya, prinsip integritas dan kehatian-hatian menjadi acuan utama dalam menempatkan setiap investasi pada portofolio dan reksadana saham ke depannya.
Ketiga, dari rentetan kasus korupsi, korupsi dana investasi terkategori sebagai skandal mega korupsi karena mengandung kerugian negara triliunan rupiah. Oleh karenanya, hal penting yang mesti diantisipasi adalah upaya pemulihan kerugian negara (asset recovery) akibat tindakan tersebut. Sebab, sebagaian besar modus operansi yang digunakan adalah pencucian uang. Maka ini perlu menjadi perhatian bagi penegak hukum dalam menelusuri setiap aset yang diduga bersumber dari uang negara.
Terakhir, maraknya kasus korupsi pengelolaan dana investasi belakangan ini menjustifikasi perlunya revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasalnya, regulasi ini dinilai tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan teknologi. Hampir semua sektor pasar modal menggunakan transaksi elektronik dan digitalisasi yang super canggih. Sehingga, terkadang sulit bagi norma tersebut memperangkap institusi pasar modal yang dinilai nakal/bermasalah.
Tentu semua berharap, dugaan korupsi yang menyeret BPJS Ketenagakerjaan merupakan kasus terakhir di jagat investasi dan asuransi. Meskipun investasi dan asuransi merupakan salah satu penyokong perekonomian nasional, namun pengelolaannya harus tetap berada dalam batas kewajaran dan koridor hukum tanpa ada penyimpangan sedikitpun. Semoga…