Jumat, Oktober 4, 2024

Sempitnya Partisipasi Publik dalam Kebijakan Lingkungan Hidup

Michael Ganda Manarsar Hutajulu
Michael Ganda Manarsar Hutajulu
Interest in law and environment issues. Loves coffee and literacy

Dalam menganalisis implementasi hak keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan penyusunan propenas, di tingkat proyek dan dalam penyusunan AMDAL, penulis telah meneliti mengenai hal ini dengan menggunakan indicator ketersediaan pengaturan perundang- undangan dan ketersediaan saran dan prasaran PTUN dan judicial review.Apabila dilihat dari ketersediaan pengaturan keterlibatan masyarakat pada tingkat pusat, ternyata pengaturannya belum cukup memadai

Dalam kaitannya dengan kelima isu di atas ternyata belum diikuti adanya jaminan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan pemulihan/ganti kerugian apabila hak keterlibatan masyarakat dan akses informasi dilanggar. Pasal 5 ayat (3) dan (4) orodnansi gangguan hanya menyebutkan bahwa “ dalam satu bulan sesudah hari pemberitahuan,

setiap orang berhak menyatakan keberatannya terhadap pemberian izin itu kepada pejabat tersebut, pejabat itu harus memeriksa keberatan-keberatan dan apabila dapat, ia harus mendengar orang yang berkepentingan tersebut’. Selanjutnya dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya akan disebut UUPPLH) terdapat pengaturan pengajuan keberatan melalui proses litigasi dan pilihan penyelesaian sengketa namun tidak ada pengaturan tentang prosedur banding.

Demikian pula dalam perundang- undangan sektoral tidak ditemukan pengaturan yang berkaitan dengan akses keadilan bila keterlibatan masyarakat dan akses informasi dilanggar. Apabila memperhatikan kelengkapan sarana dan prasarana PTUN serta judicial review seperti disebutkan di atas, maka cukup memadai rasanya dalam memenuhi tuntutan penyelesaian sengketa lingkungan yang sampai ke PTUN. Pengimplementasian keterlibatan masyarakat, dan akses informasi terhadap keadilan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dalam kerangka peraturan perundang-undangan nasional dari segi ketersediaan pengaturan dan kelengkapan sarana prasarana PTUN serta judicial review. 

Dalam tulisan ini diuraikan bahwa keterlibatan masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pengambilan keputusan dan kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan, anggota masyarakat berhak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu walaupun keputusan terakhir tetap berada di tangan pihak pengambil keputusan tersebut. Berlainan halnya dengan masyarakat dengan pola kemitraan sebagaimana dianut dalam UUPPLH-09, dimana kedudukan masyarakat dengan pemerintah relatif sejajar dalam pengambilan keputusan, yang berarti bahwa mereka secara kolektif membahas masalah mencari alternatif pemecahan masalah dan membahas keputusan.

Dalam kenyataannya masih banyak yang memandang keterlibatan masyarakat itu sebagai penyampaian informasi dan penyuluhan saja, bahkan hanya sekedar instrumen public relation agar proyek dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan, oleh karena itu keterlibatan masyarakat tidak hanya digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi dapat digunakan sebagai tujuan (participation is an end it self).

Harmonisasi dalam hukum dan peraturan perundang-undangan mencakup: penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan, dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum kalau memang dibutuhkan

Asas penyerasian/ harmonisasi lingkungan ini berkaitan erat pula dengan falsafah Pancasila yang menyatakan bahwa kebahagian hidup akan tercipta jika didasarkan atas keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hal-hal sebagai berikut: dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia manusia dengan alam, dalam hubungan bangsa dengan bangsa lain, dalam hubungan manusai dengan Tuhannya, dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan secara rohani.

Pereduksian keterlibatan masyarakat dapat dilihat dari waktu ke waktu, yang dimana kriteria dari masyarakat yang dapat terlibat dalam pengambilan keputusan di bidang lingkungan hidup makin diperkecil. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Pasal 38 ayat (1) dikatakan bahwa: “Dalam rangka tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup” dalam hal ini dapat diketahui bahwa pola kemitraan yang menjadi kriteria masyarakat untuk terlibat, kemudian terdapat perubahan mengenai kriteria masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengambilan keputusan di bidang lingkungan hidup di dalam UUPPLH-09 Pasal 26 ayat (2) sampai dengan ayat (3) dikatakan bahwa:

  • Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
  • Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  • yang terkena dampak;
  • pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
  • yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.9 Kriteria masyarakat yang ikut terlibat mempunyai porsinya masing-masing baik itu dari segi masyarakat yang dampak langusung dirasakan oleh masyarakat tersebut, dan yang memiliki

pengetahuan akan lingkungan hidup yang membuat pengambilan keputusan cenderung memiliki dampak yang baik bagi masyarakat.

Pemangkasan hak keterlibatan masyarakat dalam Undang-Undang Cipta Kerja sangat mencolok, hal ini termaktub dalam Pasal 26 ayat (2) sampai dengan ayat (3) yaitu:

  • Penyusunan dokumen AMDAL dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
  • Ketentuan ini lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 10

Penghapusan ahli dan organisasi lingkungan sebagai anggota penyusun AMDAL membuat posisi pihak ketiga menjadi lemah. Akibat pereduksian kualitas pengambilan keputusan kurang komprehensif, mereka yang terdampak langsung oleh rencana sebuah kegiatan atau usaha tanpa pendampingan membuat posisinya infrerior secara politik. Umumnya mereka yang terkena dampak secara langsung oleh kegiatan industri berada di wilayah pedalaman. Akibatnya penyusunan AMDAL akan timpang dan menyisihkan peran kelompok independent sekaligus mengehentikan distribusi serta pemakaian ilmu pengetahuan.

Rekomendasi yang perlu dimasukkan mengenai hal ini adalah kriteria masyarakat yang terkena dampak langsung termasuk bagaimana menentukan masyarakat terkena dampak langsung yang umumnya tidak dapat didekati hanya dengan wilayah adminisitrasi usaha saja, pelibatan masyarakat yang tak terkena dampak langsung perlu tetap diatur dengan standar dan mekanisme yang jelas karena hak atas lingkungan hidup tidak dapat hanya didekati dengan wilayah administrasi usaha.

Dampak lingkungan dapat bersifat kumulatif dan sekaligus bersifat lintas wilayah administrasi usaha, kemudian standar dan mekanisme transparansi dan keberatan dalam penyusunan AMDAL. Hal penting untuk memastikan proses partisipasi tetap terjamin dan sekaligus mencegah terjadinya korupsi dalam proses penyusunan AMDAL, lalu perlu untuk diatur juga strandar dan mekanisme transparansi dan partisipasi publik dalam tahapan proses penyusunan AMDAL.

Michael Ganda Manarsar Hutajulu
Michael Ganda Manarsar Hutajulu
Interest in law and environment issues. Loves coffee and literacy
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.