Kegemaran saya menonton film dokumenter menggiring saya pada film Operation Varsity Blues: The College Admissions Scandal, yang saya tonton baru-baru ini. Dari film dokumenter ini, saya mengetahui bahwa sistem masuk universitas di Amerika Serikat tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Ada jalur masuk lewat ujian, dan ada juga yang melalui donasi. Sayangnya kedua jalur itu tidak memberikan kepastian akan diterima.
Dalam film dokumenter ini, diceritakan sesosok Rick Singer yang menawarkan cara ketiga, yang dalam terminologi kita adalah upaya-upaya yang memanfaatkan “orang dalam”. Modus favorit Rick Singer adalah mendaftarkan kliennya sebagai siswa yang berprestasi dalam bidang olahraga, walaupun pada kenyataannya bukan. Untuk melakukan hal ini, ia memalsukan foto, dokumen, hingga menyuap petugas-petugas penting.
Cara-cara “jalan belakang” seperti ini mestinya tidak asing bagi kita. Istri saya pernah menceritakan punya seorang teman kuliah yang jarang masuk kuliah. Ia hanya terlihat saat awal semester dan ketika ujian. Padahal bagi mahasiswa lain, kurangnya jumlah kehadiran di kelas bisa langsung menyebabkan ia tidak lulus mata kuliah tersebut. Yang membuat semua orang lebih sebal lagi, pada saat akhirnya wisuda, teman ini lulus dengan predikat cum laude.
Saya masih ingat, istri saya menceritakan kisah tadi ketika kami sedang menonton berita tentang ayah si teman ini ditangkap oleh komisi anti-rasuah beberapa waktu lalu. Sejak awal, rasanya sulit membayangkan bahwa “prestasi” teman ini adalah hasil dari usaha yang berintegritas.
Saya meyakini, penyimpangan seperti ini berpangkal pada ambisi orang tua untuk mencitrakan bahwa anaknya punya pencapaian akademis. Prestasi anak adalah gengsi bagi orang tua, yang bisa diceritakan dengan bangga kepada saudara, tetangga, atau kolega. Jika toh prestasinya buruk, setidaknya diusahakan agar tidak ada rasa malu yang mesti ditanggung. Sayangnya, sering kali kemauan dan kemampuan si anak menjadi terabaikan.
Sebagian orang akan dengan mudah mencibir jika ada keluarga kaya menggunakan uangnya untuk meloloskan anaknya masuk ke universitas paling top. Tapi bagaimana lagi? Gengsi dan kemampuan finansial memang pasangan serasi yang saling menghidupi.
Bagi mereka yang mampu dan menyukai jalan pintas, mengeluarkan banyak uang untuk pendidikan anak tidaklah berat. Selama itu demi kebahagiaan anak dan keluarga bukankah apapun harus dilakukan, walaupun mesti lewat “jalan belakang”? Terlebih jika ada nama baik yang harus dijaga.
Padahal, jika mau jujur, perkara gengsi bukanlah dominasi orang kaya saja. Banyak keluarga kelas menengah hingga yang miskin pun sesungguhnya ingin anaknya masuk sekolah bergengsi atau setidaknya tampak berprestasi.
Saya curiga, yang membedakannya dengan kaum elit hanyalah kurang mampu secara finansial saja. Tidak ada jaminan bahwa semisal mereka mampu secara finansial, mereka tidak akan menggunakan kekuatan finansialnya untuk kepentingan seperti itu. Jangan-jangan, kita semua punya gengsi yang serupa, jika bukan sama.
Setidaknya ketika saya masih SMA dua windu lalu, saya ingat betapa para orang tua—tidak peduli kelas sosialnya—cemas dan menuntut anaknya masuk kelas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Entah bagaimana runtutan logisnya, siswa IPA dianggap lebih pintar dan superior dari siswa ilmu sosial atau bahasa. Dan entah bagaimana pula, pihak sekolah tidak jarang berperan memperparah stigmatisasi ini.
Berkat stigmatisasi ini, beberapa teman SMA dulu menjadi murung dan depresi karena merasa menjadi warga kelas dua di sekolah hanya karena masuk kelas IPS. Bagi yang orang tuanya mampu, solusi lebih mudah ditemukan. Bagi anak yang hidupnya serba pas, mereka akan berusaha mengikhlaskannya, dan lebih dini menemukan bahwa gengsi dan stigmatisasi yang menyertainya tidak berhubungan dengan cerah kelam masa depan mereka.
***
Perkara gengsi bisa jadi merupakan masalah sistemik dalam dunia pendidikan kita. Belum lama berselang, tersiar kabar bahwa publikasi jurnal terindeks Scopus melejitkan jumlah karya ilmiah akademisi Indonesia. Tentu membanggakan memiliki karya yang diakui secara internasional.
Sayangnya, menurut Macháček dan Srholec (2021), Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia sebagai negara yang karya tulis ilmiahnya banyak dipublikasi jurnal predator. Sebanyak 16,73% karya tulis yang diambil dari sampel tergolong sebagai jurnal predator. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
Jurnal predator menjiplak publikasi ilmiah yang pernah diterbitkan di jurnal lain, atau membajak penerbit jurnal yang sudah mapan. Kemudian, mereka mensyaratkan sejumlah uang demi iming-iming publikasi karya ilmiah dalam waktu singkat kepada calon kontributornya. Padahal, terbitan ilmiah yang bonafide akan me-review ketat karya ilmiah yang masuk sebelum dinyatakan layak publikasi.
Saat ini, negara kita sedang berusaha memperbaiki citra dalam bidang riset dan teknologi. Salah satu usahanya adalah menggelontorkan dana kepada Perguruan-perguruan Tinggi untuk memperbanyak publikasi ilmiah. Banyaknya jumlah publikasi ilmiah turut mendongkrak peringkat universitas dalam skala nasional.
Jika melihat besarnya gelontoran dana untuk keperluan ini, dikaitkan dengan implikasinya terhadap peringkat kampus, besar peluang penyimpangan bisa terjadi.
Sulit untuk tidak curiga, bahwa ada oknum dosen atau institusi yang membayar sejumlah uang agar karyanya dapat dipublikasikan. Pertanyaannya, mengapa sampai perlu ngejabanin penerbitan karya tulis ilmiah dengan membayar ratusan hingga ribuan dollar?
Bagi kontributor jurnal, dalam hal ini dosen atau peneliti, alasannya bisa jadi sekadar pragmatis. Publikasi karya ilmiah, apalagi yang terindeks internasional, berpengaruh terhadap kenaikan gaji, jabatan, dan tentunya insentif dari Pemerintah.
Bagi universitas, jelas bahwa peringkat nasional adalah capaian bergengsi. Tak jadi soal membayar ratusan dollar kepada jurnal abal-abal, toh jumlahnya tidak seberapa dibandingkan gelontoran dana yang telah dialokasikan. Bahkan mungkin bukan masalah juga, jika karya tulis dikirimkan ke jurnal predator tanpa seizin penulisnya. Bukankah jika gengsi telah diraih, capaian materiil lebih mudah datang?
***
Dewasa ini, tujuan menempuh pendidikan umumnya adalah urusan materiil: kepastian kerja dan gaji tinggi sesuai kemampuan dan tingkat pendidikan. Di sisi lain, universitas tereduksi perannya, menjadi sekadar pabrik yang mencetak produk yang laku dalam bursa kerja. Bisa jadi memang tidak ada yang salah dengan ini.
Namun karena segalanya dihubungkan dengan tuntutan materiil, kita jadi sulit membayangkan bahwa pada dasarnya tujuan dari proses belajar adalah demi ilmu itu sendiri. Kita jadi lupa rasanya belajar karena mencintai ilmu dan prosesnya. Akhirnya, gairah-gairah akademis terkesampingkan oleh lingkaran setan antara gengsi dan tuntutan materiil belaka.
Memiliki capaian akademis yang mentereng tentu prestasi yang layak dibanggakan. Namun bukankah sebaiknya hasil akhir pendidikan ialah membentuk pribadi yang kreatif, adaptif, dan mampu berkontribusi dalam masyarakat? Sulit membayangkan kontribusi positif bisa terwujud, jika sejak proses pembentukan manusianya sudah melibatkan cara yang tidak berintegritas.