Mengingat Sjahrir sama saja dengan mengingat tentang pembuangan dan perjuangan diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan. Sjahrir terlahir dengan perawakan yang kecil. Tetapi, pemikiran, nyali, dan andilnya dalam memperjuangkan kemerdekaan sangatlah besar dan tidak dapat dianggap enteng.
Sjahrir terlahir dari keluarga menengah atas yang berasal dari Minang. Ayahnya bekerja sebagai Jaksa. Ia dilahirkan di Padang dan dibesarkan di Medan. Selepas mengeyam pendidikan di ELS dan Mulo di Medan Ia pun memilih untuk melanjutkan pergumulan intelektualnya di Algemeene Indische Dagblad di Kota Bandung.
Setelah dewasa, Sjahrir muda pun meneruskan pendidikannya ke negeri Belanda. Negara yang menjadi salah satu pilihan favorit bagi anak muda Indonesia kala itu untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Pada buku Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil (2017:18-19) mengatakan bahwasanya, saat ia menempuh pendidikannya Amsterdam. Lebih tepatnya di Universiteit Van Amsterdam. Sjahrir pun, lebih memilih untuk aktif dalam diskusi di kafe-kafe dan tergabung dengan Amsterdamsche Sociaal Democratische Studenten Club daripada, berkuliah secara rutin di kampus. Hal inilah yang kemudian memengaruhi pandangan dan pemikirannya. Khususnya, tentang sosialisme dan demokrasi.
Sosial Demokrat dan Anti-Fasis
Sebagai mahasiswa yang dibesarkan dengan pemikiran sosial demokrat inilah yang kemudian membuatnya memilih untuk menyemplungkan dirinya ke tengah-tengah kehidupan kaum proletar. Semangat mudanya yang menggebu-gebu untuk memanusiakan manusia. Setidak-tidaknya, untuk kaum buruh atau rakyat jelata.
Menurut Sjafruddin Prawiranegara dalam “Bung Sjahrir pendekar kemerdekaan dan pendekar demokrasi” dalam Mengenang Sjahrir (1980:132) yang mengatakan Sjahrir merupakan penjelmaan daripada demokrasi. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Sjafrudin diatas, Vedi R. Hadiz dalam “Mencari Ahli Waris Ideologis Sjahrir” dalam buku Peran Besar Bung Kecil (2017:188) mengatakan bahwasanya, Sjahrir merupakan eksponen ataupun perpaduan antara sosial demokrasi dengan liberalisme.
Sosial demokrasi dapat dipandang melalui sikapnya yang menolak kepemimpinan yang otoriter. Tetapi, disatu sisi, liberalisme pun tergambar melalui sikapnya yang dengan tegas menolak hak-hak individu yang dapat dipreteli melalui tirani negara.
Menurut G. McTurnan Kahin dalam “Sutan Sjahrir” pada buku Mengenang Sjahrir (1980:300) Sepanjang hidupnya, pemikiran Sjahrir dipenuhi oleh dua hal, yaitu: bahaya akan suatu pemerintahan otoriter serta keinginannya agar revolusi Indonesia dapat melampaui batas-batas kemerdekaan nasional untuk membangun sosial-ekonomi yang berakar luas.
Dalam pemikirannya, Sjahrir menganggap bahwasanya, kemerdekaan hanyalah jembatan bagi Indonesia untuk membangun tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera. Sehingga, perjuangan merebut kemerdekaan tidaklah berhenti sampai dimana Indonesia merdeka. Melainkan, berlanjut hingga titik terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera.
Melalui pamfletnya yang berjudul Indonesische Overpeinzingen yang dikemudian hari dikenal dengan Renungan Indonesia, Sjahrir telah menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap absolutisme negara. Dalam konteks arus utama eropa kala itu, absolutisme tengah mendapatkan tempat utama. Seperti, Stalin di Uni Soviet, Hitler di Jerman, dan juga Mussolini di Italia. Sehingga, ketika hak-hak individu ditempatkan sebagai suatu hal yang subordinat daripada negara ialah hal yang dianggap lumrah. Sjahrir memang sangat mengkhawatirkan apa yang ia sebut sebagai “warisan feodal” tradisional yang mengakar kuat di Indonesia.
Pejuang Demokrasi dan Perdana Menteri yang Kontroversial
Suatu hal yang penting dari seorang Sjahrir ialah kehendaknya untuk membela kedaulatan rakyat. Sjahrir merupakan pejuang demokrasi yang sejati. Hal ini, dibuktikan dengan penolakannya terhadap kepemimpinan yang fasistik dan totalitarian.
Pada saat usia Indonesia masih seumur jagung. Presiden dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh suatu badan yang dinamakan dengan KNIP. Tetapi, pada perjalanannya dikeluarkanlah Maklumat X 16 Oktober 1945 yang menyatakan bahwasanya, KNIP diberikan kekuasaan legislasi dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara sampai MPR dan DPR terbentuk yang kemudian pada sidang tersebut, terpilihlag Sjahrir yang ditunjuk sebagai formatur BP KNIP.
Sikapnya yang secara terang-terangan menolak totalitarian dan menjunjung tinggi nilai demokrasi pun berlanjut dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang menjadi tonggak kehadiran partai-partai politik di Indonesia. Konsekuensinya, sistem kepartaian Indonesia kala itu pun, bergeser semakin jelas kearah multipartai ekstrem. Mengingat, kondisi sosial-politik kala itu, dipenuhi dengan intrik politik yang bersifat ideologis.
Titik berangkat pemikiran Sjahrir atas pluralitas partai ini sejalan dengan pemikirannya untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dari otoritarian partai tunggal dan juga membangun pemerintahan yang demokratis. Jacques Leclerc seperti yang dikutip oleh Ibrahim (2016:7) mengatakan sistem multipartai ini yang kemudian dapat menekan akumulasi kekuasaan pada pemerintah. Mengingat, ideologi yang diusung oleh masing-masing partai berbeda-beda.
Titik puncak karir politik Sjahrir dimulai pada tanggal 14 November 1945. Yang mana, pada hari itulah Sjahrir diangkat menjadi Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Ben Anderson mengatakan ini sebagai The silent coup bagi Sukarno. Mengingat, Presiden yang sebelumnya menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara. Kewenangannya dibatasi hanya sebatas menjadi kepala negara yang dapat dikatakan hanyalah simbol negara.
Sjahrir menjabat menjadi Perdana Menteri kurang lebih selama 2 tahun, Kabinetnya pun, tidak berjalan mulus begitu saja. Sjahrir dijatuhkan sebanyak dua kali selama kepemimpinannya. Penerapan garis diplomasi dengan Belanda menjadi alasan utama instabilitas kepemimpinannya.
Puncak kejatuhan Sjahrir sebagai Perdana Menteri ditandai dengan ditekennya perjanjian Linggarjati yang mana, Belanda secara de facto hanya mengakui wilayah Indonesia yang meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura. Tekanan pun datang dari banyak tokoh kala itu, yang menuduhkan Sjahrir telah menjual Indonesia kepada Belanda.
Menurut Julianto Ibrahim (2016:11), tekanan ini datang melalui badan-badan yang telah lama beroposisi dengan Sjahrir yang kemudian bersatu dalam sebuah organisasi yang bernama Benteng Republik Indonesia yang kemudian direspons dengan koalisi pendukung Linggarjati yang diamakan dengan sebutan Sayap Kiri.
Polarisasi pun semakin hari kian hebat. Perpecahan ini pun merasuk kedalam kubu kiri di Indonesia kala itu yang kemudian berujung pada Sjahrir yang merasa dikhianati oleh Sayap Kiri. Khususnya, oleh Amir Syarifudin, Tan Ling Djie, dan Abdulmajid pun memilih untuk meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri.
Terakhir, pemikirannya tidak terlepas dari pemikiran Sosial demokrat yang ia dapatkan disaat Ia masih menjadi mahasiswa di Belanda yang kemudian, nilai-nilai tersebutlah yang sepanjang hidupnya tetap ia pegang teguh sampai ia pun menutup mata.