Perdebatan seputar boleh tidaknya memberikan ucapan ‘Selamat Natal’ seolah selalu bermunculan setiap tahun. Tulisan ini tentu salah satunya. Ada beragam alasan yang dilontarkan oleh berbagai pihak.
Jika saya boleh menyimpulkan, paling tidak terdapat tiga hal yang menjadi bahan perdebatan. Pertama ialah problem historis tentang tanggal kelahiran Nabi Isa, kedua ialah persoalan akidah, dan yang ketiga berkaitan dengan masalah toleransi umat beragama.
Untuk alasan yang disebutkan terakhir, pendekatan sejarah dan akidah tidak dipermasalahkan. Titik tekannya ialah bagaimana membangun kerukunan antar umat beragama yakni, saling menghormati antara satu dengan yang lain.
Tulisan ini juga ada kaitannya dengan poin ketiga yang sering menjadi bahan perdebatan. Namun saya ingin letakkan ucapan ‘selamat Natal’ terutama sebagai problem bahasa.
Pihak yang cenderung pelit dalam beragama, pelit karena berbagi kebahagiaan dengan pemeluk agama lain saja tidak mau, cenderung memahami praktik berbahasa dengan kaku. Padahal saya meyakini kasus yang sama dengan memberikan ucapan natal dapat kita temui dalam praktik berbahasa sehari-sehari yang telah menjadi budaya masyarakat.
Saat saya bertanya, ‘mau kemana?’ kepada teman yang sedang lewat di depan rumah, bukan berarti saya ingin mendapat informasi tentang tujuan dia. Terkadang orang yang bertanya semacam itu tidak mementingkan iformasi.
Maka komunikan sering kali memberikan jawaban yang tidak jelas, seperti ‘arak tiang lai seberak’ yang dalam Sasak berarti ‘ada yang ingin saya tuju’. Jawaban itu tidak akan membuat komunikator merasa tersinggung karena pertanyaannya tidak dijawab. Justru suasana akrab tetap terjaga, karena memang tujuan pertanyaan komunikator yang sebenarnya ialah sebatas bertegur sapa untuk mempererat rasa persaudaraan dengan komunikan.
Praktik berbahasa seperti dijelaskan di atas menjadi bidang kajian ilmu Pragmatik. Dibandingkan dengan disiplin ilmu Linguistik lainnya, Pragmatik termasuk disiplin yang baru berkembang. Yule (1996) mengatakan bahwa kelahiran ilmu Pragmatik bermula dari berbagai fenomena berbahasa yang yang tidak dapat dijelaskan oleh para ahli, lalu dibuang ke keranjang sampah. Oleh Pragmatik, apa yang dianggap sampah oleh para ahli sebelumnya kemudian dipungut dan menemukan penjelasannya.
Salah satu yang menjadi pembahasan dalam ilmu Pragmatik ialah tindak tutur (speech act). Istilah itu dilontarkan oleh John Langshaw Austin (1911-1960), filsuf dan ahli bahasa yang berasal dari Inggris dalam karyanya berjudul How to Do Thing with Words (1962).
Austin membedakan antara tuturan lokusi, ilokusi, perlokusi. Lokusi merupakan bentuk ujaran yang paling dasar, ketika seseorang mengatakan sesuatu itu disebut lokusi. Saat ujaran tertentu memiliki maksud lain itu bentuk dari ilokusi, sedangkan perlokusi sendiri fokus pada efek yang ditimbulkan oleh suatu ujaran.
‘Selamat Natal’ sebagai sebuah ujaran dapat kita tempatkan dalam tiga pembagian yang telah dilakukan oleh Austin di atas, khusnya pada wilayah ilokusi. Sebenarnya untuk klasifikasi tindak tutur berbeda-beda antara tokoh yang satu dengan yang lain. Ucapan ‘selamat Natal’ yang menjadi fokus dalam tulisan ini masuk ke dalam bagian tindak tutur ekspresif. Tindak tutur jenis ini diantaranya mencakup ucapan meminta maaf, bersimpati, ucapan selamat, memaafkan, dan ucapan terima kasih (Leech, 2011).
Apa tujuan dari tuturan semacam itu? Leech (2011) menyebut paling tidak ada empat tujuan dari tindak ilokusi. Di antaranya ialah kompetitif, bekerja sama, pertentangan, dan menyenangkan. Jenis tindak tutur ekspresif yang merupakan bagian tuturan ilokusi berkaitan dengan upaya untuk saling menghargai antara umat yang satu dengan umat yang lain, sehingga tercipta kerukunan antar umat beragama.
Ucapan ‘selamat Natal’ pun harus pula ditempatkan dalam konteks itu. Sehingga mengucapkan selamat Natal tidak berarti mencemari akidah orang yang mengucapkannya. Karena saat saya mengucapkan selama Natal kepada teman-teman saya, bukan berarti saya seketika meyakini paham agama tersebut.
Kasus yang sama berlaku kepada agama-agama lain. Sebaliknya, ada banyak teman saya penganut Nasrani melakukan hal yang sama saat Hari Raya Idul Fitri tiba. Tapi mereka semua tetap menjadi pemeluk agama Nasrani yang kaffah dan militan bukan?
Perbedaan pandangan dan keyakinan adalah fitrah manusia. Jangankan dengan agama lain, sesama penganut agama yang sama saja belum tentu ketemu. Dalam dunia Islam sendiri ada segudang aliran yang kemudian disebut sekte.
Atau tidak usah jauh-jauh, urusan mode dalam kehidupan sehari-hari saja bisa jadi bahan perdebatan. Lalu apakah perbedaan-perbedaan itu harus menjadikan kita terpecah belah? Bisakah ada persatuan tanpa perbedaan? Justru karena kita berbeda, kita dapat saling menghargai antara satu dengan yang lain.
Ada banyak sekali tokoh-tokoh agama dari kalangan muslimin yang telah menegaskan bahwa memberikan ucapan Natal bukan sesuatu yang terlarang. Sebut saja misalnya, Quraish Shihab, Said Aqil Siraj, hingga Gus Dur yang disebut-sebut sebagai tokoh pluralisme di Indonesia.
Sebegitu rawankah akidah yang kita anut, sehingga memberikan ucapan selamat Natal kepada umat beragama lain dianggap sebagai bentuk penyimpangan akidah? Untuk jawaban pertanyaan terakhir hanya pembaca yang mengetahui. Selamat merayakan Natal bagi seluruh saudara-saudaraku yang beragama Nasrani di manapun berada.