“Tara pigi shalat?” Suara Om Nemu datang dari ruang tengah rumahnya. Lelaki berperawakan tinggi kira-kira 170 meter ini memberi isyarat petanda malam Jumat. “Saya mandi dulu Om,” dari dalam kamar, saya menimpa pertanyaan Om Nemu yang baru saja pulang dari Gejera.
Hari itu memang sudah cukup sore. Saya sendiri baru habis jalan-jalan melihat suasana di luar rumah. Melintasi beberapa setapak rusak. Masuk keluar lorong rumah dan indekost warga. Dari ujung kampung muslim di Lelilef Waibulen, hingga melatah ke sungai kecil dekat bandara udara milik perusahan tambang nikel. Jauh. Setidaknya bagi pejalan kaki.
Dua minggu lalu saya memang berada di Desa Lelilef Sawai, Weda Tengah. Ini pemukiman non-muslim. Ummat Kristen. Dekat sekali dengan kawasan industri nikel yang mayoritas sahamnya dimiliki Tsingshan Group asal Tiongkok. Saya tinggal disana sekitar dua minggu. Sejak tanggal 4 sampai 16 Desember. Menetap di rumah Hernemus Takuling, nama lengkapnya Om Nemu. Warga asli suku Sawai.
Dia sering sekali menceritakan legenda Legae Cekel. Kepala Suku Sawai yang konon terkenal kejam, setidaknya di daratan Halmahera dan Raja Ampat, Papua.
Om Nemu adalah sosok yang paling cepat sekali akrab. Selalu mengisi kekosongan dengan cerita-cerita jenaka. Tak jarang tawa pecah berkali-kali di teras rumahnya. Orangnya cukup humoris dan mengesankan. Auranya berkepribadian. Juga cukup serius bila membahas perkara ‘ummat’ alias kepentingan orang banyak.
Saya mengenal namanya lebih dulu dari beberapa liputan wartawan dan termasuk Supriyadi Sawai. Lelaki gondong yang saya sebut terakhir itu juga yang memperkenalkan saya dengan Om Nemu melalui telepon genggam. Singatknya, Om Nemu pernah dipenjarakan gegera membawa sebila pisau saat memprotes penggusuran lahan pada 2012 silam oleh PT. Weda Bay Nickel. Perkara ini sampai melanglang ke pusat Indonesia.
Nama Hernemus Takuling cukup mentereng, setidaknya ketika itu. Di kampung, dia dikenal oleh orang-orang sebagai lelaki tegas dan loyal atas kondisi sosial. Disisi lain, juga sangat menyayangi anak-anaknya.
Beberapa kali, saat baru beberapa hari di rumahnya, tiap pagi lelaki bepostur besar ini kerap membikin kopi untuk saya. Tentu punya dia juga. “Om, biar saya yang bikin.” “Sudah. Santai saja,” cetusnya sembari mengaduk gula di termos kecil yang sudah ia celupkan dua buah teh.
Suasana tiap hari ketika sarapan pagi, jamuan makan siang dan malam selalu di warnai perbincangan. Dari yang paling guyon, hingga yang paling progresif: melawan kesewenang-wenangan dan membangun tatanan sosial yang adil. Tentu yang menurutnya relevan dengan kondisi di desanya yang tengah di kepung industri tambang.
Lelaki yang sudah berusia 54 tahun ini paham betul kondisi sosial di desanya. Dia kerap mengkritik kebijakan pemerintah desa yang mengabikan perubahan sosial dan budaya akibat kian hari tergerus. Menurutnya, bila desa ini di bangun dengan baik dan penuh kasih, tentu masayarakat lingkar tambang akan sejahtera.
Tentu, pemerintah daerah dan pusat tak luput dari komentar pedasnya yang membirkan perusahaan PT. IWIP, patungan dari tiga investor asal Tiongkok, yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi ini merusak pranata sosial dan ekologi di desa.
Di usia yang tak lagi muda itu, justru loyalitasnya atas gerakan sosial bisa dibilang melampaui semangat anak-anak muda generasi saya. Dia sangat kagum bila melihat anak-anak muda terlibat memprotes kebijakan negara.
Anak-anaknya dididik untuk tidak tunduk pada kekalahan. Tidak mudah mempercayai kebijakan. Dan melawan bila hak terampas.
Saya kira, jarang sekali menemukan orang tua yang sudah berkepala lima begini yang masih peka pada realitas yang timpang.
Di lain kesempatan, lelaki yang juga cukup religius ini bercerita tentang sosok Ust. Jefri Al buchori hingga Ustad Somad. Menurutnya, kedua lelaki muslim ini cukup piawai dalam khotbah-khotbahnya. Dia juga turut pihatin dengan apa yang tengah dialami oleh Habib Rizieq Shibab sekarang.
Ini adalah disisi lain kepribadian lelaki yang lahir tahun 1966. Masa dimana politik Indonesia lagi tegang-tegangnya diambil alih oleh rezim Orde Baru.
Bila minta izin pergi keluar rumah sejak pagi, dan belum pulang sesudah waktu makan siang. Telepon genggam saya selalu berdering. Dibalik suara yang khas, selalu diawali, “Dimana? Pulang makan dulu.”. Saya jawab seadanya dan menyelesaikan apa yang saya kerjakan kemudian bergegas pulang.
Orang-orang yang mengenal dekat dengan Om Nemu, tentu bakal mengingatnya sebagai lelaki yang piawai, setidaknya atas saran dan gagasan-gagasannya membangun desa.
Di suatu waktu, tepat pada hari Ahad, sebelum berangkat bersama keluarga beribadah di Gejera, dia ingatkan agar melihat apa yang ada di dapur untuk makan. “Jangan sungkan-sungkan. Liat apa yang ada makan saja,” ujarnya sembari menenteng sebuah Al-Kitab dan berjalan keluar rumah.
Pada malam Jumat, yang saya sebut di awal. Dia terlihat antusias saat saya meminjam setrika merapikan kemeja untuk shalat. Usai merapikan kemeja, setrika itu lantas saya kembalikan padanya. Tak bertanya dan saya tidak sempat memberitahu kalau setrika itu masih panas, dia lantas memungutnya. Di bagian perut dekat pusar ada tanda garis kecil. Secara tidak sengaja terkena setrikan yang masih panas.
Keesokan hari, dia ingatkan lagi. Lucunya, saya dia panggil “Om”–laiknya orang yang sudah berusia lebih. “Tara Shalat Jumat?” Saya langsung bergegas mandi. Berjalan ke arah suara yang sedang melantunkan azdan di siang itu.