Zaman senantiasa berkembang, tetapi apakah sekolah kita juga berkembang? Apa syarat utama perkembangan itu? Apakah sekolah sudah memilik syarat itu? Sebagai institusi, sekolah sepertinya tak akan terancam gulung tikar, karena itu, juga tak akan berkembang. Perangkat perundang-undangan akan selalu menopangnya dengan alasan kuat: sekolah adalah pundak pertama untuk memikul mimpi bangsa ini.
Karena itulah, sekali lagi, sekolah serasa tak perlu menggelisahkan nasibnya meski perusahaan-perusahaan besar yang konvensional nyata-nyata mulai gulung tikar, seperti taksi, ojek, ritel, bahkan bisnis perhotelan.
Jika taksi konvensional mulai tumbang karena kehadiran taksi berbasis aplikasi, sekolah sebagai istitusi masih berada pada zona yang sangat nyaman. Sekolah masih mempunyai produksi unggulan: ijazah.
Selain sekolah, tak ada institusi pendidikan yang bisa memproduksinya. Karena itulah, meski bimbel hadir sejak tahun 1970-an, sekolah sebagai institusi tetap tak ambil pusing. Bagi sekolah, bimbel bukan saingan. Bimbel justru teman, bahkan menjadi perpanjangan tangan untuk berbagi tanggung jawab terhadap kemampuan akademis siswa. Itulah sebabnya mengapa banyak sekolah bekerja sama dengan bimbel.
Jika pun ada saingan sekolah, maka saingannya hanyalah sekolah lain. Karena itulah, sekolah kita sebagai institusi sempat sangat doyan membuat label: sekolah favorit, sekolah unggulan, bahkan sebelumnya, sekolah bertaraf internasional. Ukuran label itu apa? Produk selain ijazah.
Sebab, seperti sudah kita ketahui bersama, tingkat kesuksesan sekolah itu dilihat dari satu level di atasnya. Sebuah SD akan dinilai baik jika bisa mengantarkan siswanya meraih kursi di SMP favorit. SMP yang baik dinilai dari kemampuannya menempatkan siswanya ke SMA favorit. Dan, SMA semata akan dinilai dari seberapa banyak siswa diterima di PTN.
Pada Posisi Terancam
Jika dikerucutkan, tujuan sekolah kita ternyata sangat sederhana: meluluskan siswanya ke PTN. Bayangkan, 12 tahun sekolah hanya untuk lulus PTN. Di sinilah sekolah menjadi sebatas school. Padahal, sekolah itu harusnya memuat kata education di dalamnya.
Sekolah harusnya membuat siswa menjadi orang yang pembelajar seumur hidupnya, bukan belajar seharian penuh selama 12 tahun. Sekolah itu harus menanamkan filosofi long life education, bukan full day school. Namun, harus kita akui bersama, sekolah kita seakan mencukupkan dirinya sebatas alat transfer ilmu. Lalu, pelan-pelan kendali alat itu diberikan pula ke bimbel.
Celakanya, belakangan ini, sekolah semakin berada pada zona nyaman pula karena sekolah demi sekolah tak lagi butuh label favorit, unggulan, dan semacamnya untuk mendapatkan siswa.
Dengan adanya sistem zonasi, siswa akan masuk dari jalur otomatis. Sekolah tak perlu merisaukan kualitas siswa yang masuk dari jalur otomatis itu. Sebab, urusan akademis akan dibantu (sepenuhnya) oleh bimbel. Sisi akademis dari sekolah cukup hanya mencatat angka-angka ke rapor dan ijazah. Saya pikir, itulah alasan mengapa jika sampai kini sistem pendidikan kita selalu terpuruk.
Nah, berbeda dengan sekolah, bimbel selalu berada pada posisi terancam oleh peraturan pendidikan yang selalu berubah, juga oleh kehadiran bimbel lain. Karena itu, bimbel selalu mengadaptasikan dirinya. Hasil adaptasi itu berbuah manis. Bimbel bukan lagi sebatas penambal sulam akademis, tetapi sudah menjadi elemen penentu kesuksesan akademis siswa.
Ringkasnya, tanpa bimbel, maka siswa seakan tak akan selamat. Survei Kompas pada 2012 menjelaskan hal itu di mana sebanyak 88 persen siswa sangat setuju bahwa bimbel sangat membantu. Sebaliknya, hanya 47,9 persen siswa yang puas atas kinerja gurunya.
Belakangan ini, bimbel kembali semakin waswas pula. Kehadiran bimbel berbasis aplikasi sudah mulai bermunculan. Teranyar, Ruang Guru sudah muncul. Sebelumnya, bimbel berbasis dalam jaringan (meski masih konvensional juga), zenius.net sudah terlebih dahulu hadir. Kehadiran Ruang Guru ini sudah mulai diperbincangkan di beberapa bimbel. Kami juga sudah membahasnya lebih dari sekali.
Pasalnya, jika berkaca pada bisnis transportasi, ritel, dan perhotelan, skema Ruang Guru tentu dengan mudah diramalkan akan menjadi pemenang baru. Bimbel-bimbel konvensional akan tumbang jika tak segera mengadaptasikan diri.
Bilakah?
Namun, kita tak sedang membahas bimbel di sini. Toh, bimbel tak merugikan. Bimbel justru sangat menguntungkan. Masalahnya, bagaimana dengan sekolah? Apakah sekolah kita akan tetap berada pada zona sangat nyaman sehingga merasa tak perlu mengadaptasikan, apalagi mengembangkan diri? Jujur saja, saya tak sedang memandang bahwa kita akan ketinggalan meski sekolah kita ketinggalan, apalagi kehilangan arah. Toh, bimbel masih ada. Lagipula, bimbel belakangan ini sudah semakin baik.
Bimbel tak lagi fokus pada akademis, tetapi juga sudah mulai merambah pada sisi pendidikan. Itu artinya, meski sekolah kehilangan arah, bimbel masih bisa membetulkan arah.
Meski Iwan Pranoto mengatakan bahwa sekolah kita sedang mengalami evolutionary hangover, yaitu laju pendidikan jauh terbelakang di bandingkan tuntutan zaman, bimbel juga akan selalu hadir untuk menyesuaikan pelayanannya sesuai permintaan zaman.
Bahkan, jauh sebelum Dede Rosyada dalam Guru Abad 21 mengatakan bahwa enerasi muda seharusnya diajarkan untuk memiliki tuntutan abad ini: competition (mampu bersaing), compatible (cocok dengan zaman), multiliteracy, bimbel sudah menerapkannya melalui skema belajar yang menarik.
Hanya saja, bimbel tidak berada dalam konsep pendidikan kita. Lagipula tidak semua anak bangsa kita bisa mengecap kecanggihan sistem belajar (hidup) di bimbel, apalagi bimbel berkualitas.
Harga untuk mengecap pendidikan di bimbel sangat mahal. Karena itu, mau tak mau, sebagai isntitusi yang dibebani untuk memundak mimpi bangsa ini, sekolah sudah semestinya ikut mengembangkan dan menginovasi diri. Sekolah tak bisa lagi menyerahkan nasib siswanya ke bimbel-bimbel. Lebih dari itu, sekolah tak bisa lagi sebatas memberi tahu (konwledge), tetapi juga sudah memahirkan (skill). Bilakah?