Jumat, Maret 29, 2024

Sejarawan dan Media

hidayatullah rabbani
hidayatullah rabbani
Hidayatullah Rabbani, Buruh di BRIN

Sumber sejarah bagi sejarawan adalah bagian sangat vital untuk merekonstruksi masalalu. Dengan sumber sejarah, sejarawan memperoleh data. Data tersebut setelah diolah membentuk fakta-fakta sejarah yang digunakan sebagai penguat deskripsi tulisannya.

Melalui datalah sejarawan selalu ingin menjustifikasi klaim deskripsi masa lalu yang diproduksinya selalu benar. Data sejarah sendiri dapat diperoleh dari berbagai sumber sejarah yang dapat berupa arsip resmi pemerintah, media sezaman, catatan perjalanan, artefak, wawancara lisan, dan lain-lain. Dalam artikel ini akan lebih menyoroti bagaimana sejarawan ketika berurusan dengan media sebagai sumber sejarah.

Ketika membicarakan media sebagai sumber sejarah, sejarawan harus mengetahui bahwa produksi sebuah media tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di balik media tersebut, khususnya kepentingan terhadap informasi yang disampaikannya.

Di dalam perkembangannya, setidaknya ada dua kepentingan utama di balik produksi sebuah media, yaitu kepentingan ekonomi dan kepentingan kekuasaan, yang membentuk isi media, informasi yang disajikan, dan makna yang ditawarkannya.

Di antara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan lebih mendasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang publik, disebabkan oleh kepentingan-kepentingan di atas, justru mengabaikan kepentingan publik itu sendiri. disinilah penting bagi sejarawan untuk melakukan kritik sumber agar informasi yang diinginkan tidak tergerus bias kepentingan “produsen” media tersebut.

Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik inilah yang sesungguhnya menjadikan media tidak dapat netral, jujur, adil, objektif, dan terbuka. Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan objektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri.

Kepentingan-kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik akan menentukan apakah informasi yang disampaikan oleh sebuah media mengandung kebenaran atau kebenaran palsu; menyampaikan objektivitas atau subjektivitas, bersifat netral atau berpihak; merepresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas atau mensimulasi realitas.

Publik, dan masyarakat pada umumnya, berada di antara dua kepentingan utama media ini, yang menjadikan mereka sebagai “mayoritas yang diam”, yang tidak mempunyai kekuasaan dalam membangun dan menentukan informasi di ranah publik milik mereka sendiri.

Di satu pihak, ketika ranah publik dikuasai oleh “politik informasi” atau “politisasi informasi”, yang menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media menjelma menjadi “perpanjangan tangan penguasa” dengan menguasai ruang publik tersebut (seperti pers Orde Baru); di pihak lain, ketika ia dikuasai oleh “ekonomi-politik informasi”, informasi menjadi alat kepentingan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mengeksploitasi publik, sebagai satu prinsip dasar dari kapitalisme.

Perbincangan mengenai media sebagai sebuah diskursus mengutip pemikiran Piliang,  tidak dapat dipisahkan dari kesalingberkaitan antara bahasa yang digunakan di dalamnya, pengetahuan yang melandasinya, serta bentuk-bentuk kepentingan dan kekuasaan yang beroperasi di balik bahasa dan pengetahuan tersebut.

Artinya, perbincangan mengenai media tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang membenuknya, yang pada akhirnya memengaruhi bahasa (gaya, ungkapan, kosakaa, tanda) yang digunakan dan pengetahuan (keadilan, kebenaran, realitas) yang dihasilkannya.

Selain itu menurut Piliang, perbincangan mengenai media dalam konteks kepentingan-kepentingan di baliknya, pada kenyataannya, tidak dapat dilepaskan dari berbagai “paradoks pengetahuan” yang dihasilkannya: objektivitas/subjektivitas, kebenaran/kepalsuan, realitas/simulakra, fakta/rekayasa, transparan/kekaburan, kejujuran/kepalsuan, keadilan/keberpihakan.

Berbagai paradoks pengetahuan ini muncul ketika media menjadi bagian dari sebuah sistem ideologi (ideologi ekonomi atau politik) dan sistem kekuasaan, yang sangat menentukan arah perkembangannya dengan mengabaikan kepentingan publik yang lebih luas.

Apa yang disebut sebagai “hiperealitas media” sesungguhnya berkembang ketika media dikendalikan oleh dua kepentingan utama di atas (kepentingan ekonomi dan politik), yang di dalamnya objektivitas, kebenaran, keadilan, dan makna sebagai kepentingan publik dikalahkan oleh subjektivitas, kesemuan, dan permainan bahasa.

Media boleh jadi mencoba untuk merepresentasikan peristiwa-peristiwa secara objektif, jujur, adil, transparan, akan tetapi berbagai bentuk tekanan dan kepentingan ideologis tersebut di atas telah menyebabkan ia dapat terperangkap ke dalam “politisasi media” (subjektivitas, kepalsuan, ketidakadilan, dan keberpihakan).

Pertanyaan selanjutnya apakah sejarawan dapat melihat kebenaran dari media yang dijadikan sumber sejarah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat mungkin akan sulit. Namun, jika mengutip McCullagh dalam bukunya “Logic History: Perspektif Posmodernisme)”, kebenaran sejarah muncul terkait erat dengan intepretasi sejarawan sendiri terhadap sumber/data yang digunakan dan pengetahuan sejarawan sendiri.

Dalam menggunakan media sebagai sumber/data sejarah sejarawan perlu mengetahui adanya real fact/ hard fact (fakta keras) dan intepretasi fact-idea fact (pernyataan ekspresif/pandangan) dalam informasi yang disampaikan sebuah media.

Informasi dalam media yang dapat dijadikan fakta keras oleh sejarawan yaitu apa, kapan, siapa, dan dimana (misal untuk mengetahui sebuah peristiwa sejarah dari sumber/data media) karena apa, kapan, siapa dan dimana dalam sejarah masuk dalam kategori accepted history. Sedangkan pandangan dan intepretasi yang dilakukan oleh produsen media perlu kritik sumber mendalam oleh sejarawan terhadap informasi tersebut.

Pemilihan media sendiri sebagai sumber/data sejarah oleh sejarawan sendiri dapat juga menimbulkan bias dalam tulisan sejarah seperti yang dikemukanan oleh C. Behan McCullagh dalam artikelnya “Bias in Historical Description, Interpretation, and Explanation”. Lebih lanjut McCullagh mengatakan untuk menimalisir bias dalam tulisan sejarah maka perlu adanya kebebasan kritik terhadap pandangan sejarawan lain agar tercapai dekripsi yang adil mengenai masa lalu.

Termasuk mengkritik sejarawan dalam penggunaan media sebagai sumber/data sejarah-nya agar informasi yang dihasilkan tidak terbawa oleh kepentingan/bias si-produsen media tersebut.

Referensi: 

McCullagh, C. Behan. 2000. “Bias in Historical Description, Interpretation, and Explanation”. History and Theory, pp. 39-66. Wesleyan University: Wiley.

_________. 2010. Logic Of History: Perspektif Posmodernisme. Terjemahan Ika Diyah Candra. Yogyakara: Lilin.

Munslow, Alun. 1997. Deconstructing History. London: Routledge.

Nordholt, Henk Schulte, dkk., Ed. 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia- KITLV Jakarta.

Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentrid?!. Yogyakarta: Ombak.

Piliang, Yasraf. A. 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Yogyakarta: Jalasutra.

hidayatullah rabbani
hidayatullah rabbani
Hidayatullah Rabbani, Buruh di BRIN
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.