Rabu, April 24, 2024

Sejarah Kita Mematikan Imajinasi

Pradipto Bhagaskoro
Pradipto Bhagaskoro
Pemerhati pendidikan dan ketenagakerjaan. Saat ini sedang sibuk bermusik dan menulis.

Beberapa minggu lalu, seorang kawan lama yang sekarang guru sejarah mengirimkan pesan kepada saya. Ia mengungkapkan ketakjubannya menonton film seri The Man in The High Castle (2015), yang pernah saya rekomendasikan kepadanya. Film ini sendiri menceritakan sebuah semesta paralel di mana poros fasis Nazi Jerman dan Dai Nippon menjadi pemenang Perang Dunia II dan membagi Amerika Serikat sebagai tanah jajahan mereka. Menurut dia—dalam obrolan yang sangat bersemangat saat itu—butuh lebih dari kebebasan berpikir untuk menulis cerita seperti ini.

Sebagai guru sejarah tingkat SMA, film ternyata penting bagi kawan ini. Sejarah seringkali dianggap membosankan. Lebih-lebih bagi pelajar yang masuk masa pubertas, mungkin karena merasa tidak relate atau tidak menemukan relevansi dengan kehidupan mereka yang serba baru. Peristiwa masa lalu seakan hanya menjadi beban hafalan di antara mata pelajaran lainnya, yang bisa jadi lebih relevan untuk masa depan mereka. Karena itu, teman saya ini banyak menggunakan film agar pelajaran di kelas lebih menarik.

Masalahnya, menurut kawan ini, pendekatan dengan film justru lebih sulit dilakukan dengan film sejarah Indonesia. Selain karena memang terbatas referensinya, film Indonesia bertema sejarah cenderung membosankan untuk dijadikan topik pembahasan. Banyak film sejarah Indonesia yang lebih tampak seperti film propaganda daripada berbicara detil mengenai sejarah itu sendiri. Menurutnya, film sejarah Indonesia tidak punya tema lain yang menarik selain nasionalisme, yang tak jarang beriringan dengan semangat anti-komunisme.

Bukannya nasionalisme itu buruk, namun nasionalisme dalam film sejarah kita seringkali diterjemahkan ke dalam tema-tema stagnan tentang kepahlawanan tokoh sejarah, kegagahan tentara di melawan penjajah, dan narasi-narasi serupa. Narasi seperti ini terus diulang-ulang dengan formulasi yang kurang lebih sama, mudah terdegradasi menjadi sekadar dikotomi “rakyat” vs. “penjajah”, dan pada akhirnya “pribumi” vs. “asing”.

Dikotomi yang “itu-itu saja” ini masih dianut film sejarah kita, yang selain berimplikasi pada suburnya rasisme dan sentimen anti-asing yang irasional, juga mengindikasikan kemiskinan imajinasi yang akut.

Saya tadinya curiga bahwa kemiskinan imajinasi ini berpangkal pada narasi film sejarah kita yang cenderung menyesuaikan diri untuk patuh pada sejarah “resmi”. Film sejarah kita kebanyakan bertema biopik (yang sesuai dengan biografi tokoh) atau kejadian sejarah penting. Unsur fiktif sebenarnya cukup umum ditemukan, tapi twist—seperti bagaimana pihak “pribumi” juga melakukan kejahatan pada sesamanya, misalnya—sangat jarang ditemui. Jika pun ada pribumi jahat, biasanya digambarkan sebagai kelompok komunis dan sebangsanya.

Kita bisa tengok film Jenderal Soedirman (2018) dan bertanya-tanya mengapa Tan Malaka berorasi dengan latar lambang palu-arit, misalnya. Padahal sejak 1926, Tan Malaka tidak lagi berafiliasi dengan PKI, dan pasca-kemerdekaan ia mendirikan Partai Murba yang ada tidak korelasi dengan palu-arit. Sepertinya hanya keluarga dan pengagum Tan Malaka yang keberatan, namun ketidakakuratan ini seakan terampuni karena masih sejalan dengan doktrin anti-komunisme yang masih didengungkan hingga saat ini.

Ternyata penyesuaian film kepada sejarah “resmi” tidak harus serta merta secara ketat mengikuti catatan sejarah yang disepakati. Perbedaan boleh terjadi selama masih seiring dengan narasi ideologis yang dianut rezim yang berlaku. Ini yang membuat film sejarah kita membosankan dan terlalu hitam-putih. Padahal peristiwa sejarah melibatkan banyak sosok dengan kepentingan dan isi kepala yang beragam, yang memungkinkan spektrum moral yang jauh lebih dinamis dari sekadar hitam dan putih.

Nasionalisme, bersama dengan anti-komunisme, telah menjadi doktrin yang tersakralkan, sehingga “berdosa” bagi yang mengungkit dan mempertanyakannya. Sementara kesalahan dapat dimaklumi sepanjang berkontribusi memperkuat doktrin-doktrin tadi. Seakan tak terhindarkan, ini juga menjalar pada narasi sejarah kita, yang membuat film sejarahnya pun dibuat dalam konstruksi kesakralan ini.

Gejala sejarah yang tersakralkan membuatnya sulit untuk dikritik atau diterjemahkan berbeda. Ini dapat kita lihat dari sikap reaksioner sebagian masyarakat terhadap buku yang menjelaskan bahwa Belanda sebetulnya tidak menjajah Nusantara selama 350 tahun, misalnya. Atau bisa kita lihat juga reaksi sebagian umat Islam baru-baru ini yang tidak terima pada pendapat seorang sejarawan bahwa Pangeran Diponegoro suka minum anggur. Kedua contoh ini hanya sejumput dari ujung sebuah gunung es.

Film sejarah Indonesia pun agaknya merupakan cerminan dari pelajaran sejarah di sekolah pada umumnya, sebuah produk dari kegiatan yang sekadar mencatat dan menghafal nama-nama besar dan tahun-tahun kejadian, untuk kemudian ditulis plek-ketiplek dalam ujian bagaikan bagaikan menyalin kitab suci. Sulit membayangkan pertanyaan kritis bisa terbentuk dari proses seperti ini.

Begitu pula dengan film sejarah. Jika pun ada variasi, tujuannya adalah mempermudah penyampaian cerita (dan dengannya juga mempermudah penjualan film) atau mengakali keterbatasan budget. Selain kepentingan propaganda tadi, tentunya.

Kawan saya ini mengatakan akan sulit untuk menemukan penulis Indonesia yang mampu membuat plot seperti dalam The Man in The High Castle. Plot seperti ini dimungkinkan dalam genre sejarah alternatif (alternate history), yang mensyaratkan penulisnya untuk mengubah suatu kejadian penting dalam sejarah, yang mana perubahan itu dapat mempengaruhi realitas yang kita alami sekarang. Dalam kasus film seri ini, penulisnya berani berkhayal bahwa Amerika Serikat menjadi pecundang dalam Perang Dunia II.

Tidak bisa tidak, kami jadi membayangkan jika film sejarah alternatif ini dibuat di Indonesia. Akan menarik sekali ketika berspekulasi apa yang akan terjadi jika Tan Malaka dapat bertemu dengan Soekarno sebelum Hiroshima dan Nagasaki diratakan oleh Sekutu? Di pihak manakah Soekarno berada apabila Jepang tidak kalah perang? Atau bagaimana jika peristiwa G30S tidak pernah terjadi, atau mungkin malah berhasil?

Imajinasi yang demikian memang tidak sulit didapatkan. Toh, tidak ada yang bisa melarang kita untuk berpikir. Tapi begitu ide itu diungkapkan atau dituangkan menjadi sebuah karya, bisa jadi masalah akan datang: perundungan yang tidak hanya terjadi di media sosial, juga di dunia nyata, beserta ancaman kekesarasan fisik yang mungkin terjadi.

Kemajuan membutuhkan keberanian berimajinasi. Jika pun kontroversi harus muncul, diskusi dan perdebatan membantu kita menemukan diskursus baru, melatih kita menuju kemajuan. Kemajuan tidak hanya diartikan sebagai perkembangan teknologi dan ekonomi yang pesat, tapi juga kemajuan kita dalam berpikir dan bermasyarakat agar selalu siap dengan perubahan.

Kami akhirnya mengakhiri obrolan dengan rasa pesimis. Masih sering razia buku dilakukan dengan berbagai dalihnya. Sebagian masyarakat mengamininya sebagai tindakan patriotis. Sementara masih banyak yang percaya bahwa sikap kritis identik dengan anti-pemerintah. Belum lagi perbincangan mengenai RUU HIP yang menunjukkan ketakutan terhadap komunisme masih dianggap relevan.

Sulit membayangkan kemajuan akan datang dari situasi ini.

Pradipto Bhagaskoro
Pradipto Bhagaskoro
Pemerhati pendidikan dan ketenagakerjaan. Saat ini sedang sibuk bermusik dan menulis.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.