“Inna Ad-Diina ‘Indallahil Islam”
Penggalan ayat diatas menjadi landasan yang sangat fundamen bagi kita selaku umat Islam untuk memberikan khabar serta mempertahankan keyakinan bahwa Islam sebagai suatu agama adalah haq bagi Allah, Islam adalah Shirot Al-Mustaqiim bagi seluruh umat nya ketika kita mampu mengejawantahkan segala nilai, ajaran, norma, dan menjadi suatu dogma dalam setiap aspek kehidupan kita.
Berislam Secara Menyeluruh
“Udkhuli Fi As-Silmi Kaaffah”
Universalitas dari kata kaffah dalam penggalan ayat tersebut memiliki ruang khusus untuk didiskusikan bersama, sehingga kita mampu menterjemahkan kata kaaffah secara komprehensif dan proporsional. Dalam hemat penulis makna kaaffah tidak hanya mampu diterjemahkan sebagai nash yang kering dan kaku sebagiamana banyak difahami oleh (maaf) kebanyakan masyarakat muslim pada umum nya.
Dalam peradaban yang serba kekinian, kita tidak berhak menentukan siapa yang sesungguhnya berislam kaaffah atau tidak hanya melihat dari sisi yang parsial saja, terlebih di negara Indonesia ini yang sarat akan keberagaman baik agama maupun ideologinya. Misal, kita tidak lantas memberikan predikat Islam Kafah hanya karena melihat seseorang berjubah, jenggotnya tebal, berjidat hitam, sering berteriak takbir semata.
Lalu kita memberikan justifikasi tidak kafah kepada seseorang yang tidak memiliki apa yang disebut sebelumnya. Karena sejatinya esensi dan subtansi dari pada ajaran Islam sendiri adalah akhlak dan budi pekerti bukan sebatas tren dan fashion semata. Meminjam bahasa Hasan Hanafi bahwa Islam itu adalah agama yang Humanis.
Kita harus sadar dan insyaf bahwa banyak sekali ruang atau dimensi lain dalam ajaran islam untuk kita terjemahkan bersama dalam mencapai status muslim kaaffah, meminjam bahasa Harun Nasution bahwa Islam Kaaffah adalah Islam yang ditinjau dari berbagai aspeknya. Karena sejatinya hnya Allah lah semata yang memiliki hak mutlak dalam menentukan letak ketaqwaan dan ke kaaffahan makhluknya.
Selebihnya kewajiban kita adalah menjalankan segala bentuk ajaran Islam baik itu yang bersifat Hablumminallah, Hablumminannas dan Hablumminalalam secara berkala dan sabar. Kenapa dalam beribadah harus sabar ? Karena sabar tidak hanya dibutuhkan hanya saat kita ditimpa musibah atau ujian semata, melainkan dalam beribadah sikap sabar sangat diperlukan, karena keberkahan yang dihasilkan sebagai jawaban dari setiap proses ketaatan kita dalam beribadah membutuhkan waktu, sebagaimana kehendak Allah SWT. Sehingga proses ibadah yang kita lakukan sesuai dengan apa yang dianjurkan Islam sendiri.
Islam dan Ekspresi Akal
Kita berkeyakinan yang sama bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan rujukan dan sumber hukum utama dalam segala aspek kehidupan berislam dan tidak ada satu orangpun yang bisa melunturkan keyakinan itu. Setiap persoalan yang lahir dan yang akan lahir baik yang bersifat Qoth’i maupun Dhzany, semua sudah Allah SWT rangkum dan berikan petunjuk dasar nya dalam nash-nash Al-Qur’an dan dalam Hadits Rasulullah Saw.
Dalam persoalan yang Qoth’i (baku), hukum yang berlaku adalah mutlak dan berlaku tetap tidak bisa ditawar lagi sebagaimana yang tercantum nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. Namun dalam perkara yang Dhzany (tidak baku) atau majazi (metaforis), selain kedua sumber diatas, ada instrumen lain yang berpengaruh dalam menentukan hukum suatu persoalan yaitu akal dan segala potensi nya.e
Sebagai makhluk pilihan yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT berupa akal dan potensinya, sudah seyogyanya kita sebagai manusia mampu melakukan eksplorasi-eksplorasi terhadap hal-hal yang bersifat dzanny (tidak baku) terlebih dalam menghadapi tuntutan zaman yang semakin hari semakin menggila.
Islam sangat memberikan ruang kepada manusia untuk mendaya gunakan akal serta potensi nya secara proporsional dan bijaksana sesuai dengan koridor ajaran islam yang berlaku. Anjuran penggunaan akal ini disebutkan dalam Al-Qur’an beberapa kali. Lebih lanjut Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah nya memberikan penjelasan yang intinya seperti ini, “bahwa untuk memahami ajaran islam secara komprehensif tidaklah cukup hanya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits, melainkan harus menggunakan akal sebagai instrumen pendukung dalam memahami ajaran islam” (kira-kira intinya seperti itu, kalau salah koreksi secara arif dan bijak).
Dalam tradisi islam Ahlussunah Wal Jama’ah, kita mengenal sumber hukum lain selain Al-Qur’an dan Al-Hadits yaitu Ijma dan Qiyas yang merupakan bentuk Ijtihad akal para Auliya dan Ulama. Kedua sumber hukum tersebut merupakan bentuk manifestasi dari anjuran islam dalam mendayagunakan akal sebagai instrumen lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif.
Slogan seperti kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, sepintas adalah mungkin benar, tapi pada realitanya hal tersebut acapkali diungkapkan oleh sekelompok orang yang memiliki “kepentingan atau misi” tertentu dengan sikapnya yang skeptis terhadap pendayagunaan akal dan potensi nya.
Semakin pesatnya perkembangan peradaban manusia mengharuskan kita untuk terus menggali dan mengeksplor kemampuan akal kita untuk menentukan suatu hukum yang sifatnya dhzany dan yang remeh temeh yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Karena Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan sumber segala pengambilan suatu hukum yang bersifat universal saja. Bukankah ayat Al-Qur’an yang pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw adalah IQRA ?
Yang secara subtansi berisikan perintah Allah bagi kita untuk bisa mendayagunakan akal ? Maka dalam hemat penulis, mengalienasikan akal dalam agama islam adalah kekeliruan yang akan berujung kepada jurang fundamentalisme dan klaim kebenaran mutlak sepihak serta akan melahirkan generasi-generasi sempoyongan yang mabok agama.
Tabik!