Duduk dan berbincang dengan teman-teman di warung kopi, tak lepas dengan sebatang rokok, saya bersama teman-teman lain kerap kali membicarakan dan mengolok-olok pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Bagi saya, mereka bagaikan makhluk lugu yang rela mengorbankan kebebasannya demi suatu hal semu; kemapanan, prestise, dan membenahi sistem dari dalam. Begitulah sekiranya anggapan saya, seseorang yang baru saja membaca buku Marxisme Untuk Pemula terbitan Resist Book ini.
Seolah-olah, upaya yang dilakukan oleh para pelamar CPNS, mengimplisitkan pesan bahwa negara sangatlah adil dan aparatur sipil dibawahnya merupakan sebaik-baiknya peran dalam mensejahterakan kehidupan. Sungguh, betapa kritis dan sinisnya saya terhadap segala hal yang berbau negara, padahal saya juga bukanlah siapa-siapa.
Terkesima dengan gagasan Marx tentang betapa indah dan idealnya ‘surga’ berkehidupan komunal, saya seringkali skeptis pada mereka yang sedang memantaskan diri untuk kehidupannya dan seringkali pula mengutuk tindakan mereka yang acuh tak acuh terhadap sekitarnya.
Perlahan namun pasti, batang demi batang rokok saya isap, dan tanpa disadari, sebungkus rokok telah habis dari tempatnya. Merogoh kantong celana, melihat isi dompet, ternyata tak cukup pula uang untuk membeli sebungkus rokok kembali. Terpaksa meminta rokok teman, sebatang-dua batang-tiga batang, lantas disusul celetukan: “ngomongin revolusi dan solidaritas komunal, tapi rokok minta mulu.”
Pada titik itu, saya pun menyadari bahwa saya tak lebih dari seseorang penerima doktrin baru yang mengelu-elukan kebebasan, cemburu terhadap situasi dibalut dengan kritisisme, inkompetensi diri yang bersembunyi dalam solidaritas komunal, dan kalah dengan situasi namun berlindung dibalik narasi pesimistis. Menyedihkan sekali.
Lambat laun, saya menyadari bahwa ramainya pelamar CPNS dan pekerjaan lainnya, adalah cara bertahan orang-orang yang mungkin hidup dalam situasi yang sama seperti saya, hidup dalam kegamangan situasi; tekanan untuk mempertahankan hidup, ekspektasi dan harapan, hingga kurangnya peluang untuk memperbaiki hidup menjadi lebih layak, baik secara ekonomi, politik, dan sosial. Bedanya, mereka hanya tidak membaca buku Marxisme Untuk Pemula saja.
Tidak perlu banyak panjang lebar berbicara tentang idealisme yang luntur setiap musim pendaftaran CPNS dibuka, tentang ketulusan bekerja mengabdi pada negara, mengubah kebobrokan sistem dari dalam, hingga menyejahterakan kehidupan berbangsa, apalagi bercita-cita untuk revolusi sosial untuk membuat semua orang setara. Buat kehidupan sendiri sehari-hari saja susah.
Sehingga saya menyimpulkan dengan cepat, mendaftar CPNS tak semata ingin membenahi segala kebobrokan atau memberi makan idealisme individu pendaftarnya, karena pendaftar tak pernah peduli dengan segala kasak-kusuk yang terjadi. Mendaftar CPNS hanya salah satu usaha yang ada untuk mendapatkan cuan; untuk makan dan kemapanan.
Cita-cita dan Realita
Sebagai seseorang dengan referensi bacaan berbau Marxisme, saya mengidentifikasi diri sebagai seorang aktivis yang revolusioner. Memiliki idealisme −atau terdoktrin(?), untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas, memberantas segala ketidakadilan yang ada dan mengutuk segala ketimpangan akibat sistem kapitalisme. Sebuah pleonasme kehidupan kaum tertindas.
Memiliki sebuah gagasan besar dan cita-cita mulia, terilhami oleh seseorang bernama Marx, yang sosoknya sudah mati 137 tahun lalu. Bersama dengan sosialisme ilmiahnya, Marx selalu mengandaikan krisis besar akan melanda yang membuat kapitalisme hancur. Namun bersamaan dengan itu, Marx tidak menyadari bahwa semakin banyak kapitalisme berada dalam krisis, semakin kuat ia untuk keluar dari krisis tersebut.
Suatu hal yang saya pegang waktu itu, bahwa untuk mencapai cita-cita mulia tersebut, revolusi perlu dilancarkan. Dengan mengandaikan krisis besar dalam tubuh kapitalisme, revolusi proletar akan menjadi sebuah tindakan yang jelas dengan sendirinya, Marx menyebutnya dengan self-transparent act. Sebuah tindakan yang dengan jelas dipahami oleh orang-orang yang turut ambil bagian.
Maka, bagi saya dan kawan-kawan pembaca Marxisme Untuk Pemula −itupun belum tamat, yakin bahwa komitmen ideologis dalam menentang ketidakadilan itu perlu. Tapi apa daya, komitmen tersebut runtuh hanya karena meminta berbatang rokok teman yang diisap tanpa henti. solidaritas dipertanyakan, kesadaran kelas hanya isapan, cita-cita tak lebih sekedar gurauan.
Saya sadar, bahwa saya tak lebih dari segumpal daging bernyawa yang membutuhkan makan untuk asupan kalori-gizi, beban tanggungan keluarga, dan afeksi dari sang kekasih hati. Aktivis atau bukan, pembaca Marxisme Untuk Pemula atau bukan, pada akhirnya kita semua sama-sama bersaing dalam lumbung pasar tenaga kerja, dan salah satunya adalah seleksi CPNS.
Setelah dipikir-pikir, tak ada bakti kerja luhur yang sejalan untuk mewujudkan cita-cita mulia Marx tersebut. Menjadi pers atau jurnalis? kalah dengan titipan berita dari meja redaksi. Menjadi penulis? Bersiaplah untuk tak bisa makan. Kerja di NGO? Yang ada hanya dikejar laporan dan saling sikut antar karyawan. Jadi dosen atau peneliti? Tetap saja terlilit aturan birokrasi dan administrasi, sampai menjalankan riset untuk mengelola jurnal di bawah rezim bereputasi.
Lihat saja Marx, menyandarkan hidup hanya dengan menulis gagasan-gagasan yang kita kultuskan itu ke kantor-kantor terbitan, sampai membuat tiga anaknya meninggal. Beruntung dia ketemu Engels, sehingga dia dan keluarganya mampu bertahan.
Dengan idealisme yang sama, seharusnya Marx mendaftarkan diri menjadi PNS saja. Hidup terjamin, dan bisa memiliki akses untuk mengubah sistem dari dalam. Dengan begitu, cita-cita mulianya bisa jadi cepat tercapai, sehingga, kita menjadi tak perlu repot-repot mengurusi ketimpangan dan ketidakadilan!