Berdasar pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 perihal Jaminan Kesehatan. Berbagai elemen masyarakat pun begitu banyak melakukan penolakan atas dasar muatan Perpres yang menambah iuran peserta BPJS Kesehatan hingga 100 persen lebih. Dengan dalih defisit akibat permasalahan yang kian menggerogoti internal BPJS. Belum lagi keributan yang terjadi pada media daring akhir ini.
Sebagaimana poin utama pelayanan prima dari BPJS masih belum sepenuhnya dirasakan oleh peserta sebagai penerima layanan kesehatan yang mendasar. Amburadulnya fasilitas kesehatan yang sangat sulit diakses, juga tak jarang peserta harus menaikkan kelasnya yang diakibatkna oleh terbatasnya fasilitas untuk kelas III.
Sehingga kenaikan satu hingga dua tingkat kelas sangat sering terjadi, dengan tentu biaya kenaikan setara dengan jalur umum/non-BPJS, belum lagi sulitnya peserta mencari obat dengan harga mahal yang seharusnya disediakan oleh Faskes (Fasilitas Kesehatan).
Kenaikan tarif BPJS yang mulai berlaku sejak Januari 2020 mengikuti Perpres di atas, dititikberatkan oleh defisit bekepanjangan yang dialami oleh Jaminan Kesehatan tersebut. Bagaimana tidak, mulai dari tahun pertama berjalannya program ini telah mengalami defisit.
Kenaikan iuran BPJS turut meningkatnya peserta turun kelas. Menurut data yang dihimpun, BPJS Kesehatan mencatat sebanyak 372.924 peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) turun kelas akibat kenaikan iuran yang diberlakukan pemerintah. Sedang kita tilik bahwa jumlah pengguna kelas 3 begitu besar, tidak berimbang dengan fasilitas yang tersedia.
Diperkuat data dari laman BPJS Kesehatan per Februari 2019 yang menyatakan bahwa 82,64 persen total penduduk Indonesia telah terdaftar sebagai peserta program JKN-KIS atau setara dengan angka 218,13 juta jiwa penduduk.
Jika melihat angka diatas kita optimis bahwa kesehatan nasional akan membaik. Tetapi, dilapangan hal tersebut berimbas oleh kebijakan BPJS dengan mengharuskan keseluruhan jumlah keluarga masuk dalam daftar peserta BPJS. Seolah membaik, tetapi paksaan.
Bukan barang jarang bahwa peserta BPJS sering kali mengalami diskriminasi. Mulai dari lambatnya penanganan, ketersediaan fasilitas pelayanan (dokter maupun perawat), obat-obatan mahal/sulit dicari, belum lagi tekanan psikologi bagi peserta BPJS kelas bawah yang selalu dialami.
Padahal poin penting pelaksaan Jaminan Kesehatan ini ialah “Pelayanan Prima”. Tak jarang, diskredit ini menghilangkan nyawa pasien. Satu contoh dari sekian banyak yang terjadi hari-hari ini, M Rezki Madiansori (21) pasien kelas III BPJS tersebut harus meninggal dunia di selasar Rumah Sakit Abdul Moeloek Lampung (Plat Merah) pada Senin (10/2). Kita terpukul akan satu kejadian dari berbagai masalah yang kian menimpa teman, keluarga, bahkan diri kita sendiri sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Kemelut BPJS kian tidak terbentung, berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menjamin tiap-tiap warga negaranya menerima fasilitas kesehatan, walaupun minim keberhasilan dalam pengelolaannya. Sampai dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga menyentuh 100% lebih, yang mana sedari awal pelaksanaan tahun pertama (2014) sudah mengalami defisit.
Hingga memasuki tahun ke tujuh, terhitung Januari 2020 BPJS Kesehatan diperkirakan mengalami defisit sebesar RP32,8 triliun. Menaikkan iuran memang merupakan strategi untuk menangani persoalan defisit. Akan tetapi tidak menjamin BPJS Kesehatan tak akan mengalami kembali defisit ditahun-tahun berikutnya.
Sebagai penerima hak layanan kesehatan, sebagian peserta pun membandal dalam urusan tanggungjawab. Beberapa kejadian ditemukan peserta hanya melakukan pembayaran iuran ketika sebelum/saat perawatan. Lantas setelahnya merasa tidak ada beban tanggung jawab. Padahal, beberapa kejadian sakit yang diagnosis merupakan bagian organ tubuh (dalam) seperti jantung yang menalan biaya besar. Tetapi tidak berimbang dalam proses kewajiban peserta.
Dilansir dari penelitian Rina Agustina, dkk dengan judul “Universal Health Coverage in Indonesia: Concept, Progress, and Challenges”. Penelitian ini mengungkapkan bahwa 23% dari anggota yang mendaftar sendiri mendaftar saat sakit, dan hampir 28% tidak rutin membayar iuran.
Segudang kemelut BPJS Kesehatan diatas perlu adanya perhatian bagi pemerintah. Bukan hanya dengan menaikkan iuran untuk memperkecil kemungkinan defisit, bagaimana dengan mereka Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) alias mandiri dengan notabene pengahasilan tak tetap.
Seperti Petani, Nelayan, Buruh, atau pekerja lainnya dengan seluruh jumlah keluarga yang keseluruhan harus masuk dalam daftar peserta seperti kebijakan BPJS Kesehatan. Tentunya hal ini sangat berat. Benar memang kebijakan pemerintah melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS) dalam kampanye sebelumnya telah berjalan sebagian, akan tetapi dilapangan ketidaktepatan sasaran masih banyak dijumpai. Masyarakat kategori mampu (ekonomi) merebut hak mereka yang kurang mampu (pra sejahtera).
Konsistensi penyelenggara BPJS Kesehatan perlu diuji dalam beberapa catatan merah diatas. Mulai dari Presiden, Menteri, Stakeholder terkait lainnya, agar kian polemik tak lagi segudang tetapi lebih sedikit, apalagi internal BPJS yang semberawut akhir ini. Jika tidak, kualitas pelayanan kesehatan akan semakin menurun dan jauh dari cita-cita bangsa.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut, perbaikan kualitas serta komitmen internal BPJS Kesehatan terhadap aturan/hukum yang berlaku. Jika perbedaan aturan dan lapangan terjadi maka akan percuma.
Reformasi kesehatan juga perlu diperhatikan oleh pihak terkait, belajar dari swasta yang telah berhasil dalam hal serupa harus dipikirkan. BPJS pun harus serius melihat moral hazard (bahaya moral) yang kian berkembang ditengah masyarakat, dengan gencar melakukan sosialisasi terhadap peserta akan manfaat BPJS Kesehatan serta patuh dan taat terhadap kewajiban peserta.
Ditambah dengan kolaborasi menteri terkait harus benar-benar bersinergi, seperti Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan serta Kementerian Keuangan. Sebagai Kemensos perlu secara rutin melakukan cleansing terkait data peserta agar lebih tepat sasaran.
Kemenkes selain melakukan peningkatan layanan kesehatan, pun sangat perlu untuk mendorong Presiden agar memprioritaskan infrastruktur kesehatan yang berbarengan dengan peningkatan fasilitas kesehatan di daerah, terlebih daerah-daerah terpencil. Kemenkeu mempertimbangkan subsisdi bagi kelas III penerima BPJS Kesehatan yang digagas Kemenkes. Pun Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang telah memiliki dana kapitasi perlu diawasi oleh Kemenkes yang rawan dikorupsi.
Kenaikan ini bukan barang pertama dilakukan, tetapi tetap tidak menurunkan angka defisit. Naiknya iuran tanpa dibarengi dengan pembenahan internal BPJS akan berbuah busuk. Melambungnya iuran harus memperhatikan fasilitas kesehatan, dan lain sebagainya. Agar tidak lagi terjadi kematian konyol akibat diskriminasi peserta BPJS kelas teri.