Ditengah hiruk pikuk persiapan pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali pada bulan Oktober nanti, petani garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon tengah berupaya mengais rezeki dari kristal-kristal garam di tambak mereka.
Sejak bulan Mei lalu, sebanyak 161 petani dalam 17 kelompok usaha garam rakyat ini berjuang membantu pemerintah dalam upaya penyediaan garam nasional dan target swasembada di tahun 2019.
Sebagian besar petani garam ini juga tengah menikmati harga keekonomian sedikit di atas biaya produksi. Momen ini pula dimanfaatkan petani untuk menjual panen mereka kepada pedagang, sekaligus menyimpan sebagian hasilnya untuk persediaan di musim penghujan. Hal ini praktis dilakukan, karena hingga saat ini petani garam di Rawaurip masih mengandalkan sinar matahari untuk menguapkan air laut di ladang garam milik mereka.
Produksi garam di Rawaurip memang lebih banyak mensuplai untuk kebutuhan garam rumah tangga dengan kadar natrium klorida (NaCl) dibawah 97% dan masih membutuhkan proses lebih lanjut sebelum siap dipasarkan.
Namun demikian, kontinuitas produksi garam di Rawaurip memang terbilang cukup besar sehingga mampu mendongkrak perekonomian masyarakat setempat. Pada tahun 2017, ketika harga garam melonjak, petani garam Rawaurip seolah mendapat durian runtuh meski sebelumnya mereka selalu mengeluhkan rendahnya harga garam di sepanjang masa panen. Disaat bersamaan, kebijakan impor garam oleh pemerintah selalu menghantui yang menyebabkan jatuhnya harga garam hingga dibawah ongkos produksi mereka.
Sejak tahun 2011, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon juga mencoba berbagai usaha pemberdayaan dan peningkatan kapasitas petani garam di Rawaurip dan desa-desa lain di pesisir Kabupaten Cirebon melalui program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGaR). Menurut catatan, peningkatan produktivitas petani garam di wilayah ini telah mengalami peningkatan cukup signifikan sejak digulirkannya program tersebut.
Pada tahun 2014 produksi garam PUGaR adalah sebesar 173.867 ton, meski terjadi penurunan drastis hingga 1.640 ton pada periode 2016 akibat cuaca. Mulai tahun 2015, fokus PUGaR di Kabupaten Cirebon adalah pada peningkatan kualitas garam rakyat termasuk penggunaan Teknologi Ulir Filter (TUF) dan geoisolator pada kolam-kolam produksi.
Penggunaan zat aditif berupa ramsol untuk mempercepat kristalisasi garam, sekaligus meningkatkan kadar natrium klorida masih belum bisa diterapkan secara luas akibat minimnya sosialisasi di tingkat kelompok tani. Selain itu pemerintah daerah juga perlu mengantisipasi keluhan akan adanya pencemaran debu batubara yang berpotensi mengganggu produksi garam tradisional petani.
Optimisme swasembada garam nasional
Pemetaan garam yang sebelumnya dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) mengawali langkah dari berbagai strategi pemerintah pusat untuk dapat mendorong swasembada garam nasional.
Dengan memanfaatkan teknologi citra satelit resolusi tinggi untuk mengekstraksi informasi tutupan lahan, pemerintah berharap dapat memiliki data yang cukup akurat untuk mengetahui sejauh mana potensi luas garam di masing-masing wilayah khususnya di sentra garam. Pemetaan tutupan lahan garam skala 1:25.000 ini memanfaatkan citra ALOS (Advanced Land Observing Satellite yang melingkupi sebagian wilayah Jawa-Madura.
Dari pemetaan tersebut diperoleh angka yang cukup signifikan sebesar 22.044,51 km2 pada 3 provinsi yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dari angka sebelumnya sebesar 17.982 km2. Kegiatan pemetaan ini tentu penting bagi pemerintah untuk memprediksi kapasitas produksi pada masing-masing sentra garam dan melakukan pendataan secara detil luasan tambak pada masing-masing persil beserta data atribut pendukungnya.
Di tingkat lokal, upaya implementasi teknologi geomembran untuk dapat meningkatkan produktivitas petani garam dari 60-70 ton/ha/per musim menjadi 90-100 ton/ha/per musim oleh pemerintah juga perlu diapresiasi, meski belum semua petani dapat menerapkan teknologi ini karena faktor kebiasaan.
UU No.7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam juga telah menjadi payung hukum bagi seluruh pihak dalam meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani garam di Indonesia. Hal ini tentu sangat realistis berdasarkan proyeksi kebutuhan garam konsumsi dan industri yang terus meningkat sebesar 4% tiap tahunnya.
Beberapa waktu lalu Gubernur Jawa Barat terpilih, Ridwan Kamil yang mengunjungi desa Rawaurip pada masa kampanye memang menyoroti sistem perdagangan dan pengelolaan gudang guna meningkatkan suplai garam ke pasar. Program Gudang Juara yang dikemukakan nantinya diharapkan dapat menyerap hasil produksi lebih banyak serta muaranya terjadi peningkatan pendapatan bagi petani garam.
Tentu ini menjadi sinyal positif akan dukungan pemerintah terhadap ekonomi masyarakat pesisir Desa Rawaurip. Selain itu, di tahun politik mendatang tentu program peningkatan taraf hidup masyarakat petani di pesisir akan menjadi sorotan. Akankah senyum petani garam Rawaurip mengembang dan swasembada garam nasional tercapai ataukah kita memilih impor sebagai solusi yang digemari?