Selasa, Maret 19, 2024

Sebuah Pertanyaan Untuk Nasionalisme

Mahbub Hamdani
Mahbub Hamdani
Belajar fokus pada skripsi yang motivasinya bukan resepsi | Mahasiswa Filsafat Uin Jakarta

Sempat bimbang untuk memilih menulis, dan, atau tidak menuliskannya atas apa yang saya baca dan pahami. Dan yang namanya memilih, itu mestilah kita paham ada konsekuensi, ada lebih dan ada kurang. Ada baik dan ada juga buruk. Itu sudah menjadi hukum alam. Dunia memang seringkali tidak sesempurna harapan kita, tidak juga apa pun pilihan kita. Jadi yang buruknya, tolonglah untuk dimaklumi, dan kalau sudah rusak, marilah kita sama-sama perbaiki.

Jika apa yang disebut dengan nasionalisme, itu indikatornya adalah rela mengorbankan sesuatu (jiwa dan raga) untuk negaranya, atau merah-putih adalah kita dan lain sebagainya, maka cara pandang ini patut untuk dipertanyakan ulang. Mengutip Albert Einstein, bahwa Nasionalisme itu adalah penyakit kekanak-kanakan, penyakit campak dari ras manusia. Atau mengutip konsep nasionalisme yang cukup dikenal dari Ernest Gellner dan dipopulerkan oleh Benedict Anderson, bahwa nasionalisme hanyalah suatu komunitas yang dibayangkan, yang ini tentu saja mengingatkan kita akan kesemuan konsep ini.

Apakah yang disebut dengan “nasionalisme”, itu bisa berfungsi layaknya sebuah teks kitab suci, yang darinya terjadi semecam proses nubuatan, sebuah negara kemudian bangkit, dengan tangan terkepal dan bersatu padu dalam tekad yang bulat menuju “merdeka”? Lalu bagaimana dengan Mother Terese sebagai orang Ottoman, tapi kok dia berani-beraninya nolong orang di India yang bukan siapa-siapanya, padahal di daerahnya sendiri tentu banyak orang yang menderita? Bukankah itu penghianat?

Apakah frase “nasionalisme” yang sesungguhnya itu mirip no true scotsman? Jika betul demikian, definisinya sendiri pasti jadi arbitrary, sebab koridornya sendiri rada kurang jelas. Bukan berarti konsep seperti true x itu tidak ada sih. Bisa saja ada, tapi bagaimana mencapainya? Konsensus? Harus ada definisi resmi dulu yang semua orang sepakat.

Pandangan-pandangan “nasionalisme” semacam itu akan cenderung melupakan, untuk tidak mengatakan mengingkari fakta bahwa nasionalisme, hanyalah soal skala yang tidak memiliki perbedaan mendasar, dalam arti mereka selalu rentan terhadap politisasi, benih dan juga pemicu peperangan antar golongan, tinimbang sebagai modal sosial untuk pembangun negara.

Mari kita samakan persepsi. Bahwa negara adalah organisasi seperti korporasi. You pay for what you get. Maka saat daerah-daerah yang bercecer memutuskan untuk bergabung dalam RI, tentu saja alasannya rasional seperti alasan saya skripsi untuk wisuda, atau kerja untuk sepiring nasi di zaman ini. Mengakui pemerintahan di pusat, mengeksplorasi SDA dan mengirimnya jadi upeti ke Jakarta dengan harapan timbal-balik agar warga yang di daerah, di nusantara mendapat kompensasi berupa apa-apa yang dijanjikan dalam pembukaan UUD 1945. Tentu perasaan senasib-sepenanggungan juga berperan-serta saat itu. Mengagitasi perasaan senasib-sependeritaan itu adalah trik yang sama dimanapun dan kapanpun, termasuk saat GAM di Aceh yang menjanjikan kemerdekaan dari apa yang disebut Kolonial Indonesia-Jawa.

Kalau kita lihat dari kacamata ini, nasionalisme justru menjadi faktor yang berbahaya, yang sudah inheren di dalam dirinya adalah eksklusivisme itu sendiri, yang menyebabkan lianilitas sosial. Dan hal ini akan terasa sangat jelas kalau kita melihatnya dari kacamata ekonomi. Atau mungkin ada benarnya yang, konon, nasionalisme akan halnya Tuhan, agama bahkan cinta. Mirip dengan garam, bisa dipakai untuk masakan apa saja.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya, apakah nasionalisme semacam itu akan tetap menjadi perekat yang paten untuk bangsa ini? Jawabannya tentu saja tidak! Saya kira itulah yang menjadi alasan kenapa di Eropa, nasionalisme diangggap jijik sejak selesainya Perang Dunia II. Kemungkinan tingkat nasionalismenya lebih rendah daripada kita, itu mungkin. Tapi sah-sah saja tidak nasionalis. Kalau justru itu dilarang, berarti kita fasis.

Dan apa yang perlu diingat di sini adalah fakta bahwa yang melahirkan Indonesia itu kolonialisme. Tanpa kolonialisme, tentu saja tidak ada sejarah Indonesia. Dengan kata lain nasionalisme adalah anak kandung dari kolonialisme, begitu kenyataannya. Lalu apakah nasionalisme hanya dapat dilihat sebagai anti-tesa hanya dari kolonialsme? Pada awalnya kita memang harus melihat nasionalisme sebagai fenomena politik yang pragmatis, resistensi orang tertindas atas penindasan si penindas.

Setelah ditinggalkan oleh kolonialisme, nasionalisme kita menjadi rada menye, dalam mana kita mengenal frase gombal “cinta tanah air” ya, kalau sudah cintamah susah. Menjadi irasional dan tidak bisa dijelaskan. Intinya saya cuma mau bilang, keberpihakan kita kepada negara, betapapun jujur dan polosnya, adalah ekspresi yang chauvinistik.

Belum lagi kalau kita membahas perihal bangsa. Sampai saat ini saya masih menganggap Indonesia bukan sebuah bangsa. Ya, tentu saja definisi bangsa ini masih bisa kita perdebatkan. Arab adalah bangsa, Saudi Arabia adalah negara. Yahudi adalah bangsa, Israel adalah negara.
Nah, Indonesia? Yang mana bangsa, yang mana negara? Apa defini bangsa dan apa definisi negara? Ada fase untuk sebuah entitas atau sekelompok suku-suku berevolusi menjadi sebuah bangsa, tapi jelas bukan dalam hitungan puluhan tahun. Usia negara ini sendiri belum mencapai seratus tahun. Bahkan jauh sebelum 1945, setidaknya sebelum Boedi Oetomo lahir, tidak ada yang menyebut sebuah bangsa bernama Indonesia. Yang ada hindia-belanda dengan bangsa aceh, bangsa jawa, bangsa melayu. Di mana itu yang namanya bangsa Indonesia?

Mahbub Hamdani
Mahbub Hamdani
Belajar fokus pada skripsi yang motivasinya bukan resepsi | Mahasiswa Filsafat Uin Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.