Pengumuman hasil perolehan suara pemilu 2019 oleh lembaga penyelenggara KPU menuai protes dari pendukung Prabowo-Sandi. Pasalnya, mereka menolak dan tidak menerima hasil pengumuman yang di selenggarakan pada tgal 21 Mei 2019.
Sebelumnya lembaga KPU memang menyatakan akan mengumumkan paling lama pada tanggal 22 Mei 2019. Namun reaksi demikian seakan tidak dipahami bahwa boleh saja mengumumkan lebih cepat dari rentang waktu yang di janjikan KPU. Mencurigai hasil pengumuman tersebut, massa yang melakukan aksi damai di gedung Bawaslu pusat menjadi anarkis dan ngamuk.
Sebagaimana diketahui bahwa kontetasi pemilu 2019 lalu memang sedikit panas. Hal ini ditandai dengan terbentuknya dua poros yang sebelumnya pernah berhadapan. Pada pemilu 2014 lalu Kandidat yang sama juga bertarung untuk menjadi orang nomor satu Indonesia.
Namun pasangan Prabowo-Hatta kalah dalam kontestasi tersebut. Akan tetapi sikap yang di munculkan oleh Pasangan Prabowo-Sandi cukup wibawa dengan mengakui kekalahan dalam menghadapi pasangannya Jokowi-JK. Meskipun sempat menggugat melalui Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan kalah. Alhasil, Prabowo di tinggalkan Para partai koalisi seperti PAN, Golkar, dan beberapa Partai besarnya lainnya.
Saat ini justru berbanding terbalik. Prabowo-Sandi tidak sama sekali mencerminkan legowo dan kedewasaan dalam berpolitik. KPU yang menyatakan kemenagan untuk pasangan Jokowi-Amin justru dihadapkan dengan situasi sulit oleh para demonstran. Keberatan yang mestinya ke MK, seakrang justru ke kantor penelenggara seperti KPU dan Bawalu.
Massa yang memprotes dengan isu kecurangan menuntut keadilan di kantor Bawaslu. Sebelumnya Prabowo memang kerapkan kali menyatakan melalui media bahwa tidak akan menempuh jalur Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggugat hasil Pilpres 2019. Jika terjadi kecurangan, Prabowo dan kolega akan melakuakn People Power yang sekarang disebut dengan sebutan kedaulatan rakyat untuk keadilan. Desah desus demikian ternyata tidak membuat nyaman bagi para koalisi Prabowo.
Pandangan Prabowo tersebut jelas seakan momentum bagi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai jalan keluar dari koalisi. Beberapa kali Partai Demokrat (PD) kerap melakukan maneuver politik.
Dimulai dari Pertemuan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Jokowi di Istana, dan Kicauan Andi Arief dengan pandangan setan gundulnya. Alhasil hubungan PD mulai renggang dengan koalisi. Ada apa dengan Prabowo? Benarkah Prabowo sedikit depresi politik dengan kekalahan beruntun? Kenapa Prabowo selalu ditinggal kawan dalam perang?
Sikap Kebangsaan SBY dan Prabowo
Sebagai mantan Kopassus, Prabowo memang memiliki rekam jejak yang bagus dalam karier militernya. Hal demikian perlu di acunkan jempol dengan perolehan pengahrgaan militer yang dimiliki. Namun Karier militer tersebut tidak melulu berbanding lurus dengan karier politik Prabowo.
Tidak bisa pungkiri, Prabowo beberapa kali ikut pemilu ternyata kalah terus dalam kontetasi politik. Berbeda dengan karier politik SBY yang sudah terbukti menjabat presiden dua Periode.
Dibanding Prabowo, SBY jelas piawai dalam urusan politik. Meski karier militer SBY tidak sebagus Prabowo, SBY jelas Master dalam persoalan strategi politik. Salah satu kepiawaian SBY adalah kewibawaan dan sikap kebangsaannya yang di tunjukan ketika hasil pengumuman KPU.
Tidak selang lama, SBY mengucapkam selamat kepada Jokowi-Amin sebagai pemenang kontestasi. Melalui media seperti Kompas.com,Liputan6, detik.com,SBY menyatakan akan mendukung pemerintah Jokowi-Amin 2019-2024 mendatang.
Secara tidak langsung, hal demikian tentu saja menarik perthatian publik sebagai tokoh kebangsaan. Sebagaimana diketahui PD kelas bersbebrangan dengan kubu Jokowi-Amin. Namun sikap SBY jelas berbeda dengan koalisi yang didukungnya. Bagi SBY bagaimanapun juga, tidak ada sikap yang lebih untuk mengakui kekalahan dalam kontestasi politik.
Sebagai seorang yang ahli politik, dari awal SBY seakan membaca arah pergerakan politik kedepan. Pasca pensiunannya SBY dari Presiden dua periode, bukan berarti akan berakhirnya karier dalam politik. jelas saja, karena SBY memiliki jagoan yang dipersiapkan untuk bertarung dan juga kepentingan kelanjutan nasib partai Demokrat kedepan.
Di satu sisi, SBY tentu tidak ingin jika partai Demokrat akan berkahir seperti Partai Hanura besutan Wiranto yang mulai goyang. Di sisi yang sama, SBY juga melihat peluang besar untuk masa depan anak sulungya.
Di situ permainan baru di mulai. Meski sama-sama duren, isinya tetap berbeda. Meski sama-sama militer, jelas dalam urusan politik tentu siapa yang paling memiliki strategi yang akurat. Peluang 2014 untuk urusan politik, SBY tentu came backmelalui AHY putra sulungmya. Sepertinya hal demikian yang membuat Prabowo sedikit depresi politik.
Sebagaimana diketahui peluang Prabowo untuk maju pilpres mendatang memang sedikit gelap. Pasalnya, Prabowo terkendala dengan faktor usia. Prabowo jelas tidak muda lagi dalam mengahadapi kebutuhan pasar politik.
Untuk melawan pendatag baru seperti Agus Harimurti (AHY), Anies Baswedan, Ridwan Kamil dan Sandi Uno yang saat ini berpasangan denganya, agaknya prabowo sedikit khawatir. Kekhwatiran tersebut seakan di manfaatkan oleh berbagai orang yang ada di sekeliing Prabowo.
Sehingga sikap kebangsaan yang ada pada dirinya tidak lagi muncul sebagai orang patutu dikenang. Meskipun Prabowo kerap menyatakan bahwa dirinya adalah seorang mantan militer, yang cinta akan Indonesia, dari sikap politiknya jelas Prabowo tidak mencerminkan hal demikian dari pemilu 2019.
Penolakan hasil pengumuman, dan tidak menempuh jalur hukum dengan isu kecurang, sama sekali bukan suatu sikap kenegarawaan yang dimiliikinya. Namun yang terlihat adalah suatu pemaksaan kekuasaan melalui mobilisasi terhadap masyarakat. Lagi-lagi Prabowo kalah dalam pertempuran politik.
Bukan suatu keniscayaan suatu saat Prabowo juga akan di tinggalkan PKS yang selama ini kerap menemani di tengah kesunyian oposisi. Jikalau demikian bertul-betul terjadi, tidak hayal akan terjadi depresi politik yang berkelanjutan.