Saat elite partai disibukkan dengan usulan debat pilpres 2019 dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab, saya justru tertarik dengan isu miring tentang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari media Hongkong (Asia Sentinel). Kenapa tidak?
Media yang memuat artikel tentang keterlibatan SBY dengan bank century dan bahkan terang-terangan mengatakan bahwa bank century merupakan bank SBY memberi sinyal bahwa politik tahun ini tidak hanya sekadar kontestasi antara Jokowi vs Prabowo, atau Ma’aruf Amin vs Sandiaga Uno.
Lebih dari itu, kontestasi ini adalah antara Barat dan Timur tepatnya America vs Cina. Apa hal? Sedikit mencoba merefleksi kembali bagaimana Jokowi mencoba untuk menjegal berbagai kepentingan pengusaha dan investasi Amerika terhadap Indonesia selama beberapa tahun menjabat Presiden.
Mandeknya perpanjangan kontrak Freeport menandakan bahwa sebenarnya Jokowi kurang tertarik untuk membangun kerja sama dengan Barat. Tidak diduga, Jokowi membangun kerja sama dengan Cina yang membuat banyak orang shock. Ini tentu membuat Barat Geram dengan tindakan Jokowi.
Tak tanggung-tanggung, Jokowi di awal pemerintahan membuka kran investasi yang selama ini diinginkan oleh Cina di Indonesia. sehingga kegeraman tersebut tidak hanya ditujukan untuk Amerika bahkan juga melanda terhadap berbagai politisi dalam negeri. Tidak mengherankan jika berbagai serangan politikpun gencar dimainkan terhadap pemerintahan Jokowi.
Dimulai dengan isu PKI antek asing, pihak asing dan lain sebagainya melekat di pemerintahan Jokowi. Sebagai orang nomor One, Jokowi tentu tahu dengan konsekuensi yang di hadapi. Ini tentu berbanding terbalik pada era pemerintahan SBY. Kerja sama SBY dengan Barat yang selama ini harmonis dan adem ayem, juga akan menjadi perbandingan setelah masa jabatan Jokowi berakhir. Makan menghilangkan distinasi SBY selama menjabat serta kolega baratnya adalah ide cemerlang.
SBY Sebagai Singa Politik
Di awal pemerintahan 2014 lalu memang tidak terlihat pertarungan yang signifikan antara SBY dengan Jokowi. Jika beberapa kritikan yang datang dari SBY-pun dianggap suatu yang wajar dan masukan selaku seorang negarawan. Namun seiringnya waktu. semua itu berubah. Bak drama ketiga antara Jokowi dan Prabowo, SBY adalah suatu yang unik dalam memainkan cinta segitiga.
Hal ini terlihat saat ditariknya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kedalam bursa pencalonan Gubernur DKI Jakarta. Anggapan tenggelamnya SBY dengan kapalnya Partai Demokrat, dengan berbagai kasus yang membelit, ternyata muncul seperti fajar menyingsing. Cahayanya mulai panas menyinari dan menyoroti pemerintahan Jokowi. Dan genderang perang-pun sudah dimulai.
Munculnya kekhawatiran ini tidak hanya bagi Jokowi, yang lebih mendalam terhadap kekhawatiran itu adalah Megawati ketua Partai PDI-P yang mengantar Jokowi di tapuk kekusasaan. Bagaiaman tidak? Sebagai politisi senior, Megawati kenal betul sepak terjang SBY di dunia politik.
Manis pahitnya pun sudah di telan oleh Megawati waktu masih kompotan. Pengalaman berharga yang dirasakan oleh Megawati adalah ketika mundurnya SBY dari kabinet gontong royong besutan Megawati ketika menjabat sebagai presiden. SBY yang mundur dari kabinet mendirikan partai politik yang dikenal partai demokrat (PD). Pemilu berikutnya SBY bertarung melawan Megawati pada pilpres 2004 sehingga menyingkirkan Megawati dan PDI-P dua kali berturut-turut. Sakit, bagaimana tidak dengan kasus demikian SBY perlu di waspadai.
Beberapakali SBY mencoba untuk masuk dalam pemerintahan Jokowi dengan berbagai legitimasi politik yang dimiliki. Namun Megawati dengan segudang pengalaman politik yang di miliki tentu tidak mau kecolongan yang kedua kalinya. Sehingga negosiasi politik yang dibangun SBY terhadap Jokowi dan Megawati harus kandas di tengah jalan. Tak ambil pusing, SBY segera membangun citra partai melalui jagoannya AHY dengan mencoba menggandengkan AHY dengan Prabowo untuk pilres 2019, namun tetap kandas di tengah jalan.
Satu sisi SBY memang kecewa dengan berbagai upaya konsolidasi politik yang dibangun, namun di sisi lain eletabilitas partai juga perlu di perhitungkan. Mengingat merosotnya elektabilitas partai demokrat memaksa SBY mesti melakukan tindak lain dengan bersikap legowo dengan bergabung dengan kubu Probowo-Sandi untuk pilpres 2019. Selain mengedepankan sikap kenegarawan, masa depan anak sulungnya pun mesti di pertimbangkan secara matang.
SBY di Kubu Prabowo Sebagai Ancaman
Masuknya SBY ke kubu Prabowo-Sandi bukan tindakan yang tidak memiliki arti. Yang perlu digarisbawahi bahwa SBY merupakan mantan Presiden dua periode yang memiliki data dan track rekor dalam mengurus berbagai persoalan ekonomi dan stabilitas politik. Apalagi SBY merupakan tokoh kenegarawan mengambil sikap akan turun langsung untuk memenangkan Prabowo-Sandi untuk pilpres 2019.
Bukan tanpa mainan politik, semua akan memiliki serdadu dan cara masing-masing untuk menggenjot suara Prabowo yang terbilang jauh dari Jokowi. Apakah memungkinkan untuk Prabowo untuk menang?
Dalam politik semua bisa terjadi dalam hitungan jam bahkan dalam hitungan menit. Tidak ada yang pasti dalam dunia politik demikian juga dengan kemenangan. Mengingat skuat politik yang dimiliki kubu Prabowo-Sandi adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas yang pantas di waspadai.
Langkah yang tepat bagi kubu Jokowi sebagai petahana untuk tetap lenggang menjadi presiden 2019 adalah bagaimana menjegal SBY dan mempersempit ruang geraknya terhadap pilpres 2019. Ini tentu bukan peran Jokowi dan Megawati, melainkan orang-orang disekelilingnya yang memiliki kepentingan. Mengingat kepentingan untuk berinvestasi dan kiblat yang selama ini mengarah kepada Tiongkok, akan tidak mungkin tiongkok tidak terlibat untuk pilpres 2019.
Cara ampuh yang dimainkan adalah untuk membuka luka lama dengan kasus century yang merupakan kegagalan pemerintahan SBY pada masa lalu. Dengan pertimbangan yang matang, isu ini merupakan isu yang seksi untuk di mainkan agar SBY kehilangan fokus. Jika tidak, akan tidak mungkin membuat Megawati dan kolega menjadi kewalahan untuk memenangkan Jokowi untuk pilpres 2019.
Melalui media Asia Sentinel, isu ini kembali mencuat dengan tudingan bahwa pencucian uang senilai 12 USD miliar lewat bank-bank di luar negeri oleh pemerintah SBY akan menjadi tranding topik dalam rangka mengkelabui taktik SBY untuk pilpres mendatang.
Sungguhpun demikian, kebenaran itu tentu dapat dilihat bagaimana ujung dari cerita itu akan berlabuh. Mengingat bahwa tahun ini adalah tahun politik, dimensi politiknya dalam pemberitaan itu akan dapat dinilai setelah pesta demokrasi itu usai. Jika tidak dengan cara demikian, dapat dikatakan bahwa politik yang berjalan tidak lagi pada poros politik yang mematikan dan akan terlihat ambar.