Kamis, April 25, 2024

Satu Kota, Seribu Doa

Muhammad Iqbal Suma
Muhammad Iqbal Suma
Menyelesaikan Studi Magsiter Hukum di IAIN Manado. Chief Kelompok Studi Alternatif, Science Communicator, Kurator di Sunday Speaks, editor dan Penerjemah buku-buku Sains Populer. Pernah Bekerja sebagai Tenaga Ahlil di KPU Provinsi Sulawesi Utara (2019-2021)

Do’a selalu menjadi bagian paling intim dari beragama. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, do’a menjadi ritual wajib sebelum memulai aktifitas. Di Manado, ritual “do’a Bersama” bahkan menjadi salah satu agenda dalam beberapa kegiatan keagamaan.

Biasanya setiap pemuka agama yang mewakili setiap agama akan diminta untuk berdo’a bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan berdo’a pun sering diadakan ditempat umum dan terbuka, dengan mengundang banyak Jemaah, oleh setiap agama. kita akan sering menjumpai pelaksanaan ibadah umat Kristiani atau pun zikir dan tabligh akbar umat Islam yang diselenggarakan di lapangan, bahkan sering mengundang perwakilan pemerintah.

Ini pemandangan yang sudah umum di Manado. Do’a memiliki dimensinya; ada ikatan dengan pencipta juga harapan. Seperti kata Goenawan Muhammad, tiap do’a mengandung ketegangan. Do’a selalu bergerak, antara ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara Hasrat ingin mengerti dan rasa takjub yang juga takzim. Di hadapan Tuhan, lidah tak bisa bertingkah.

Itu pula sebabnya, maka pemerintah Manado mencetuskan bahwa Manado harus menjadi kota do’a. dalam do’a, ada pengharapan, metafora dan keterbatasan Bahasa manusia. Dalam do’a manusia menyusu bait-bait perumpamaan juga kiasan.

Dalam do’a, manusia bahkan juga pemerintah merasa perlu meminta bantuan Tuhan. Kota ini terlalu kompleks, juga paradoks. Manado, tempat berkumpulnya kemaksiatan dan juga kesalehan. Kita merasa perlu menambah baris do’a atau mungkin lama waktu ibadah.

Tak soal. Tapi mengapa kita perlu Manado sebagai “kota do’a”?

Tentu saja, kita ingin hidup yang tak terputus dengan Tuhan. Do’a adalah cara paling memungkinkan mencapai Tuhan. Tapi mengapa Manado harus dijadikan kota do’a? apa maknanya?

Kita bisa menganggap frasa “kota do’a”, sebagai kota tempat berdo’a, tempat umat dari berbagai agama memanjatkan harapan dan keinginan kepada Tuhan. Manado adalah rumah bagi banyak agama, hidup dalam damai dan berdo’a bagi Tuhan masing-masing di bawah satu langit yang sama. Manado kota do’a bisa berarti sebuah kota yang identitas sosial dan kulturnya dibangun diatas do’a berbagai umat beragama.

Do’a memiliki dimensi sosial dan spiritual. Namun, dengan menjadikan slogan Manado kota do’a, maka do’a juga memiliki dimensi sosialnya sendiri. Jika kita sebagai umat beragama selalu memanjatkan do’a di rumah ibadah masing-masing, pada setiap ibadah yang kita laksanakan, maka dimensi sosial dari do’a di Manado berarti kita memanjatkan cita-cita dan harapan Bersama masyarakat Manado, kepada sang pencipta untuk pembangunan dan masa depan kota Manado yang lebih baik.

Pemerintah tahu, bahwa membangun Manado tidak sekedar fisik seperti Gedung besar, jalanan atau trotoar. Ada hal-hal yang bersifat spirit, keyakinan yang dianut oleh seluruh warga Manado. Menjadikan Manado sebagai kota do’a, mengandung harapan terhadap nilai-nilai yang bermanfaat bagi semua.

Tapi konsep ini pun sama abstraknya dengan do’a itu sendiri.

Apakah kota do’a sekedar slogan, agar kota ini tetap dianggap toleransi? Ataukah sekedar mempertahankan angka-angka dalam survei indeks kerukunan yang diadakan oleh Lembaga-lemabaga riset? Bukankah, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, kita juga pernah bermasalah terkait rumah ibadah?

Masjid Texas, yang sudah berdiri puluhan tahun di tengah-tengah kota Manado, pernah menjadi polemik yang hampir memicu konflik horizontal. Beberapa kelompok adat melakukan demo di depan masjid, berteriak sambil membawa senjata tajam, beberapa saat menjelang maghrib.

Jika belum selesai dengan persoalan rumah ibadah atau ibadah orang lain, maka slogan apapun hanya sekedar formalitas untuk menyembunyikan wajah buruk kehidupan sosial kita saat ini. Jangan sampai, kota Manado hanya dibangun diatas kata-kata dan semboyan yang bersifat seremonial belaka, tapi dibalik itu semua sebenarnya kita memendam benci satu sama lain.

Menjadikan Manado sebagai kota do’a berarti menjadikan kota ini tempat yang layak huni bagi semua agama. Berdo’a tidak sekedar komunikasi dengan Tuhan, berdo’a berarti kita menaruh harap, bahwa di tengah-tengah ketegangan dan kecemasan,  bahwa kita selalu punya jalan dan cara menyatukan setiap perbedaan.

Kota do’a tidak boleh hanya sekedar berhenti pada formalitas dan seremonial yang diadakan oleh pemerintah. Melekatkan do’a pada identitas masyarakat kota meniscayakan satu hal; setiap orang punya harapan terhadap kota ini. Kota yang akan memastikan bahwa dibawah satu langit yang sama, ada ribuan do’a yang mengalir untuk harmoni, perdamaian dan kesetaraan sebagai warga kota. diatas semua itu, kita selalu berdo’a agar Manado menjadi kota yang selalu lebih baik di masa-masa mendatang.

Muhammad Iqbal Suma
Muhammad Iqbal Suma
Menyelesaikan Studi Magsiter Hukum di IAIN Manado. Chief Kelompok Studi Alternatif, Science Communicator, Kurator di Sunday Speaks, editor dan Penerjemah buku-buku Sains Populer. Pernah Bekerja sebagai Tenaga Ahlil di KPU Provinsi Sulawesi Utara (2019-2021)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.