Dalam berbagai kesempatan, Jokowi tampil dengan menggunakan sarung. Dalam ruang pribadi dan juga di publik. Ini dapat dilihat dari fanpage resmi dengan akun Presiden Joko Widodo. Terakhir yang saya lihat adalah saat mengunjungi Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura, Pondok Pesantren Al Amien Parenduan Sumenep dan Pondok Pesantren al Karimiah Baraji. Jokowi dengan santai memakai sarung, jas hitam, pakaian putih dan Songkok Nasional.
Sarung idetik dengan kaum pesantren. Santri acapkali disebut dengan kaum sarungan. Dalam masa orde baru, kaum sarungan dianggap sebagai kaum pinggiran tak terdidik dan hanya paham dengan baca doa dan tahlil. Dalam wacana dan politik, kaum sarungan di masa lalu dibonsai dan bahkan dipinggirkan secara teratur hanya dianggap pantas memimpin langgar, mushalla atau masjid.
Sejak reformasi dan adanya ruang terbuka dalam politik, kaum sarungan tampil dengan meyakinkan. PKB yang dianggap sebagai partai dari kaum sarungan berhasil mengantarkan sosok Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI yang ke 4. Disinilah kaum sarungan mulai berada di tengah dan ikon sarung kembali naik daun.
Tetapi tidak bertahan lama, Gus Dur dilengserkan dan kaum sarungan menjadi kehilangan arah antara tetap ditengah atau kembali ke pinggir. Hanya saja, kaum sarungan sudah mempunyai akses untuk tampil ke ruang-ruang publik. situasinya sudah cukup berbeda dengan masa orde baru.
Kini Presiden Jokowi telah menggunakan simbol sarung dalam berbagai pertemuan. Memakai sarung bagi seorang presiden bukanlah tanpa maksud. Dengan sarung inilah, Jokowi dapat kian dekat dengan pesantren dan bisa kian jauh dari isu PKI yang dalam beberapa waktu lalu digunakan untuk menyerang dirinya.
Sarung yang dipakai oleh Jokowi dapat dibaca dalam kerangka Peter L. Berger dan Lukman tentang Konstruksi Sosial. Bahwa terdapat eksternalisasi, obyektivikasi dan juga internalisasi. Sebagai eksternalisasi adalah berasal dar dalam diri yang diejawantahkan dalam obyektivikasi berbentuk sarung. Hal ini dalam rangka untuk dapat menjadi internalisasi dalam wilayah masyarakat.
Dalam kurun waktu sekitar tahun 2010, terdapat buku berjudul Sarung dan Demokrasi. Dimana buku ini berisi tulisan dari berbagai pemuda NU tentang sarung dan demokrasi. Terdapat korelasi antara sarung dan demokrasi. Bahwa bentuk sarung yang hanya melekat diperut dan terbuka di bawah memiliki makna egaliter, terbuka dan demokratis.
Di samping itu, dengan menggunakan sarung, Jokowi ingin menegaskan sebagai bagian dari rakyat kecil. Sarung seakan selaras dengan branding Jokowi sebelum jadi presiden. Kala itu Jokowi sering blusukan dan dekat dengan masyarakat kecil. Bahkan di awal-awal mencalonkan sebagai presiden, disebutkan bahwa pakaian yang dikenakan Jokowi bila diuangkan hanya ratusan ribu rupiah.
Sarung juga kian mendekatkan Jokowi pada santri dan Nahdhatul Ulama. Domain Islam mayoritas yang ada di Indonesia. Identitas sarung akan sama sekali berbeda dengan identitas kaum radikal yang sering dicirikan dengan celana cingkrang dan juga dengan jenggot tebal.
Efek dari Jokowi memakai sarung juga menjadikan kaum sarungan kian terangkat nilai tawarnya. Mereka yang merasa berada dipinggiran dan tak berdaya untuk bergerak ke tengah karena berbagai problem, kini seakan menemukan diri mereka dalam Jokowi. Sehingga Jokowi mewakili entitas mereka.
Pemakaian simbol simbol ini menjadikan Jokowi kian berpeluang besar untuk kembali memimpin Indonesia dalam periode kedua. Karena dengan sarung, Jokowi telah berhasil memanngkan hati rakyat kecil dan seakan-akan Jokowi menjadi bagian dari rakyat kecil.