النَّظَافَةُ مِنَ الْإيْمَانِ“Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR. Tirmidzi, Muslim, Ahmad)
Bagi seorang santri, kebersihan bukan hanya perkara fisik semata, melainkan bagian dari spiritualitas. Di balik lantai mushala yang dipel dan kamar yang disapu, ada nilai keimanan yang sedang ditegakkan. Ungkapan “an-nadhafatu minal iman” yang berarti kebersihan adalah sebagian dari iman, bukan sekadar slogan di tembok madrasah, melainkan panggilan hidup sehari-hari.
Namun, di tengah isu global perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang makin akut, nilai kebersihan itu perlu diperluas maknanya. Santri masa kini harus siaga — bukan hanya terhadap najis dan hadas, tetapi juga terhadap limbah plastik, pencemaran air, dan pemborosan energi.
Santri dan Tradisi Bersih
Sejak dulu, pesantren dikenal sebagai tempat yang menjunjung tinggi kebersihan. Setiap hari, santri menyapu halaman, membersihkan kamar, mencuci pakaian sendiri, bahkan kadang mengurusi sanitasi pondok secara bergiliran. Ini bukan hanya latihan disiplin, tetapi juga pendidikan moral tentang tanggung jawab pribadi dan sosial.
Namun, masih banyak pesantren yang belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Tong sampah masih tercampur, pembakaran sampah plastik masih terjadi, dan limbah dapur sering dibiarkan begitu saja. Ironisnya, semua ini berlangsung di tempat yang seharusnya menjadi pusat penyemaian nilai-nilai Islam yang suci.
Spirit Tauhid dan Ekologi
Dalam Islam, bumi ini adalah amanah. Seorang santri adalah khalifah — pemimpin kecil yang ditugaskan Allah untuk memelihara ciptaan-Nya. Maka menjaga lingkungan bukan sekadar tuntutan moral, tapi manifestasi dari tauhid. Merusak alam berarti mengkhianati tugas kekhalifahan.
Santri harus belajar membaca “kitab alam” sebagaimana mereka membaca kitab kuning. Ketika sungai tercemar, ketika udara penuh polusi, ketika tanah tidak lagi subur itu adalah “teks” yang sedang memperingatkan kita.
Gerakan Hijau dari Pesantren
Santri siaga lingkungan bisa dimulai dari hal-hal kecil:
- Menyediakan tempat sampah terpilah di lingkungan pesantren.
- Membiasakan hidup minim plastik.
- Mengembangkan bank sampah dan kompos dari limbah organik pondok.
- Menggelar kajian tafsir tematik tentang lingkungan.
- Membuat program Jumat Hijau – membersihkan lingkungan sambil menanam pohon.
Lebih hebatnya lagi, pesantren bisa menjadi pelopor ekopesantren — lembaga yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan kesadaran lingkungan hidup. Ini bukan wacana asing. Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan gaya hidup yang hemat air, mencintai pohon, dan melarang pemborosan sumber daya.
Santri Hijau, Indonesia Lebih Maju
Menjadi santri bukan hanya soal hafalan dan tirakat, tetapi juga soal kontribusi nyata untuk bumi yang sedang terluka. Di tengah krisis iklim global, santri bisa menjadi pionir gerakan hijau yang berbasis nilai-nilai Islam.
Karena menjaga lingkungan bukan tren modern, tapi warisan ajaran Rasulullah. Dan santri wajib menjadi salah satu penjaga warisan itu.