Baru-baru ini, Sandiaga Uno (cawapres) dari Prabowo, disebut-sebut oleh pendukungnya (PKS) sebagai santri post-Islamisme. Istilah ini diangkat, paling tidak, untuk tetap menjaga kesolidan pendukung Islamis kubu ini. Sudah bukan rahasia lagi, kubu Prabowo dengan seluruh aspirasi politiknya, selalu mengidentikkan kelompoknya sebagai yang pro terhadap Islam.
Bahkan dalam Ijma Ulama, sebelum nama cawapres diumumkan, nama-nama yang diusulkan untuk mendampingi Prabowo adalah nama yang dianggap merepresentasikan seorang figur ulama. Salim Segaf Al-Jufri dan Ustaz Abdul Somad, dua nama yang diusulkan, dianggap paling tepat sebagai representasi kategori ulama tersebut.
Kejanggalan ‘Santri Post-Islamisme’
Sebenarnya, istilah post-Islamisme bukanlah sesuatu yang asing dalam diskursus keislaman, khususnya di Indonesia. Dalam konteks politik, post-Islamisme senyatanya adalah sebuah gaya baru dari apa yang sebelumnya disebut sebagai ‘Islamisme’. Bila Islamisme mengandaikan sebuah tatanan sosial-politik yang murni berbasis Islam, maka post-Islamisme lebih merupakan sebuah kompromi antara Islam dan bentuk politik modern, seperti demokrasi.
Akibat kegagalan demi kegagalan yang ditempuh oleh gerakan politik gaya Islamisme ini, sebagaimana cita-cita negara Islam yang mereka harapkan, lalu mereka bermetamorfis dengan cara menjalin kompromi dengan gagasan politik modern yang sudah ada. Pada gilirannya, gagasan mereka lebih terbuka, inklusif dan mencoba mencari titik temu antara aspirasi Islam dengan demokrasi.
Ada semacam kesadaran kolektif bahwa sikap anti pati terhadap modernitas, sebagaimana kelompok Islamisme, tidak hanya tak membuahkan hasil apa-apa, tetapi juga akan semakin membuat mereka terpuruk sebagai kelompok yang dianggap radikal dan terlalu militan atau keras. Post-Islamisme sejatinya adalah gerakan pragmatis dalam berpolitik, untuk kasus di Indonesia, PKS adalah contoh dari salah satu partai Islam dengan ciri post-Islamisme.
Jika pengertian di atas dihubungkan dengan sebutan ‘santri post-Islamisme’, tampaknya ada semacam kesalahan diksi yang cukup fatal. Memang, sebagai partai politik PKS sendiri mewakili seluruh pendefinisian kata post-Islamisme. Tetapi bagaimana mungkin seorang Sandiaga Uno yang berlatar pendidikan sekuler bisa disebut sebagai santri Post-Islamisme? Dari sudut mana Sandiaga mampu mengemban istilah post-Islamisme beserta seluruh aspirasi politik di dalamnya?
Betul, PKS menggunakan istilah itu agar dukungannya terhadap Prabowo masih tetap solid, tetapi tidak mungkin menyematkan istilah itu kepada Sandiaga yang bahkan dia masih seorang kader partai Gerindra. Di tambah pilihan terhadap Sandiaga Uno ini sebenarnya mengecewakan para kelompok Islamis kubu Prabowo.
Secara terang-terangan, kelompok GNPF MUI menyebut Jokowi lebih cerdas dalam memilih wakilnya. Karena tidak ingin kehilangan dukungan, koalisi partai pendukung Prabowo berupaya menyulap Sandiaga Uno, dari seorang dengan latar belakang pendidikan sekuler tulen, lalu dimunculkanlah sebutan santri post-Islamisme.
Meski diksinya keliru, tetapi sebutan ini dapat memberikan gambaran bahwa Sandiaga Uno sendiri adalah tokoh yang dianggap mewakili kalangan Islamis.
Di lain hal, post-Islamisme sendiri sejatinya tidak mengubah apa pun isi dalam tubuhnya. Sikap terbuka dan menerima demokrasi misalnya, sebagaimana penerimaan mereka terhadap gagasan pluralisme dan sistem politik modern, hanyalah strategi untuk mencapai tujuan merebut kekuasaan politik.
Bila ‘post-Islamisme’ sangat kental dengan nuansa gerakan politik dan ‘santri’ juga sangat kental dengan nuansa Islam tradisional yang menyejarah, maka penggabungan dua Istilah itu adalah sebuah kekeliruan.
Juga, Sandiaga Uno sendiri bukan kader PKS, ia hanya mewakili aspirasi PKS yang sangat kental dengan kecenderungan gerakan post-Islamisme. Meskipun, sikap simpati PKS ini juga akibat sudah terlajur berkoalisi dengan Gerindra dan rasa kekesalannya terhadap Prabowo yang memilih Sandiaga Uno sebagai wakilnya, seakan-akan sebutan santri post-Islamisme terkesan dipaksakan.
‘Santri Post-Sekularisme’ Sebuah Tawaran
Hemat saya, dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia sedang memasuki babak baru yang disebut post-sekularisme. Sesuai dengan namanya, babak ini mengandaikan bahwa orang mulai kembali kepada nilai-nilai agama, meninggalkan sekularisme yang dianggap selalu meletakkan agama dan politik secara terpisah dan saling berhadap-hadapan.
Indonesia sendiri bukanlah negara sekuler, tetapi dalam beberapa hal prinsip kenegaraan yang dibangun di negeri ini mirip-mirip dengan term sekularisme di mana agama tak memiliki ruang yang fundamental di tubuh pemerintahan. Hanya, agama menjadi salah satu intrumen yang dipakai oleh negara untuk mengatur setiap warga yang menganut beragam agama, selebihnya hukum positif modern yang dijalankan.
Demokrasi yang dijalankan di Indonesia pun juga begitu, memungkinkan setiap orang dapat menyalurkan aspirasi politiknya tanpa ada intervensi apa pun dari agama tertentu. Ini menunjukkan bahwa ideologi politik yang menjadi landasan negara di negeri ini tak jauh-jauh amat dari gaya sekularisme yang diterapkan di banyak negara-negara Barat.
Kembali ke soal post-sekularisme, bahwa ada semacam gelaja yang sengaja diwacanakan tentang hubungan antara agama dan negara atau antara Islam dan negara. Kita semua tahu, bagaimana kubu oposisi dalam tiga tahun terakhir ini begitu masif membangun sebuah wacana yang seakan-akan memproyeksikan kebutuhan yang amat mendesak untuk menghubungkan Islam dan negara. Benar atau tidak, disengaja atau tidak, kubu oposisi berpendapat bahwa penguasa sangat anti pati terhadap Islam dan menganggap pemerintah tidak ramah terhadap ulama.
Akibat diskursus itu, sebagian umat Islam lalu ramai-ramai menghubung-hubungankan antara Islam, negara dan politik. Fenomena ini jelas terkait erat dengan kerangka besar post-sekularisme. Tetapi yang menjadi masalah, negara kita ini tidak didukung penuh oleh gaya politik sekularisme tulen atau Islamisme, sehingga diskursus post-sekularisme justru banyak menimbulkan konflik di masyarakat, terlebih adanya aspirasi politik yang berbeda secara tajam.
Jika pemahaman tentang post-sekularisme ini dikembalikan ke soal sebutan ‘santri post-Islamisme’ dari kelompok PKS untuk Sandiaga Uno, menurut hemat saya yang lebih tepat adalah menggunakan sebutan ‘santri post-sekularisme’.
Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa hal. Pertama, ada semacam hubungan sinkronis antara Sandiaga Uno dengan kata ‘sekuler’, khususnya terkait dengan latar belakang pendidikannya. Kedua, post-sekularisme lebih identik dengan wacana mengintegrasikan agama dan politik, tidak pada kerangka gerakan ideologis sebagaimana yang diusung oleh partai politik macam PKS.
Ketiga, meski PKS pendukung setia Prabowo, mereka tak boleh serta-merta melabeli Sandiaga Uno dengan sebutan ‘santri post-Islamisme’, di samping terkesan ganjil, sebutan ini juga seakan menjadi beban ideologis bagi Prabowo yang merupakan penggerak utama partai Gerindra yang bercirikan nasionalis.