Rabu, April 24, 2024

Santri Milenial dan Tata Krama Kita Kepada Alam

Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.

Dulu, di kampung penulis, Dusun Bakong, Desa Batukerbuy, pernah memiliki tradisi lokal bernama Rokat Tasé’ yang diajarkan oleh para leluhur. Ketika nyai Malar masih hidup beberapa tahun yang lalu, tradisi rokat tasé’ ini dilakukan setiap tahun sekali.

Menurut kiai Mustari, cucu nyai Malar dan merupakan salah satu tokoh masyarakat Desa Batukerbuy, rokat tasé’ dilakukan dalam rangka berterimakasih (asokkor) kepada Allah atas rezeki yang telah dilimpahkan dan meminta perlindungan kepada-Nya dari marabahaya, khususnya yang ada di lautan.

Mengingat waktu itu masyarakat Dusun Bakong banyak yang menggantungkan hidupnya kepada hasil laut seperti udang geragau dan nener. Sehingga tidak heran apabila mereka setiap tahun sekali berbondong-bondong ke pantai Batukerbuy dan berkumpul bersama untuk mengadakan acara rokat tasé’.

Ketika waktu rôkat sudah tiba, sebagai satu-satunya sesepuh yang masih mengindahkan amanah para leluhur, nyai Malar dengan penuh perhatian dan wibawa mengajak masyarakat di kampung untuk bersama-sama pergi ke pantai sembari membawa masakan.

Selain itu, bapak-bapak yang biasa melakukan aktivitas di laut seperti menangkap udang dan nener membawa sontal (jaring dorong yang biasa digunakan untuk menangkap udang dan nener) ke laut agar turut serta dalam prosesi rôkat tersebut.

Setelah sampai di pinggir laut, mereka duduk bersama di antara hamparan pasir yang begitu halus sembari mengirimkan fatihah kepada Nabi Muhammad saw., para leluhur, dan lainnya. Kemudian, dilanjutkan dengan membaca zikir dan salawat secara bersama-sama serta ditutup dengan doa rôkat yang sudah diajarkan oleh para leluhur dahulu. Acara rôkat laut ini dipimpin langsung oleh sesepuh waktu itu.

Pak Rusna Sobri, namanya, suami dari nyai Malar. Setelah berdoa, baru mereka makan bareng-bareng masakan yang telah dibawa dari rumah masing-masing. Hmm… adakah yang lebih indah dari kebersamaan semacam ini?

Namun demikian, tradisi lokal yang sarat makna ini sekarang sudah tinggal cerita. Pasalnya, sepeninggal nyai Malar dan Pak Rusna, masyarakat di sana sudah tidak lagi melaksanakan ritual rokat tasé’ ini. Bahkan lebih menyedihkan kondisi laut Batukerbuy sekarang sudah jauh berubah dari kondisi dahulu.

Hamparan pasir yang begitu halus menggemulai di laut Batukerbuy pernah penulis nikmati sekedar untuk meramaikan deburan ombak bersama teman-teman dulu, kini sudah berubah menjadi hamparan karang yang menakutkan. Hal ini bukan hanya karena mereka tidak mau mengindahkan lagi tradisi rokat tasé’—sebagai salah satu sarana untuk melestarikan keadaan laut, tetapi juga karena ulah mereka yang setiap hari mengambil pasir laut Batukerbuy untuk dijual.

Beberapa tahun kemudian, penulis mengikuti ritual lokal di kampung Mendak, Gunungkidul, Daerah Istimewa Kraton Ngayogyakarta sewaktu masih melaksanakan tugas KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari Universitas Negeri Sunan Kalijaga.

Pada waktu itu, masyarakat di sana hendak membangun waduk tempat pembuangan kotoran yang merupakan bantuan dari Pemerintah dan nantinya akan difungsikan sebagai bahan bakar.

Sebagaimana adat yang telah berlaku di sana, sebelum menggarap pekerjaan tersebut, mereka yang disertai oleh Kepala Dukuh dan para sesepuh berkumpul di tempat yang hendak dibuat waduk untuk melakukan ritual bersama lengkap dengan sesajennya. Tujuannya adalah selain meminta restu kepada para leluhur dan para penghuni yang telah dipasrahkan oleh Zat Yang Maha Ada untuk menjaga lingkungan di sana, juga meminta perlindungan kepada-Nya dari segala bentuk marabahaya. Baru setelah itu, mereka menggali bumi tanah tersebut secara gotong-royong.

Mendengar cerita dari kiai Mustari tentang rokat tasé’ dan menikmati tradisi lokal yang masih eksis di Dusun Mendak ketika membuat waduk, penulis sebagai seorang santri, khawatir para santri milenial kelak memiliki kecenderungan untuk meninggalkan bahkan memusnahkan tradisi-tradisi lokal tersebut, karena dianggap kebiasaan kuno yang tidak memberikan manfaat apa-apa dan tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Meminjam bahasa Maulana Habib Luthfi bin Yahya ketika ceramah di Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga beberapa waktu lalu (2018), kita tidak mau lagi memahami filosofi tradisi-tradisi lokal karena telah disibukkan dengan pencarian dalil, dalil, dan dalil lagi dari waktu ke waktu. Selain itu, penulis merasa malu kepada leluhur yang telah mengajarkan tradisi lokal tersebut.

Sebab, mereka memiliki tata krama luhur kepada alam sekitar. Meskipun kebanyakan mereka “awam” terhadap ilmu keagamaan seperti ayat-ayat suci al-Qur’an, hadis, dan ilmu fikih, tetapi perilaku mereka banyak mencerminkan nilai-nilai agung yang diajarkan oleh Allah swt. dalam al-Qur’an dan hadis.

Sedangkan kita, orang-orang modern yang kebanyakan sudah melek ilmu agama dan ilmu pengetahuan dibuka selebar-lebarnya sehingga tidak jarang di antara kita yang hapal ayat-ayat al-Qur’an, hadis Nabi SAW. dan ilmu fikih belum bisa mewujudkan nilai-nilai agung tersebut ke dalam perilaku sehari-hari.

Salah satunya bertata krama baik kepada alam sekitar dan lingkungan hidup. Malu, karena orang-orang yang dianggap kuno, kolot, dan dangkal pengetahuan agamanya memiliki sikap dan perilaku luhur kepada alam sekitar serta makhluk-makhluk yang ada di dalamnya. Malu, lantaran kita yang dianggap modern, maju, memiliki kecakapan dan kedalaman ilmu agama, suka merongrong dan merusak lingkungan hidup.

Dalam hal ini, minimal penulis bersandar kepada sabda Nabi Muhammad SAW. bahwa afḍal al-‘ilm ‘ilm al-ḥâl wa afḍal al-‘amal ḥifḍ al-ḥâl (paling utamanya ilmu adalah ilmu akhlak (tatakrama) dan paling utamanya perbuatan adalah menjaga akhlak).

Dalam pemahaman penulis, akhlak atau tata krama ini tidak hanya berkaitan dengan Allah (ḥabl min allâh) dan manusia semata (ḥabl min an-nâs), tetapi juga berkaitan dengan alam (ḥabl min al-‘âlam).

Berbicara alam, maka termasuk di dalamnya adalah lautan, hutan, bebatuan, tumbuhan, binatang bahkan makhluk halus (jin). Hal ini dapat diperkuat dengan keumuman kandungan ayat al-Qur’an yang berbunyi: dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu (al-An’âm (6): 38). 

Bahkan Imam aṣ-Ṣâwî ketika memahami surat al-Isrâ’ (17): 44 menyatakan bahwa semua makhluk, baik di bumi maupun di langit, baik berupa malaikat, manusia, jin, binatang, tumbuhan, bebatuan, dan benda-benda keras lainnya bertasbih dan memuja kepada Sang Pencipta jagat raya.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, para leluhur memosisikan alam bukan hanya sebagai sahabat ataupun tetangga, tetapi juga sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri. Sehingga mereka memperlakukannya dengan baik dan tidak sewenang-wenang atau seenaknya sendiri, baik kepada lautan, hutan, tumbuhan, binatang, bebatuan, maupun jin.

Sederhananya, kepada sesama hamba Allah kok sembarangan. Pakai tata krama dikitlah! Oleh karena itu, penulis merasa aneh dan tidak habis pikir ketika kemarin dengan aksi sekelompok orang yang merusak acara sedekah laut di Bantul, Yogyakarta. Selebihnya, wa allâh a’lam wa a’lâ wa aḥkam…

Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Nasrullah Ainul Yaqin Mustari
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.