Kamis, Januari 16, 2025

Santet: Eksistensi Magis dalam KUHP

Nurul Abidah
Nurul Abidah
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Airlangga
- Advertisement -

 

Kata santet seringkali ditautkan dengan sesuatu berbau klenik dan magis. Masalah yang berkaitan dengan hal-hal berbau gaib, di mana pada tiap-tiap daerah sangat berbeda penyebutan istilahnya. Misalnya di daerah Jawa Barat terkenal dengan istilah “Teluh”, di Jawa Tengah terkenal dengan istilah “Tenung”, dan di Jawa Timur terkenal dengan istilah “Santet”.

Namun bagaimana jika kata santet muncul dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hanya saja dalam  KUHP sendiri penyebutan istilah “Santet” lebih diperluas lagi dengan istilah “Kekuatan Gaib”. Sifat santet yang tak kasat seolah mustahil memiliki sebuah aturan hukum yang merupakan suatu aturan yang mengatur terkait hal hal yang kasat mata dan konkret adanya.

Akan tetapi, muncul kontroversi jika santet yang ditautkan dengan hal-hal yang tak kasat mata kemudian menyebabkan seseorang kehilangan nyawanya dengan cara yang tidak wajar. Dari sini muncul kebimbangan dalam masyarakat, disatu sisi masyarakat meyakini bahwa kematian atau hal hal yang terjadi diluar nalar manusia demikian disebabkan oleh santet.

Di satu sisi, masyarakat merasa bahwa mereka tidak bisa melaporkan kejadian ini kepada apparat penegak hukum karena tidak  adanya bukti yang dapat diajukan secara kasat mata di meja hijau nantinya. Dari kebingungan dan tidak adanya payung hukum dalam menjawab kontroversi dari adanya tindakan santet ini, pemerintah telah mengatur dalam Pasal 252 KUHP.

Pasal 252  KUHP merupakan bentuk baru reformasi hukum pidana Indonesia terkait tindak santet di Indonesia. Pasal 252 KUHP yang berbunyi “ Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV. “

Pengaturan santet kedalam  KUHP merupakan sebuah bukti nyata bahwa pemerintah menjalankan  tugasnya untuk menyediakan payung hukum hingga menjamin kepastian hukum bagi warganya. Pengaturan pasal 293  KUHP terkait santet  merupakan bentuk nyata Kriminalisasi Tindakan Menawarkan Jasa Santet.

Sebelum diundangkannya pasal 252 KUHP, seseorang yang menawarkan jasa santet tidak dapat dipidana. Hal demikian karena hukum pidana yang berlandaskan asas legalitas yang berbunyi “ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali “ yang berarti tidak ada seseorang yang dapat dihukum kecuali ada undang-undang yang melarang perbuata tersebut yang diadopsi dalam pasal 1 KUHP. Demikian juga merupakan norma hukum yang terkandung dalam pasal 252 KUHP yang menyatakan bahwa pasal tersebut merupakan delik formil dimana yang menjadi fokus utama ialah pelaku dari perbuatan pidana santet itu sendiri.

Terkait pengaturan santet dalam  pasal 252 KUHP, berangkat untuk memenuhi berbagai tujuan mulai dari segi perlindungan masyarakat, pencegahan praktik main hakim sendiri, kriminalisasi tindakan menawarkan jasa santet, hingga Kesadaran Hukum masyararakat. Dari segi perlindungan masyarakat, Abdul Fickar Hadjar, seorang pengamat hukum pidana, menjelaskan bahwa pasal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental dan fisik akibat praktik santet. Ia menekankan bahwa fokus pasal ini adalah pada tindakan menawarkan jasa yang tidak dapat dipastikan keabsahannya.

Selanjutnya terkait dugaan pelaku santet acap kali mendapatkan ancaman dan upaya praktik main hakim sendiri dengan dalih hanya pada prasaan atau praduga tak beralasan. Dalam jurnal Pembangunan Hukum Indonesia yang diterbitkan oleh Program Magister Hukum Universitas Diponegoro menunjukkan bahwa Pasal 252 dalam  KUHP bertujuan untuk mencegah praktik main hakim sendiri di masyarakat. Dengan adanya pengaturan ini, diharapkan masyarakat tidak mengambil tindakan balas dendam terhadap individu yang diduga melakukan santet, sehingga menciptakan stabilitas sosial.

- Advertisement -

Telah diaturnya aturan hukum terkait tindak santet memiliki arti bahwa masyarakat telah memiliki payung hukum dan kepastian hukum. Pasal 252  KUHP yang akan mulai diberlakukan pada tahun 2026 ini kemudian menjadi jawaban dari kebingungan dari masyarakat. Dengan demikian masyarakat telah memiliki senjata dalam melawan keresahan yang ada ata tindak supranatural yang merugikan tersebut sehingga terciptalah keamanan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Nurul Abidah
Nurul Abidah
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.