Sabtu malam kemarin saya berkunjung ke Santa Fest, sekadar berkeliling mencari sesuatu yang bisa dibeli dan dibawa pulang. Tentu juga tujuan utama menonton gigs kecil yang ada di lantai dua.
Straight Answer-band hardcore yang cukup tua di Jakarta, sejak 1996 – dan Thats Rockefeller – salah satu unit band rock yang ugal-ugalan dan memabukkan mengisi panggung. Beberapa anak muda yang mengenakan kaos No Place For: Fascism – Sexism – Racism – Hate – Violance (teks itu dari desain kaos untuk Straight Answer dan terbaca jelas dibagian belakangnya) begitu bersemangat mengikuti kencangnya musik dan saling berebut mic kala sang vokalis mendekat.
Malam itu Santa Fest ditutup dengan lagu That’s Rockefeller, “Muara Dosa”. Teriakan penonton mengikuti lagu, saling mendorong, dan mengepalkan tangan ke udara berakhir ketika sang vokalis melirik jamnya dan sudah melewati pukul 10.
Kerumunan lantas membukarkan diri, begitu juga saya segera meninggalkan Pasar Santa, menyalakan motor lalu pulang. Dari Santa saya melewati jalan Kampung Melayu untuk menuju Jalan Johar Baru karena tadi lupa berbelok ke arah Tebet alias kesasar.
Sepanjang perjalanan terlihat kerumunan yang lain. Tentu berbeda yang di Pasar Santa. Yang ini mereka berseregam putih-putih, mengenakan ikat kepala dengan kalimat tauhid dan beberapa yang bergambar bendera Palestina, topi dengan kalimat tauhid. Ada juga bendera tauhid, bendera merah-putih dan jarang bendera Palestina (semenjak aksi bela tauhid, bendera itu lebih populer sekarang).
Sampai di Salemba rombongan seperti tadi juga terlihat dan mulai berjalan dengan simbol-simbol serupa. Mereka rupanya sudah bersiap-siap bergeser ke arah monas – titik kumpul Reuni 212 yang dselenggarakan besok. Ya, aksi 212 dua tahun lalu yang mampu menumbangkan calon Gubernur DKI Jakarta, Ahok dan dipenjara atas tuduhan penistaan agama.
Di Stasiun Gondangdia, kata cnnindonesia.com, jumlah penumpang kereta mencapai 47.559 orang. Meningkat 15 kali lipat dari biasanya yang hanya berkisar 3.229 orang. Tak jauh berbeda dengan Stasiun Juanda, penumpang kereta meningkat, dari biasanya hanya 4.178 orang, kemarin mencapai 40.170 orang. Dua stasiun itu yang terdekat dari Monas dan yang memenuhi KRL adalah mereka para mujahid aksi 212 – sesuai arahan Habib Rizieq Shihab, kata alumni diganti menjadi mujahid, karena mereka yang datang tahun ini belum tentu datang dua tahun lalu.
Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu dengan seragam dan atribut yang sama memadati kawasan Monas sampai ke ruas jalan di sekitarnya, hingga ke patung kuda. Kini mereka berkumpul kembali, seraya reuni atau konsolidasi kepentingan politik? Seruan ganti presiden jelas menggema. Memilih calon presiden dan wakil presiden hasil itjima ulama. Pula mendengungkan lawan partai penista.
Sekarang kehidupan sosial dijangkiti sebuah virus mengerasnya sikap untuk menegaskan identitas masing-masing. Semua beramai-ramai untuk meneguhkan komunitasnya di atas komunitas lain. Golongan sektarian bermunculan di mana-mana, menutup ruang diskusi dan mengupayakan keseragaman. Dunia gampang mereka bagi ke dalam da-r al-iman dan da-r al-kuffar (wilayah orang beriman dan wilayah orang kafir) atau da-r al-salam dan da-r al-harb (wilayah damai dan wilayah perang).
Politik sektarianistik pun dijadikan alat untuk menggapai kekuasaan, tak ada yang bisa melawan dengan tegas karena mereka akan dicap kafir. Menyerang kekuatan politiknya sama saja dianggap menyerang agama. Takbir berkumandang, Tuhan dipaksa turun ke bumi Indonesia untuk melibatkan jamahan tanganNya dalam urusan politik dan berpihak kepada mereka?
Apakah Tuhan kita berbeda-beda? Atau orang sengaja ber-Tuhan hanya untuk melawan Tuhan orang lain? Dalam surat Al-Hujurat ayat 13: yaa ayyuha al-naasu inna kholaqnaakum min dzakarin wa untsaa wa ja’alnaakum syu’uuban wa qabaaila lita’aarofu inna akromakum ‘inda allaahi atqaakum inna allaaha ‘aliimun khabiirun. Dikatakan bahwa Tuhan mencipatakn manusia berbeda-beda jenis kelamin, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku untuk saling memahami dan mengenal.
Bagaimana dengan Alkitab, dalam kitab Roma 12 ayat 10 jelas dikatakan, “hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.”
Keduanya mengajak dan menguji kita untuk berbuat baik dalam hubungan dialektis antartradisi. Yang menjadi mulia apabila mereka bertakwa dan saling mengasihi. Majemuk itu niscaya, sementara klaim kebenaran pada dasarnya tafsiran yang terbatas. Akulturasi dan inkulturasi terjadi pada lokus masyarakat yang majemuk, tak satu atribut.
Iman dalam pandangan islam ialah inti agama islam dan iman tumbuh karena ada ruang dialogis yang majemuk. Memahami dan mengenal bangsa lain, suku lain. Pun mengasihi mereka. itu semua hilang karena politik. Politik mengambil alih keimanan kita untuk memaksakan penilaian kepada orang lain, yang jelas berbeda: dari segi mazhab dan dalilnya. Sehingga Konflik yang muncul melibatkan agama sebuah keputusan yang gagal untuk menemukan cara yang elegan dalam menguasai kefanaan kuasa politik.
Takbir yang sering terdengar kala pemilihan umum cenderung terlihat politis apabila diteriakkan pada saat kampanye atau kampanye diam-diam atau terselubung.
Kesalehan tidak dibuktikan seberapa sering dan keras meneriakkan nama Tuhan, dalam hati pun Tuhan tetap mendengarkan. Konon sufi yang ideal melakukan kebaikan tanpa dilandaskan keinginan masuk surga. Tak masuk surga pun tak apa, yang penting berbuat baik dan saling mengasihi. Karena manusia tak bisa menjamin surga, untuk dirinya sendiri saja tak bisa apalagi menjanjikan surga bagi orang lain.
Kita tidak mungkin menghapus pilar-pilar kebudayaan yang sudah dibangun berabad-abad, apalagi karena alasan politik. Biarkanlah orang-orang memilih jalan surgawinya masing-masing.
Persoalan apakah orang yang megikuti reuni 212 bertuhan sementara yang lain itu tidak bahkan tak beriman, lebih baik serahkan saja pada takdir Tuhan yang berkuasa menjaminkan surga kepada orang yang memegang sebotol beer di depanku, yang nafasnya bau alkohol di sampingku saat menyaksikan Santa Fest. Betapapun mabuknya mereka, mereka lebih saling menghargai dan menghormati meski saling senggol, membopong dengan sukarela dan bahagia orang yang tak dikenalnya untuk stage dive.
Mereka sadar, keberagaman bukan halangan untuk bersama bernyanyi. Saya pun yang meminjam korek untuk menyulut sebatang rokok tak ditanya, “apa agamamu? Jika sama, maka kupinjamkan,” tak ditanya pula, “kau dukung siapa tahun depan? jika sama maka kupinjamkan.”
Akhirnya saya bisa menikmati sebatang rokok dari orang yang meminjamkan koreknya tanpa ia tahu saya beragama apa dan mendukung siapa tahun depan? Dalam perjalanan pulang malam itu juga sempat terbayangkan bagaimana jika pemilu dilakukan saja dalam diam. Biarkan mereka menyasar pilihan yang ada, dia pasti akan tahu tujuan akhirnya. Seperti saya meski memutar lebih dari 10 km dibanding saat pergi, saya tetap sampai di Jalan Johar Baru.