Skandal dugaan chat mesum yang melibatkan Habib Rizieq Shihab tengah jadi perbincangan hangat belakangan ini. Hal itu karena tidak hanya terkait siapa saja yang terlibat dalam kasus tersebut, namun juga terkait motif politik yang berada di belakangnya serta integritas sistem peradilan kita menyikapinya. Kita tidak bisa menyangkal bahwa terdapat motif politik dalam menggunakan kasus ini untuk menjatuhkan citra Front Pembela Islam secara umum dan Habib Rizieq secara khusus.
Secara hukum, kita tidak bisa terburu-buru menyimpulkan bahwa apakah Habib Rizieq benar merupakan orang yang melakukan chat tersebut. Kita harus mengikuti prinsip praduga tak bersalah dalam menyikapi kasus itu. Tidak mungkin bagi kita untuk mengelak dari kasus itu dibuat sebagai balasan dari tindakan FPI yang merupakan salah satu motor penggerak dalam Aksi Bela Islam yang berhasil mengalahkan Ahok dalam Pilkada DKI silam.
Dalam praduga yang baik, kita harus menghormati keyakinan anggota FPI bahwa chat itu palsu dalam upaya untuk menjebak dan mencemarkan nama baik Habib Rizieq. Di sisi lain, jika pun chat itu memang benar adanya dilakukan oleh Habib Rizieq, maka dalam konotasi hak asasi, telah terjadi pelanggaran privasi terhadap seorang sosok Rizieq Shihab. Pelaku yang menyebarkan konten chat tersebut, jika pun telah dipastikan kebenaran isinya, merupakan pihak yang bersalah dalam pandangan hukum.
Akan tetapi, bukan itu inti masalahnya. Kasus chat mesum yang terjadi saat ini pada dasarnya tidak lagi membahas apakah benar atau tidaknya chat tersebut dilakukan oleh Rizieq Shihab. Diskusi yang kita harus lakukan sekarang adalah terkait dasar hukum yang dipakai dalam kasus ini, yakni Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi.
***
Cukup ironi melihat kasus yang menggunakan undang-undang tersebut kini melibatkan salah satu tokoh dari organisasi yang dulu mendukung mati-matian penetapannya, yakni FPI. Seakan-akan pelaku yang menyebarkan konten chat mesum yang diduga dilakukan oleh Habib Rizieq ingin menyeret FPI ke dalam dilema untuk menentang undang-undang itu untuk menjerat pimpinannya. Kita tidak boleh lupa bahwa FPI lah dulu yang menekan habis peradilan untuk menjadikan UU no. 44 tahun 2008 itu untuk menjerat Ariel.
Harus menjadi catatan bahwa UU no. 44 tahun 2008 dapat menjadi alat bagi kaum fundamentalis untuk melaksanakan agendanya dalam mewujudkan “Indonesia Bermoral”. Alih-alih menciptakan masyarakat yang bermoral, penggunaan UU tersebut tidak lebih sebagai bentuk pembatasan kebebasan individual. Mungkin bahasa yang lebih kasarnya, UU tersebut telah memfasilitasi negara dan institusi hukum untuk melakukan “pemerkosaan” terhadap hak-hak individual warga negaranya.
Dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang no. 44 tahun 2008 disebutkan bahwa setiap orang pada hakikatnya dilarang membuat konten yang bersifat pornografi terkecuali untuk konsumsi pribadi. Pengecualian itu dapat dilihat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928 tentang penjelasan terhadap UU yang dimaksudkan. Kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Pada skandal seks Ariel silam, pengadilan menetapkan bahwa Ariel Peterpan telah bersalah karena menyebarkan dan membuat tayangan pornografi pada 2011. Hal ini tentu aneh mengingat bahwa pada Juni dan Juli 2010 polisi telah menemukan dan menahan pengunggah-pengunggah awal konten tersebut.
Alhasil tercipta suatu legal precedent mengenai penafsiran mengenai pasal 4 ayat 1 itu. Sekalipun telah dinyatakan bahwa seseorang tidak bersalah jika konten pornografi yang dibuat hanya untuk kepentingan pribadi, pengadilan kita, dengan kerasnya tekanan dari kelompok-kelompok fundamentalis, dapat saja menafsirkan sebaliknya. Dalam keadaan inilah kita harus bertanya: apakah benar negara kita telah mampu menjamin kebebasan individual warga negaranya?
***
Sekalipun UU no. 44 tahun 2008 memiliki niatan dan tujuan yang baik, pelaksanaannya sejauh ini sering tidak tepat. Penerapan UU itu lebih banyak merampas kebebasan dan mungkin saja mengancam privasi individual. Diam kita atas pelanggaran kebebasan yang dilakukan oleh negara mengatasnamakan penegakan kesusilaan tanpa kita sadari mengarahkan kita kepada tirani. Secara hakikat, kita telah meniti jalan menuju neraka dengan membiarkan negara melangkahi privasi individual warganya.
Ketidakmampuan peradilan dalam membedakan mana yang merupakan bagian dari ruang publik dan mana yang bagian dari ruang privasi dapat mencelakakan demokrasi kita. Ambiguitas pasal-pasal yang tercantum, ketidaknetralan peradilan dalam menghadapi tekanan kelompok fundamentalis dan diamnya negara dalam menyikapinya dapat menjerat banyak orang lewat undang-undang pornografi. Habib Rizieq merupakan salah satu contoh orang malang tersebut karena berhasil dituntut lewat undang-undang yang dulu didukung dirinya beserta FPI.
Apa yang kini terjadi pada kebebasan kita sejalan dengan perkataan tokoh Partai Buruh Britania Raya, Aneurin Bevan: “We weren’t born with liberty, we had to win it” (Kita tidak terlahir dengan kebebasan, kita harus memenangkannya). Tidak semestinya kita membiarkan negara dan kaum fundamentalis membatasi kebebasan, terutama melalui UU no. 44 tahun 2008 itu. Dari kasus chat mesum sekarang ini kita belajar, bahkan mereka yang mendukung penetapan undang-undang itu bisa saja dijerat olehnya. Kemudian, bagaimana dengan kita yang menentangnya atau yang mungkin hanya diam saja?
Apakah negara kita sebenarnya telah melampaui batasan mana yang publik dan mana yang pribadi? Apakah masyarakat kita sebenarnya telah menyerahkan dirinya kepada otoritarianisme? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang lebih penting dibandingkan menyoalkan apa skandal chat mesum yang hangat saat ini benar atau tidaknya.
Quo vadis kebebasan kita?***