Jumat, Februari 21, 2025

Salah Kaprah Kedudukan Kajian dalam Pembentukan Kebijakan Publik

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
- Advertisement -

Beberapa waktu yang lalu, Presiden Prabowo Subianto baru saja mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Instruksi Presiden yang dikeluarkan pada 22 Januari 2025 tersebut mengatur secara terperinci semua komponen anggaran yang perlu disesuaikan sebagai bentuk efisiensi dengan hanya mengecualikan belanja pegawai dan bantuan sosial.

Dalam Instruksi Presiden tersebut, terdapat beberapa komponen anggaran yang disebutkan secara eksplisit seperti dalam Diktum Keempat. Diktum keempat Instruksi Presiden tersebut memerintahkan secara eksplisit kepada Kepala Daerah, baik Gubernur/Bupati/Walikota untuk membatasi belanja untuk kegiatan yang bersifat seremonial, kajian, studi banding, percetakan, publikasi, dan seminar/Focus Group Discussion (FGD).

Uraian terperinci terkait dengan besaran efisiensi tersebut terdapat dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025. Keputusan Menteri Keuangan tersebut menguraikan persentase efisiensi pada setiap komponen anggaran. Terdapat beberapa komponen anggaran dengan persentase efisiensi mencapai lebih dari 50% yang seringkali menjadi kritik masyarakat terhadap peruntukan anggaran seperti studi banding dan kegiatan seremonial.

Namun, efisiensi dengan besaran tersebut turut mencakup belanja jasa yang diperuntukkan dalam proses pembentukan kebijakan publik seperti pembuatan kajian dan seminar/FGD. Bahkan, anggaran riset yang terdapat dalam Kementerian pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sebagai kementerian yang mewadahi pengembangan ilmu pengetahuan mengurangi anggaran riset sebesar 20%.

Kedua komponen anggaran tersebut mendapat perhatian khsusus dari Presiden Prabowo Subianto untuk dapat diefisiensikan. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataannya pada saat memberikan sambutan dalam acara Kongres Muslimat NU ke-18 pada tanggal 11 Februari 2025 yang menyatakan bahwa telah terlalu banyak kajian dan focus group discussion yang dibuat dan terlalu banyak anggaran negara terbuang untuk kedua komponen tersebut.

Menumpuknya Kajian, Minimnya Kebijakan

Pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo pada dasarnya tepat. Hal ini dikarenakan banyak sekali kajian yang dibuat oleh kementerian/lembaga setiap hendak membuat ataupun mengevaluas suatu kebijakan maupun peraturan. Bahkan, kajian seringkali dibuat untuk membahas suatu wacana yang sebenarnya tidak termasuk ke dalam rencana pembuatan program kementerian/lembaga. Kondisi tersebut pada dasarnya memang diperlukan untuk menciptakan kementerian/lembaga yang responsif terhadap situasi terkini yang terjadi di masyarakat dengan memahami perkembangan ilmu pengetahuan.

Di samping itu, keberadaan kajian merupakan upaya untuk mengarusutamakan pembentukan kebijakan berbasis ilmu pengetahuan (Scientific-Based Policy) agar kebijakan yang diambil tepat cara dan tepat sasaran (Greenhalgh dan Engebretsen, 2022).  Pendekatan Scientific-Based Policy merupakan pengembangan dari konsep pembentukan kebijakan berbasis bukti nyata (Evidence-Based Policy)  yang menjadi tren pada seluruh negara di dunia guna memperhitungkan secara tepat pengambilan suatu kebijakan, termasuk mengantisipasi ekses yang terjadi atas kebijakan tersebut (Marmot, 2004).

Jauh api dari panggang, konsep teoritis tersebut tidak sejalan dengan praktik yang terjadi di lapangan. Kajian seringkali dijadikan alat pembenaran terhadap kebijakan yang hendak diambil oleh penguasa berdasarkan seleranya. Hal ini juga diperkeruh dengan pembuatan kajian adanya temuan pembuatan kajian yang melakukan cherry picking  fenomena dalam membuat solusi permasalahan agar selaras dengan kehendak dari pembentuk kebijakan.

Kondisi ini membuat pembentukan kajian yang pada dasarnya baik mendapat stigma negatif dari sebagian masyarakat. Terdapat suatu tulisan menggelitik yang viral beberapa hari kemarin di media sosial LinkedIn terkait dengan permasalahan keberadaan kajian dan FGD dalam berbagai lini pemerintahan.

Tulisan tersebut menguraikan telah ribuan kedua hal tersebut dilakukan di Indonesia, bahkan hampir setiap minggunya balai pertemuan/hotel dipenuhi kegiatan yang berisikan kegiatan seminar/konferensi dalam sektor tertentu. Namun, kajian dan focus group discussion yang setumpuk gunung tersebut tidak mampu menyelesaikan permasalahan Indonesia secara konkret seolah Indonesia berada dalam fase stagnansi pasca berbagai kajian dan focus group discussion tersebut dilaksanakan.

- Advertisement -

Secara realis, narasi yang dibangun tulisan tersebut tidak salah sama sekali. Bahkan, seharusnya menampar muka para akademisi atas lemahnya penyerapan kajian yang telah disusunnya. Padahal, proses pembuatan kajian tentu bukan hal yang mudah karena perlu melakukan perencanaan dengan matang, belum lagi proses pengambilan dan pengolahan data yang menguras waktu, dan penyajian luaran yang harus disesuaikan dengan user agar dapat dipahami. Namun, apakah tepat jika menyalahkan permasalahan stagnansi kebijakan tersebut pada aspek kajian dan focus group discussion semata?

Reposisi Kajian dalam Pembentukan Kebijakan

Sebagaimana yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, esensi kajian pada dasarnya merupakan upaya untuk menciptakan kebijakan yang memiliki landasan ilmiah dan bukti yang memadai. Pembuatan kajian ditujukan untuk memastikan kebijakan yang diambil tidak hanya berdasarkan kesenangan hati penguasa, melainkan telah terbukti secara ilmiah sesuai untuk menyelesaikan masalah. Dengan adanya kajian, suatu kebijakan setidaknya memiliki gambaran mekanisme pelaksanaan.

Secara realis, keberadaan berbagai kajian yang dihasilkan pemerintah memang tidak sejalan dengan output kebijakan yang dibuat. Hal ini dapat dilihat dari terdapat berbagai kajian hanya untuk menganalisis suatu permasalahan semata. Kondisi ini seringkali dianggap menjadi salah satu biang masalah pengambilan kebijakan yang terlalu memakan waktu.

Di sisi lain, pembuatan berbagai kajian dalam pengambilan suatu kebijakan secara ideal diperlukan untuk menelisik dengan komprehensif dampak dan kebutuhan untuk melaksanakan suatu kebijakan dari berbagai perspektif. Dengan pendekatan ini, pemerintah dapat memperoleh berbagai perspektif terhadap suatu kebijakan sebagai upaya untuk dapat mengantisipasi sumber daya yang diperlukan dan dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat. Hal ini membuat pengambilan kebijakan pun tepat cara dan tepat sasaran, sehingga hasil dari kebijakan yang diharapkan pun dapat optimal.

Pada akhirnya, efisiensi dalam setiap komponen anggaran negara, termasuk kajian dan FGD memang diperlukan untuk memastikan uang pajak masyarakat sebagai sumber utama anggaran negara digunakan secara tepat. Namun, efisiensi perlu dilakukan secara selektif dan bertahap agar tujuannya untuk dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang efektif dapat dicapai tanpa menimbulkan  polemik baru.

Sebagai sektor yang terdampak dalam kebijakan efisiensi tersebut, pelaksanaan kajian dan FGD  pada seluruh lingkungan pemerintah memang perlu dievaluasi dengan adanya distandarisasi untuk membentuk penyamaan kedalaman analisis permasalahan agar dapat lebih mudah digunakan oleh Pemerintah.

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.