Saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah cerita saat saya mudik ke kampung halaman beberapa waktu yang lalu. Saya berkesempatan untuk bertemu beberapa rekan-rekan aktivis dan mengadakan diskusi kecil-kecilan yang lumayan rutin.
Dalam sebuah diskusi yang kami laksanakan, saya menanggap argumen-argumen yang mengidealkan masyarakat agraris sebagai masyarakat ideal. Seolah-olah tanpa penindasan dan ada yang radikal dengan menganggap seolah-olah semua yang berbau kota adalah kapitalisme.
Penelitian Barisan Tani Indonesia (BTI) pada tahun 1964 (Bagian II), yang menjelaskan tentang pembagian kelas di desa dan model-model penghisapannya cukup lengkap untuk menjelaskan keadaan dengan menggunakan Materialisme Dialektis sebagai metode dan cukup untuk mematahkan argumen salah kaprah di atas. Belum lagi jika dilihat gerak ‘gelap’ kapitalisme di pedesaan.
Dalam situasi yang lain, seorang rekan aktivis di Malang mengunggah sebuah status di medsos miliknya. Ia mengatakan, jika kita membahas masalah-masalah transformasi sosial di tempat seperti Starbucks, maka akan menghasilkan ide-ide reformis, di mana memperjuangkan rakyat marjinal harus masuk ke lingkaran oligarki.
Saya tidak tahu bagaimana berdiskusi di sebuah tempat seperti Starbucks akan mengubah dialektika, pikiran serta gagasan-gagasan revolusioner. Pertanyaannya lalu tempat seperti apa yang cocok untuk mendiskusikan hal-hal di atas?
Yang terbaru lagi adalah tulisan di sebuah Jurnal Online berjudul “Boikot, Kemewahan siapa?”. Artikel yang cukup menarik, di mana penulis ingin menjelaskan bagaimana relevansi boikot dan berupaya menyelamatkan pemaknaan. Namun ada argumen menarik di akhir tulisan tersebut.
“Pikiran tertulis ini adalah produk kapitalis karena “Lenovo” tempat Penulis ini menulis dan mengirimkan tulisan adalah kapitalis. Surat kabar tempat Penulis ini mencari nafkah adalah juga kapitalis karena tanpa modal, ia pasti akan gulung tikar.”
Apakah dikarenakan produk laptop diproduksi oleh pabrik (Manufacture) yang terjadi proses penghisapan nilai lebih (surplus value) sehingga kita menggunakannya dalam kerja-kerja progresif, menjadi kerja kapitalis?
Maka saya bisa saja mengatakan bahwa Das Kapital (Capital) adalah produk (mahakarya) kapitalis , karena saat Karl Marx membaca dan menulis mungkin saja bahan baku celana dalamnya berasal dari pabrik Textile milik Engels, atau kertas di mana dia menjelaskan transformasi formula C-M-C ke M-C-M’ hingga komposisi organik kapital (C/V) berasal dari sebuah proses perbudakan yang mengerikan.
Salah Kaprah seperti contoh-contoh di atas menurut saya tidak baik dirawat oleh aktivis apalagi intelektual antikapitalisme. Kita tentu tidak ingin menjadi seperti petinju yang sembarangan memukul, karena kita bisa menebak apa yang akan terjadi pada petinju yang sembarangan memukul.