Langkah pemerintah Indonesia untuk menarik pajak barang tidak berwujud (intangible goods) tahun depan telah mendapatkan restu dari organisasi perdagangan dunia (WTO). Meskipun Moratorium WTO tentang intangible goods diperpanjang berdasarkan hasil konferensi di Argentina pada 10-13 Desember yang lalu, kegigihan pemerintah dalam membidik pajak barang tak berwujud kemungkinan akan segera terwujud.
WTO akhirnya memperkenankan pemerintah Indonesia untuk memungut bea masuk dan pajak barang tak berwujud. Namun, pungutan tersebut tidak berlaku untuk transmisi ketika proses transaksi dilakukan.
Melihat upaya pemerintah membidik pemasukan negara dari sektor digital akhir-akhir ini dapat dikatakan sangat agresif. Hal ini tidak mengherankan. Sebagian besar pengamat dan peneliti menyatakan bahwa pasar digital Indonesia memiliki daya tarik dahsyat bagi pelaku e-commerce dari berbagai belahan dunia sekalipun ekosistem digital di Indonesia belum siap sepenuhnya.
Lebih dari itu, Indonesia digadang-gadang sebagai pemain besar e-commerce berikutnya di Asia Pasific (APAC). Sebagai negara pengguna internet terbesar ke lima di dunia, setidaknya 132 juta penduduk Indonesia terhubung dengan internet. Besarnya jumlah tersebut didukung oleh penetrasi kebutuhan tak berwujud (intangible needs) yang terus meningkat di kalangan generasi zaman now.
Fakta lain menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-5 sebagai negara dengan index perkembangan ritel terbaik di dunia (global retail development index). Lebih dari itu, market size ritel di Indonesia merupakan ketiga terbesar setelah Tiongkok dan India.
Proyeksi pembelian atau transaksi elektronik di Indonesia diprediksi akan terus meningkat. Pada tahun 2016, setidaknya 24.9% masyarakat Indonesia melakukan pembelian secara online. Jumlah tersebut naik 4% di tahun ini, dan diperkirakan mencapai 43.9% pada tahun 2022 nanti.
Dari sejumlah fakta di atas, usaha Pemerintah membidik bea masuk produk tak berwujud sangat masuk akal dengan asumsi menciptakan level playing field yang sehat dan menciptakan ekosistem digital yang kuat. Namun demikian, jika alasan yang digunakan pemerintah adalah untuk mendongkrak penerimaan negara, hal tersebut kiranya tidak sepenuhnya masuk akal.
Hingga saat ini memang belum ada regulasi maupun sistem yang jelas terkait jenis barang tak berwujud yang dibidik Pemerintah. Jika buku elektronik (e-book) yang menjadi bidikan pemerintah, untuk saat ini rasanya sangat tidak tepat.
Salah Bidik
Buku elektronik merupakan salah satu barang tak berwujud yang peredarannya semakin besar di dunia. Peredaran buku elektronik memang memudahkan negara berkembang untuk mendapatkan sumber bacaan secara cepat dan efisien, baik untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan rekreatif. Jika di tahun 2013 penjualan buku elektronik global hanya sekitar 12,3%, tahun 2018 nanti diprediksi mencapai 25,8% dari total peredaran berbagai bentuk buku.
Di Indonesia, peredaran buku elektronik dalam negeri kurang dari 2% dari total penjualan buku secara keseluruhan dengan total pendapatan hanya mencapai 21 juta US$ di tahun 2017. Angka peredaran buku elektronik Indonesia diprediksi akan mencapai 14,3% dengan pendapatan sebesar 40 juta US$ dengan asumsi penetrasi pengguna mencapai 2,3% dari total populasi di tahun 2022. Sementara itu, average revenue per user (ARPU) pada segmen buku elektronik di Indonesia pada tahun ini hanya sebesar 5,53 US$.
Berdasarkan ulasan di atas, penerimaan negara dari sektor buku elektronik kemungkinan besar tidak terlalu signifikan. Harga rata-rata buku elektronik hanya berkisar antara 1 hingga 4,99 US$. Sedangkan peraturan yang dikeluarkan Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) mensyaratkan barang 100 US$ untuk pengenaan bea masuk. Dengan demikian, hanya pemain besar yang potensial sebagai bidikan pemerintah.
Namun, agaknya dilematis jika target pemerintah adalah pemain besar seperti Google Play, Kobo, Amazon, iBook, Kindle, Scoop, dan sebagainya. Mereka akan mensiasati dengan hanya mentransmisikan konten elektronik ke dalam gadget pembaca atau pengguna layanan mereka. Jika demikian, Pemerintah akan gigit jari mengingat WTO hanya memberikan opsi untuk menarik bea masuk terhadap produk, bukan transmisi.
Merujuk pada alasan Pemerintah untuk meciptakan level playing field yang sehat, sektor penerbitan elektronik juga bukanlah bidikan yang tepat. Perlu diketahui bahwa Indonesia adalah pembeli hak cipta terbesar di ASEAN. Selain itu, lebih dari 40% buku yang beredar di Indonesia merupakan hasil terjemahan.
Penguatan ekosistem digital di sektor penerbitan seharusnya digarap terlebih dahulu, khususnya yang berkaitan dengan dunia akademik, sebagai pengguna publikasi elektronik terbesar, sebelum instrumentasi kebijakan pengenaan bea masuk diberlakukan.