Kekuasaan dan kekayaan memang bisa menjadi sumber utama perpecahan. Sering kita mendengar diantara saudara, kakakdan adik bertengkar, berselisih paham bahkan saling membunuh karena memperebutkan warisan.
Tali persaudaraan yang seharunya terus dijaga dan dipelihara seolah tidak berbekas hanyut oleh nafsu kekuasaan dan kekayaan. Apalagi dalam politik, semua hal bisa terjadi.
Tahun politik sekarang ini seolah terus menghangat bahkan memanas. Sebelum penentuan Capres dan Cawapres berbagai pihak, elit partai, tokoh negeri seperti beradu demi menduduki posisi tertinggi di negeri ini.
Yang paling sengit adalah ketika mencari sosok Cawapres. Tiap parpol seolah berlomba untuk menempatkan kadernya sebagai Cawapres. Tetapi ternyata ketika posisi Capres dan Cawapres sudah terisi, riak perebutan kekuasaan masih terjadi.
Berbagai hasil polling di internet yang umumnya diselenggarakan oleh media sosial yang pemiliknya merupakan pendukung Prabowo, pasangan Jokowi-Maruf Amin kalah telak dari Prabowo-Uno.
Sampai saat ini saya belum membaca pendapat para pengamat tentang fenomena ini. Kalau menurut para pendukung Prabowo-Uno tentu karena masyarakat lebih senangdengan Prabowo-Uno dibanding Jokowi-Maruf Amin.
Tetapi yang jelas sampai saat ini kubu petahana Jokowi-Maruf Amin sangat solid. Sekarang sudah terbentuk jubir yang bertugas menangkap serangan dari oposisi. Sebaliknya justru kubu oposisi banyak bermasalah. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra berbicara di internal partainya tentang dinamika Pilpres 2019. Kata-katanya memuat dilema politik, mendukung Prabowo Subianto atau JokoWidodo.
Dilema Yusrilberangkat dari tinjauannya terhadap Ijtimak Ulama, sebuah forum yang digelaroleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Sebagaimana diketahui, forumitu menghasilkan rekomendasi dukungan pencapresan untuk Prabowo Subianto.
Ijtimak Ulama juga merekomendasikan dua nama sebagai cawapres Prabowo Subianto, yakni politikus senior PKS Salim Segaf Al Jufri atau Ustaz Abdul Somad. Prabowo dapat memilih salah satu dari dua nama kandidat cawapres itu.
Namun Prabowo tidak memilih dua nama ulama itu, melainkan memilih Sandiaga Uno, politisi Partai Gerindra yang menjabat sebagai wakil gubernur Jakarta. Sandiaga Uno jelas bukan ulama, melainkan pengusaha.
Kekecewaan ternyata tidak hanya melanda PA 212 dan GNPF Ulama, tetapi sedang dialami oleh Yusril Ihza Mahendra. Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, kembali mencurahkan isi hatinya di dunia maya soal nasibnya di pilpres. Melalui akun Instagram-nya, @yusrilihzamhd, dia menceritakan bagaimana sakit hatinya karena tak diajak bergabung koalisi Prabowo Subianto.
Yusrilmenyatakan koalisi keumatan hanya fatamorgana yang tak pernah ada di alamnyata. PBB tidak pernah terlibat di sana. Bahkan Yusril komplain namanya dibawa-bawa tanpa pernah diajak bicara. Ia menceritakan bahwa telah berkali-kali sekjen fungsionaris PBB menghubungi Gerindra dan PAN mengenaikoalisi yang digagas Habib Rizieq itu, tapi tidak ada respons sama sekali.
Ketua umumGerindra, katanya, malah secara terbuka memfitnahnya dengan mengatakan mengaku terus terang tidak pernah berbicara dengan ketua umum PBB karena tiap kali dihubungi selalu berada di luar negeri. Di kalangan ulama peserta ijtima di hotel Peninsula, sikap Prabowo yang tak memilih UAS atau Salim Segaf juga masalah. Ia mempertanyakan siapa yang tidak taat pada ulama.
Konon kabarnya, akan diadakan ijtima ulama tahap II untuk memutuskan apakah akan membenarkan atau menolak keputusan Prabowo yang memilih Sandiaga Uno, seorang pedagang, bukannya ulama. Sementara Jokowi malah memilih ulama yang juga ketua MUI dan sekaligus rais am PBNU, walau Jokowi tak pernah mendapat amanat demikian dari para ulama yang ber-ijtima.
Kekecewaan Yusril ini tentu berpotensi berpindahnya dukungan. Bahkan Yusril mengaku bahwa dibanding Partai Gerindra dan koalisi prabowo lainnya, partai sekuler lebih baik, lebih perhatian, lebih bersimpati pada partainya (PBB). Lalu partai mana yang disebut Yusril sebagai partai sekuler tapi bersimpati pada partainya?
Keretakan juga terlihat terjadi dikubu oposisi. Partai Demokrat walaupun secara resmi mendukung kubu Prabowo tapi pada prosesnya malah sering mengemukakan pernyataan yang kontroversi dan cenderung memancing keretakan antar partai koalisi pendukung Prabowo.
Andi Arief pentolan Partai Demokratmelontarkan bola panas tentang isu pemberikan mahar politik pada PAN dan PKS. Menurut Andi Sandiaga Uno memberikan mahar politik pada PAN dan PKS agar Uno menjadi Cawapres Prabowo masing-masing 500 milyar. Tentu saja tudingan ini membuat berang PAN dan PKS.
Bahkan PAN dan PKS berencana melaporkan Andi ke pihak kepolisian. Pernyataan Andi Arief tentu saja berpotensi memancing kericuhan khususnya antar parpol pengusung Prabowo. Tapi Partai Demokrat seolah mendukung apa yang dilakukan Andi Arief.
Partai Demokrat (PD) membela Andi Arief yang diancam dipolisikan PAN dan PKS. PD buka-bukaan soal manuver Prabowo Subianto yang sempat menyebut nama AHY sebagai salah satu kandidat cawapres.
“Di balik realitas politik, yang di atas kertas tak lagi bisa diubah,sikap Andi Arief yang terang-terangan mewakili sebenar-benarnya suara hati setiap kader Demokrat. Dia tidak sendirian. Dia berkelahi demi kehormatan Partai dan setiap kadernya bukan untuk dia pribadi,” cuit Wasekjen PD Rachland Nashidik dalam akun twitter @RachlanNashidik yang dikutip, Rabu(15/8/2018).
Tindakan Partai Demokrat ini akan menggembosi kubu oposisi. Seharusnya partai pengusung lebih fokus, lebih konsentrasi untuk memenangkan pasangan Prabowo-Uno, ini malah sibuk untuk bertengkar. Tentu saja akan merugikan citra dari pasangan Prabowo-Uno.
Sumber:
https://news.detik.com/berita/d-4167725/bela-andi-arief-pd-bila-tak-suka-bujuk-prabowo-tendang-kami