”Selamat pagi Pak, selamat pagi Bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu.”
Sebuah pembuka yang manis sekaligus menohok dari Agus R. Sarjono dalam puisi masterpiece-nya, Sajak Palsu.
Membaca pembukanya saja pasti sudah cukup membuat penikmat sastra terpikat. Penulis mengilustrasikan bahwa ketakziman anak-anak kepada gurunya cuma pura-pura. Mereka tak benar-benar berniat segan dengan sang guru.
”Lalu, mereka pun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah,mereka terperangah melihat hamparan nilai merekayang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlahmereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guruuntuk menyerahkan amplop berisi perhatiandan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsudan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak gurudan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsuuntuk mengubah nilai-nilai palsu dengannilai-nilai palsu yang baru.”
Selanjutnya menceritakan bukan hanya murid yang bersikap palsu, melainkan juga gurunya. Akhirnya kelak muncul sarjana-sarjana palsu di bidang ekonomi, hukum, pertanian, dan semacamnya. Karena materi yang disampaikan juga seolah-olah alias tak sungguh-sungguh alias palsu. Seperti baris berikut ini.
”Mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu. Sebagian menjadi guru, ilmuwan, atau seniman palsu.”
Baris demi baris yang saya ambil di atas hanya pars pro toto, istilah yang mewakili sebagian untuk keseluruhan, tapi sepertinya sudah bisa mencakup isi puisi Sajak Palsu secara utuh.
Tahukah, teman, yang paling saya sukai dari para penyair lawas adalah karyanya yang sarat kritik atau sindiran. Untuk siapa pun, bukan hanya pemerintah, yang selama ini kerap jadi sasaran tunggal. Yang paling sering mencetuskan karya semacam itu tentu W.S. Rendra dan Wiji Thukul. Rendra? Tak perlu ditanyakan lagi. Hampir tiap sajaknya mengandung unsur kritik satire.
Sajak Seonggok Jagung salah satunya. Ia berisi sindiran halus terhadap orang-orang desa yang menuntut ilmu di kota, tapi gagal menerapkan ilmunya untuk kehidupan sehari-hari. Pendidikan telah menjauhkannya dari kehidupan nyata. Kena sekali, bukan? Yang mencela pemerintah lebih banyak, tentu. Wiji Thukul malah lebih keras. Karya terbaiknya, versi saya, adalah Peringatan dengan akhir bait yang fenomenal: Maka hanya ada satu kata: lawan!
Karya sastra, termasuk puisi, merupakan salah satu sarana untuk menyalurkan kritik atas sebuah fenomena yang ada. Sastra adalah juga sebentuk perlawanan, walaupun cuma bermaujud kata-kata. Bahkan, Seno Gumira Ajidarma, yang dijuluki pendekar kata-kata, menilai sastra dalam derajat yang lebih tinggi pada salah satu karyanya: Ketika Media Dibungkam, Sastra Harus Melawan.
Seno adalah sastrawan yang lahir di era Orde Baru. Maka, dengan sastralah kesewenang-wenangan dia lawan karena media-media kala itu dibungkam.
Kembali ke hasil proses kreatif Agus R. Sarjono dalam Sajak Palsu tadi. Betulkah yang dikritik oleh sang penyair? Masih relevan dengan zaman now? Kita semestinya peka akan hal itu.
Mari ingat-ingat, teman, beberapa waktu lalu pernah mencuat berita tidak etis soal kasus plagiarisme dan nepotisme yang melanda Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan sempat membuat gaduh. Waktu itu diwartakan, tim yang dibentuk Kementerian Pendidikan Tinggi menemukan sejumlah kejanggalan dalam program pascasarjana UNJ. Tidak main-main, kasus tersebut melibatkan sang rektor, yang dituduh menyalahgunakan kekuasaan.
Ada lagi, masih di perguruan tinggi, polemik soal seorang ketua partai yang diberi gelar honoris causa di Universitas Airlangga. Timbullah kasak-kusuk di belakang oleh kalangan akademisi internal, hingga akhirnya mencuat ke publik. Lagi, yang tertuduh tak lain adalah sang rektor. Kalangan dosen itu menilai yang bersangkutan belum layak diberi gelar kehormatan. Itu diindikasi semacam ”pesanan” untuk sang rektor.
Betapa mahalnya arti sebuah kejujuran dan kesungguh-sungguhan. Bahkan untuk sekelas perguruan tinggi sekalipun. Yang diburu ya hanya citra yang tampak luarnya. Kualitas atau nilai dinomorduakan. Sangat mungkin yang seperti ini sudah tertanam sejak sekolah. Seperti ilustrasi puisi Saja Palsu tadi.
Ada lagi berita yang lebih menggegerkan dan bahkan tampak sulit dinalar: kehebohan seorang Dwi Hartanto atas segala kibul yang keluar dari mulutnya. Dia berbicara ini itu yang ternyata juga pura-pura. Tong kosong nyaring bunyinya, kata peribahasa. Klaim-klaim dirinya atas segala prestasi hampir –bahkan sudah– menipu banyak orang. Orang ini pun sempat dijuluki the next Habibie.
Tapi kemudian yang bersangkutan mengklarifikasi bahwa yang diumbar selama ini tidak nyata. Lagi-lagi hanya pura-pura. Yang ini rasanya ingin mencari jalan pintas demi mengejar popularitas. Tapi malah berakhir di kubang bahala.
Jadi, puisi Agus R. Sarjono yang ditulis tahun 1998 itu sudah cukup menjadi gambaran. Bahwa segala benih kepalsuan sudah tertanam sejak sekolah dan bisa terbawa sampai kelak. Ya, fiksi, kata Pak Cik Andrea Hirata, adalah cara terbaik menceritakan fakta.