Relasi antara sains dan agama bersifat konfliktual, independen, dialogis, maupun integrasi. Corak yang harus dikembangkan bersifat dialogis untuk kemudian diintegrasikan antara sains dan agama untuk sama-sama menghadapi bencana yang akan datang seperti halnya Pandemi Covid-19. Jangan sampai dalam menghadapi bencana semacam demikian masing-masing kelompok (agamawan dan saintis) terlalu mengegokan dirinya yang paling maju dan berani dalam menghadapi pandemi global semacam Covid-19.
Perdebatan antara saintis dan agamawan perihal pandemi Covid-19 tidak terelakkan lagi. Kaum saintis beranggapan bahwa sains satu-satunya alat alternatif yang bisa mengatasi semua problem yang terjadi dengan metode ekperimentalnya. Sedangkan kaum agamawan (sebagian) lebih mengedepakan sifat taqlidnya terhadap nash al-Quran, mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah menjadi ketetapan Illahi dan kita sebagai manusia harus bersikap pasrah dengan keadaan.
Dengan keadaaan semacam ini tidak ada integrasi antara sains dan agama. Padahal, hubungan religius antara manusia sebagai “subjek” dan alam selebihnya sebagai “objek” dicirikan dengan kedekatan, bahkan kebersatuan serta interaksi dan partisipasi di antara unsur-unsurnya (Haidar Bagir, Ulil Absar, 2020:26).
Mehdi Gholsani Sebagai Saintis Muslim
Mehdi Gholsani intelektual muslim sekaligus seorang saintis asal Iran yang lahir pada tahun 1939 di Isfahan. Latar keilmuan Gholsani sebagai seroang saintis dimulai ketika ia masuk ke Perguruan Tinggi di Teheran. Masuk dalam prodi Fisika (1959). Setelah menyelesaikan strata S1 nya di bidang fisika, Gholsani muda melanjutkan di Universiy of California di jenjang magister (MA) dan Doktor (Ph.D) di prodi yang sama yakni Fisika.
Dengan mengambil keilmuan yang serumpun, tentunya kredibiltas dan keshahihan ilmunya terkait sains tidak diragukan lagi. Bahkan bisa dikatakan pada abadnya, dia satu-satunya pemikir muslim yang paling menguasai dalam bidang ilmu fisika. Dengan latar pendidikan dan pekaran dalam ilmu fisika kemudian Gholsani diangkat sebagai Ketua Departemen Fisika selama dua periode yakni pada tahun 1973-1975 dan 1987-1989 M. Karya Mehdi Gholsani diantaranya The Holy Qur’an and the Science of Nature, From Phyics to Methapyhsics, Issue in Islam and Science dan lain sebagainya.
Sains Teistik
Agama monoteis yang mengedepankan sifat kepercayaan terhadap Tuhan dan mempercayai kitab suci mereka agar umat beragama menjelajahi dunia dan melihat kemuliaan Allah sebenarnya sangat berperan penting dalam pengembangan sains, setidak-tidaknya sebagai bidang penyelidikan alam semesta. Guesssoum mengakui banyak sekali pertanyaan sains yang membutuhkan jawaban metafisika bahkan religius, sehingga lahirnya Sains Teistik atau Kosmologi Teistik, menjadi jalan keluar terhadap persoalan sains.
Kalangan saintis kemudian mengfokuskan kajiannya terhadap al-Quran dan berupaya melogikakan ayat yang ada di dalam kitab suci itu, walaupun sebagian ada yang masih bekerja di dalam laboratorium untuk meneliti fenomena alam, tujuannya tidak lan dan tidak bukan untuk membuktikan dalil-dalil yang ada di dalam al-Quran. Sementara kalangan mufasir bergumul dengan teori-teori temuan sains dan dikorelasikan dengan ayat-ayat al-Quran. Dengan hal ini menguatkan bahwa al-Quran adalah kitab sains.
Dengan label al-Quran sebagai kitab sains artinya ada suatu kegiatan ilmiah yang disandarkan melalui penjabaran kerangka di dalam al-Quran termaksud aktivitas ilmiah dan pola pengembangan sains. Kerangka di sini diartikan bukan secara kasar mengakarkan temuan ilmiah kepada al-Quran dan juga bukan diartikan secara instan menurunkan ayat al-Quran ke wilayah ilmu, tetapi dengan mengindahkan standar-standar dan etika ilmiah untuk dapat terhindar dari kesalahan fatal yang bertentangan dengan dalil-dalil yang ada di dalam al-Quran.
Sains dan agama bukan suatu realitas yang binner, di mana satu dengan yang lain saling bersinggungan, Mehdi Golshani menjelaskan bahwa agama dan sains masing-masing memiliki titik gradual yang keduannya sama-sama dapat menjadi instrumen untuk memahami dan mengenal Tuhan. Golshani juga menegaskan bahwa Allah sebagai titik tertinggi realitas menjadi pusat aktivitas manusia.
Kendatipun tidak semua aktivitas manusia berwujud ritual ibadah, namun hal itu akan mendekatkan manusia dengan Tuhannya. Begtiu juga dengan sains ketika sains dijadikan sebagai instrumen untuk mengenali dan memhami keberadaan Tuhan. Maka keberadaanya disejajarkan dengan ritual keagamaan atau ibadah pada umumnya (Mehdi Gholsani, 2003:163).
Baginya prinsip-prinsip yang ada di dalam al-Quran harus ditegaskan dan dipergunakan untuk menggantikan pandangan dunia Barat yang selama ini menguasai pengembangan sains di dunia Islam. Perlu kita ketahui bahwa dimensi normativitas dan etika di dalam al-Quran yang bersifat fardu’ain, imperative categorical tetap sama dari dulu sampai sekarang dan dalam situasi dan kondisi apa pun dalam memperlakukan manusia dalam berbagai stratifikasi kelas sosial yang secara santun, demokratis, egaliter dan adil (Amin Abdullah, 1995:19).
Gholsani berkeyakinan bahwa wilayah paradigma adalah wilayah bersama di mana semua pandangan dunia dari latarbelakang manapun tentang realitas bisa masuk dan saling berkompetensi serta saling mewarnai dan mendominasi termaksud paradigma Qur’ani yang diyakininya bisa menggantikan dominasi paradigma positivisme dan empirisme di Barat.
Dengan memandang alam sebagai suatu yang independen, kekal dan bekerja sesuai dengan mekanismenya sendiri, Tuhan tidak mendapatkan tempat dalam mekanisme kerja alam semesta. Sains yang menggeluti alam hanya bekerja dengan memahami hukum kausalitas yang terjadi dalam alam sebagai sesuatu yang alamiah (Naquib al-Attas,1995:27).
Dalam hal ini sains modern tidak perlu menghipotesiskan Tuhan juga tidak meninggalkan wacana teologis dalam mekanisme kerja alam. Alam dipahami semata realitas fisik yang bekerja secara alamiah tanpa teratur, terjadi engan sendirinya tanpa adanya tujuan akhir. Pandangan ini memisahkan fakta antara nilai yang bersifat objektif dan subjektif. Karena itu dalam dunia sains muncul relativitas moral dengan melihat moralitas sebagai subjektivitas.
Pandangan metafisik yang dilihat Gholsani sebagai anggapan awal metafisik yang mendasari sains dan sains dianggap tidak netral. Yang dipersoalkan Gholsani bukan masalah ketidaknetralannya dengan membat pandangan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tetapi karena pandangan metafisik itu mempengaruhi penerapan sains, sehingga menimbulkan dampak destruktif bagi umat manusia secara keseluruhan.
Bagi Gholsani, dampak destruktif tersebut terkait dengan wilayah etika yang tidak dipertimbangkan dalam dunia sains, sementara hal itu terjadi karena pandangan metafisik yang matreialistik dan mekanistik yang menegaskan pemisahakan fakta nilai serta menggapnya yang kedua tidak ilmiah sehingga tidak masuk dalam wilyah sains.