Sains dan teknologi dapat membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kira-kira itulah esensi dari pesan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Indonesia Science Expo 2018 pada November silam yang digelar oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pernyataan itu amat benar, setidaknya bagi Indonesia yang agaknya masih terlunta-lunta dalam mempromosikan sains dan teknologi sebagai ujung tombak hakikat pembangunan bangsanya di era modern. Karenanya, menghadirkan iklim sains dan teknologi yang ideal, dari hulu ke hilir, adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Pembangunan ini bukan hanya terkait hal-hal logistik seperti peta rencana atau alokasi pendanaan semata, namun juga masalah mentalitas dan profesionalisme seorang praktisi sains dan teknologi terhadap ranah keilmuan yang diembannya, baik dalam porsinya sebagai seorang pembelajar maupun guru dalam institusi-institusi pendidikan dan riset. Baik sekolah, kampus, maupun pusat riset di Indonesia seharusnya berisikan orang-orang bernalar tinggi dengan kontrol emosional yang mumpuni; terutama seksual. Memanipulasinya demi kepentingan pribadi seharusnya dianggap sebagai lebih dari sekedar pelanggaran etik semata, dan pantas dihukum berat.
Mengapa? Mengingat bahwa sains dan teknologi sebagai pemompa harapan pembangunan Indonesia kini dan masa depan, bahkan mungkin yang utama, maka sudah semestinya iklimnya dilindungi secara serius dengan payung hukum. Terlebih ketika partisipasi perempuan di ruang-ruang publik kian meningkat, khususnya di ranah pendidikan dan riset dengan budaya dominasi laki-laki dalam hierarkinya yang kental. Sudah terlalu banyak contohnya ketika perempuan menjadi objek yang dirugikan secara seksual, baik verbal maupun fisik, dalam lingkungan akademis akibat penerapan relasi patron-klien yang patriarkis dan menuntut inferiorisme.
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh Agni, mahasiswi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang viral pada tahun 2018 ini adalah contoh pelik mengenai bagaimana relasi kuasa bekerja menindas perempuan di lingkungan pendidikan. Keduanya selaku korban diposisikan bersalah dan dianggap menyeleweng karena berupaya mencari keadilan dalam lingkungan yang sudah terlanjur terbiasa melihat dalil-dalil pelecehan oleh laki-laki sebagai hal yang wajar dialami oleh pihak perempuan. Tentu ini keliru.
Agni dan Baiq Nuril tidak mendapatkan penanganan yang patut dan kooperatif di tempatnya bernaung. Para pejabat institusi yang bersangkutan, bahkan penegak hukum, justru mendiskreditkan keduanya dengan berbagai macam dalih, seperti melakukan penanganan yang lamban bahkan melaporkan balik dengan alasan merusak nama baik institusi. Padahal, respon yang berlarut-larut tersebut berdampak serius secara psikologis bagi para korban. Ini menjadi bukti bahwa institusi pendidikan di Indonesia cenderung tidak memahami kekerasan seksual sebagai duri dalam daging dalam peta besar pembangunan sains dan teknologi Indonesia.
Sektor pendidikan adalah hulu dari kemajuan ilmu pengetahuan. Posisinya yang vital inilah yang kelak menentukan akan seperti apa pemahaman sebuah bangsa terhadap produk-produk ilmu pengetahuan yang diciptakannya kelak. Lantas, apabila pendidikannya sudah abai terhadap hak-hak dan gejala-gejala diskriminasi seksual terhadap perempuan maka di hilirnya kelak Indonesia akan menciptakan manusia-manusia pintar dengan moral dan pandangan keseteraaan yang rendah; sains dan teknologi memang membuat segala hal menjadi mungkin, namun hanya dari dan demi kepentingan kelompok laki-laki. Aspirasi ilmuwan-ilmuwan perempuan akan kian dinomorduakan.
Gejala ini sebenarnya sudah terjadi di dunia sejak sains dan teknologi modern lahir di Eropa, khususnya selama abad ke-19 ketika sains dan teknologi masif dilembagakan. Segala macam hal mengenai perkembangan sains dan teknologi, semisal pendanaan, penemuan, bahkan penulisan sejarahnya, cenderung didorong oleh dan demi kepentingan laki-laki. Perempuan cenderung ditampilkan secara nominal, pun jika ia tampil dengan penemuan yang luar biasa, skeptisisme dan serangan-serangan yang bertumpu pada ego maskulinitas, bukan akademis, menunggu mereka. Harus diakui, dunia sains memang mempromosikan budaya seksisme.
Hal-hal tersebutlah yang sejatinya coba dilawan melalui upaya pengesahan Rancangan Undang-undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang sudah digagas sejak 2015 dan dibahas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak 2017, namun entah kenapa sampai saat ini belum selesai disahkan. Budaya patriarkis dan tren kinerja DPR yang buruk adalah faktor-faktor penghambat utama lambatnya proses pengesahan RUU PKS ini, padahal, selama rentang masa pembahasan tersebut aksi-aksi kekerasan seksual tengah memasuki masa darurat dan sekian banyak korbannya kehilangan arah kala menuntut keadilan.
RUU PKS adalah gagasan yang patut diapresiasi, khususnya pengakuan dan pengutamaannya terhadap usaha-usaha penghapusan kekerasan seksual di bidang pendidikan (seperti tertera pada Pasal 5 butir 2), yang bukan hanya mencoba melawan aksi-aksi kekerasan seksual namun juga mendorong pentingnya pendidikan seksualitas sejak dini. Jika kelak disahkan, maka undang-undang tersebut akan menjadi landasan formal untuk menyisir dan membersihkan lingkungan pendidikan dari segala macam bentuk-bentuk kekerasan seksual, sehingga tidak lagi ada alasan bagi institusi-institusi pendidikan untuk berlepas tangan ketika ada kasus-kasus yang terungkap.
Pengesahan RUU PKS juga dapat dianggap sebagai pengakuan bahwa bangsa Indonesia sudah cukup dewasa untuk mengakui bahwa masalah-masalah seksualitas bukanlah hal yang tabu untuk dibicarakan, dan bahwa kasus-kasus diskriminasi hukum terhadap perempuan yang selama ini menjadi korban kekerasan seksual akibat budaya seksisme dunia sains adalah catatan hitam yang tak boleh dipraktekkan lagi. Tidak boleh ada lagi dosen-dosen yang mengambil kesempatan untuk berbuat mesum kepada mahasiswinya dan penjegalan-penjegalan struktural atau administratif terhadap karir akademisi-akademisi seseorang hanya karena ia dianggap sebagai perempuan.
Lebih jauh, RUU PKS diharapkan juga menjadi pemicu berkembangnya studi-studi seksualitas yang serius dan dapat mereformasi pemahaman masyarakat Indonesia secara menyeluruh mengenai peran setara perempuan di ranah publik. Terlebih ketika saat ini gagasan-gagasan fundamentalisme dan radikalisme agama, beserta tafsir-tafsir bermasalahnya yang dianggap menggerus hak-hak dan kebebasan perempuan, tengah mengambil posisi yang cukup serius untuk diperdebatkan dalam fenomena sosial dan politik Indonesia. Khususnya mengenai pernikahan dini dan poligami yang cenderung berujung pada masalah-masalah kekerasan seksual akibat minimnya pengetahuan seksualitas para pelakunya.
Banyak perempuan pintar dan berbakat di Indonesia, dan mungkin lebih banyak lagi dari mereka yang tidak bisa mengolah bakatnya akibat kerap terbentur budaya patriarki. Rasanya mayoritas publik akan setuju bahwa membersihkan lingkungan pendidikan dari ancaman-ancaman diskriminasi dan kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan, adalah jalan untuk memaksimalkan potensi sains dan teknologi Indonesia. Entah kapan RUU PKS akan disahkan. Jelasnya, pekerjaan rumah pemerintah selanjutnya adalah mengimplementasikannya secara menyeluruh dan mencegahnya menjadi undang-undang yang impoten karena tidak banyak orang yang tahu dan memahaminya.
Pembangunan sains dan teknologi Indonesia yang baik adalah yang bertumpu pada kesetaraan bagi orang-orangnya dalam mengeksplorasi ilmu pengetahuan dan lingkungan yang lepas dari segala macam ancaman-ancaman kekerasan seksual. Pengesahan RUU PKS, setidaknya dalam konteks upaya mewujudkan lingkungan pendidikan yang ideal, sejauh ini adalah hal penting dan bersejarah. Hasilnya memang tidak akan terlihat dalam semalam, namun gagasan melawan kekerasan seksual yang ditawarkan RUU PKS adalah investasi hukum yang menguntungkan kemajuan sains dan teknologi Indonesia kelak, sehingga tidak ada alasan untuk menolaknya.