Sabtu, April 27, 2024

Sains dan Kontribusinya pada Sepakbola

Joko Priyono
Joko Priyono
Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis buku Manifesto Cinta (2017), Bola Fisika: Beberapa Catatan tentang Sepak Bola dan Fisika (2018), Surat dari Ibu (2019), PMII dan Bayang-bayang Revolusi Industri 4.0 (2020), dan Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021).

Terlepas dari perkembangan pesat yang ada di dalam dunia sains, utamanya adalah bidang keilmuan matematika, fisika, kimia, astronomi, maupun biologi, sejarah mencatat ada andil dari ilmuwan terhadap perkembangan olahraga bernama sepakbola.

Argumen ini tentu akan memancing lisan kita untuk mengeluarkan pertanyaan sederhana: siapakah ilmuwan itu? Atau bahkan, bagaimana gagasannya? Dan tentunya menjadi bagian dan bekal kajian yang barangkali dapat dikembangkan maupun diteliti lebih lanjut dalam ruang-ruang akademis khususnya di kampus-kampus yang ada di Indonesia.

Ilmuwan tersebut adalah Heinrich Gustav Magnus yang lahir di Berlin, Jerman pada tanggal 2 Mei 1802 silam. Magnus selama hidup dikenal sebagai seorang ilmuwan eksperimental. Riwayat akan pendidikannya, saat muda ia telah menerima instruksi pribadi akan matematika dan ilmu alam. Di Universitas Berlin ia mempelajari fisika dan kimia, kurang lebih pada kurun 1822 – 1827, hingga memperoleh gelar doktornya melalui disertasi tentang telurium.

Pada tahun 1952, Gustav Magnus melakukan penelitian secara komprehensif dengan ratusan kali uji coba serta ratusan jenis posisi. Bola dibuat bergerak sambil berputar (spin). Gerakan bola menyebabkan adanya aliran udara di sekitar bola.  Dari sana, kemudian terjadinya perbedan tekanan, yang kemudian menimbulkan gaya yang menekan bola untuk membelok arah. Pembelokan bola akibat perbedaan tekanan tersebut kemudian dikenal dengan Efek Magnus untuk menghormati Gustav Magnus.

Pertanyaan demi pertanyaan tentu akan bermunculan saat membahas sepakbola dari segi sains, misalkan saja adalah dengan menggunakan analisis matematika dan fisika. Setidaknya ada sederetan teori yang dapat digunakan untuk menguliti hal-ihwal olahraga tersebut.

Tentu saja ini menjadi perspektif lain saat melibatkan teori-teori yang ada sebagai pisau analisis dari setiap kejadian yang terjadi dalam sepakbola. Sebut saja diantaranya adalah gerak parabola, gerak rotasi, gerak spin, gaya seretan, gaya gravitasi, kecepatan, atau bahkan kekuatan dalam menendang maupun menyundul bola.

Tentu saja, banyak hal yang tidak akan terlepas dari sains dalam setiap pertandingan sepakbola. Mulai dari tendangan, operan, sundulan, sentuhan pemain terhadap bola saat berada di lapangan, kecepatan berlari dari setiap pemain, dinamika penggunaan waktu tim saat berada di lapangan, penggunaan energi dalam setiap melakukan gerakan demi gerakan, hingga tentu saja adalah perkara bagaimana setiap pemain memaksimalkan kekuatan yang dimiliki untuk menggapai tujuan bersama dari visi dan misi masing-masing kesebelasan tim. Dan tak bisa dipungkiri, ketika sepakbola adalah kumpulan demi kumpulan latihan yang membentuk suatu kebiasaan atupun habit.

Piala Dunia (World Cup) tahun 2018 digelar di salah satu negara yang ada di benua Eropa, yaitu Rusia. 32 negara baik yang berasal dari benua Asia, Amerika, Afrika maupun Eropa beradu kekuatan untuk memperebutkan piala bergengsi, yang tentu saja akan melahirkan banyak kebanggaan maupun kebahagiaan jikalau suatu negara dapat memenangkan kejuaraan Piala Dunia tersebut.

Menilik dari beberapa perhelatan Piala Dunia yang telah digelar, setidaknya ada beberapa rekam jejak baik itu berupa literasi ataupun sekadar pengetahuan tambahan yang bisa memberikan perspektif lain dari pengamatan terhadap sepakbola itu sendiri. Utamanya adalah berkaitan mengenai peran sains dalam kontribusinya untuk sepakbola. Dan pada kenyataannya, sepakbola tidak akan terlepas dari hal itu. Baik berupa statistika, matematika, kimia, biologi maupun fisika.

Tak heran ketika orang-orang yang menekuni masing-masing kelompok ilmu tersebut pada sebuah waktu akan beranggapan bahwa sepakbola tak ubahnya permainan yang berkaitan mengenai fokus keilmuan dari masing-masing kajian. Bukan tanpa alasan maupun latar belakang yang mendasar, tentunya.

Berbicara berkaitan mengenai hal tersebut, ada beberapa akademisi kita yang pernah membicarakan sepakbola dari aspek sains, satu diantaranya tertuju pada perhelatan Piala Dunia 1998 serta Piala Dunia 2002. Sebut saja adalah analisis dari beberapa gol yang bisa dibilang mencengangkan maupun membuat decak kagum dari para pencinta bola.

Di Piala Dunia 1998, kita mengenal beberapa sosok pemain akan gol yang dikreasinya, salah satu diantaranya adalah Roberto Carlos. Pun juga di Piala Dunia 2002, kita mengenal sosok pemain seperti; David Beckham, Miroslav Klose, Rivaldo, Gabriel Batistuta hingga Tomas Rosicky.

Tidak jauh dari tahun yang telah disebutkan, satu fenomena yang paling menyita perhatian tentu saja adalah tendangan pisang yang dilakukan oleh Roberto Carlos saat kesebelasan Brazil berhadapan dengan kesebelasan Perancis dalam kompetisi Le Tournoi de France pada tahun 1997.

Bola yang berjarak 30 meter dan berada di posisi di sebelah kanan gawang lawan, ditendang dengan menggunakan kaki kiri sedikit dari arah luar kaki, kemudian terjadilah gol. Tentu saja membuat decak kagum dari penonton yang hadir dalam stadion. Dalam nomenklatur sains, utamanya adalah bidang keilmuan fisika, fenomena tersebut erat kaitannya dengan apa yang pernah digagas oleh Gustav Magnus.

Salah seorang ahli fisika ternama Indonesia, Yohanes Surya dalam esai yang pernah dituliskannya, Fisika Sepakbola (Kompas, 8 Juni 2002) sedikit menjelaskan perihal terkait apa yang dimaksud dengan Efek Magnus. Menurutnya, Efek Magnus akan terjadi dengan maksimum jika sumbu putar bola tegak lurus dengan arah aliran udara.

Efek ini mengecil ketika arah sumbu putar makin mendekati arah aliran udara dan menjadi nol ketika arah sumbu putar sejajar dengan arah aliran udara. Pada tendangan bebas (free kick), bola yang bergerak dengan kecepatan 110 km/jam dan berotasi dengan 10 putaran tiap detiknya, dapat menyimpang lebih dari 4 meter, cukup membuat penjaga gawang kebingungan.

Sementara itu, salah seorang peneliti Inggris, Peter Bearman pernah mengatakan bahwasannya Efek Magnus akan mengecil jika kecepatan bola terlalu besar atau rotasinya lebih lambat. Jikalau untuk mendapatkan Efek Magnus yang besar, seseorang harus membuat bola berputar sangat cepat tapi kecepatannya tidak boleh terlalu cepat.

Jika rotasi bola tidak banyak berubah, maka pengurangan kecepatan dapat menyebabkan Efek Magnus bertambah besar, akibatnya bola melengkung tajam, kemudian bola pun masuk ke gawang dan tentunya membuat penonton terpesona dan terkagum-kagum.

Dan masih banyak hal saat, sebut saja para ahli sains dari masing-masing kelompok keilmuwan, misalkan saja diterjunkan dalam sebuah pertandingan sepakbola yang normalnya berlangsung 2×45 menit tersebut.

Bisa jadi, waktu tersebut tidak akan cukup ketika harus melakukan pengamatan maupun penelitian dan selanjutnya menganalisisnya, kemudian bisa didapatkan sebuah hasil kajian dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh kelompoknya maupun oleh banyak orang.

Maka, benar ketika di salah satu bagian dalam buku Soccernomics, karya dari Simon Kuper dan Stefan Szymanski menyatakan, “cukup aneh bahwa persepakbolaan begitu ‘alergi’ untuk mempelajari data dan angka, karena salah satu hal yang menarik minat orang dalam menggemari olahraga ini adalah kecintaan mereka pada angka-angka (skor).”[]

Joko Priyono
Joko Priyono
Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Menulis buku Manifesto Cinta (2017), Bola Fisika: Beberapa Catatan tentang Sepak Bola dan Fisika (2018), Surat dari Ibu (2019), PMII dan Bayang-bayang Revolusi Industri 4.0 (2020), dan Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.