Saat ini ada sebuah kebiasaan yang mungkin secara sengaja atau tidak pada suatu acara atau di tempat makan untuk tidak menghabiskan makanan yang kita ambil. Hal ini karena ada anggapan bahwa yang melicinkan piring hingga tandas adalah prilaku orang rakus atau sedang kelaparan.
Bahkan dianggap ‘tidak pernah’ makan, makanan yang enak. Maka dari itu, terkadang kita menyisakan makanan sesendok untuk menjaga gengsi kita, walaupun sebenarnya perut ini masih sanggup untuk menampung satu sendok tersebut.
Tak mengherankan jika menurut studi The Economist Intelligence Unit 1 pada tahun 2016, Indonesia sebagai negara yang memproduksi sampah makanan nomor dua terbesar di dunia, sebanyak 300 kg per tahunnya. Kita mengungguli negara yang memiliki pendapatan kapita besar seperti Amerika Serikat yang membuang sampah makanan 277 kg dan hanya kalah kepada negara kaya dengan minyak yaitu Saudi Arabia dengan produksi sampah makanan mencapai 427 kg per tahunnya.
Hal ini menandakan bahwa gaya hidup masyarakat kita cenderung lebih konsumtif dan rendahnya kesadaran dalam bijak memperlakukan makanan.Terlihat di media sosial, kita begitu bersemangatnya memesan makanan dan mengabadikannya dalam foto, tanpa tahu nasib akhir makanan yang kita pesan masih banyak yang bersisa dan tidak sanggup untuk dihabiskan.
Ini adalah sebuah ironi, karena negara kita bukanlah negara kaya. Masih banyak Penduduk Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Fakta lain yang tak kalah mengejutkan, hasil penelitian terakhir dari Organisasi Pangan Dunia (FAO)2 memperkirakan sebanyak 19,4 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan, penyebab utamanya karena masalah ekonomi.
Dampak lain kelaparan ini, banyak balita mengalami lambatnya pertumbuhan atau stunting karena gizi yang buruk. Bagaimana nasib bangsa kita ke depan, karena masih banyak generasi muda yang tumbuh dengan gizi yang buruk, perkembangan otak yang terhambat karena kurangnya nutrisi, tetapi di sisi lain, di sudut dapur yang lain, kita masih menghamburkan makanan tak terhabiskan.
Sampah makanan sendiri berdampak pada produksi gas methan yang ternyata 21 kali lebih berbahaya daripada gas karbondioksida yang merupakan gas efek rumah kaca dan menjadi penyebab pemanasan global.
Tidak hanya makanan yang telah jadi, bahan makanan mentah juga masih sering terbuang percuma, kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan infrastruktur transportasi yang kurang memadai membuat distribusi makanan terhambat sehingga kualitasnya menjadi menurun sebelum ke tangan konsumen, bahkan menjadi tidak layak konsumsi.
Sistem distribusi ini perlu pembenahan agar nilai manfaat bahan makanan dapat bernilai jual sehingga menguntungkan bagi petani dan mengurangi ketergantungan kita akan impor bahan makanan seperti sayur, buah, dan daging.
Berdasarkan data FAO3, sebanyak 1,3 triliun ton limbah makanan terbuang setiap tahunnya di seluruh dunia atau hampir 30 persen dari total produksi pangan dunia terbuang percuma. Jumlah demikian sanggup untuk menjadi konsumsi makanan 800 juta orang misikin di dunia.
Filosofi Sebutir Nasi
Ada sebuah cerita mengenai nasib sebutir nasi yang kita sisakan. Ketika setiap makan, 250 juta penduduk Indonesia menyisakan sebutir nasi di piringnya, setara 750 juta butir nasi yang kita buang percuma. Dalam setiap kilogramnya, diperkirakan terdapat 50.000 butir.
Sehingga hanya dengan satu butir saja, kita telah membuang 15 ton beras, dengan asumsi satu kilogram dapat memenuhi kebutuhan 10 orang, maka satu butir nasi yang kita sisakan disetiap harinya di piring kita sanggup untuk memberi makan kepada 150 ribu orang.
Sebutir nasi yang mungkin selama ini kita sisakan karena perut telah merasa kenyang, ternyata jika diakumulasikan dapat memberikan dampak yang besar untuk banyak orang. Disamping itu ada keberkahan disetiap makanan yang kita makan, maka habiskan makanan hingga butiran nasi terakhir, karena kita tidak tahu dibutiran mana keberkahan itu diberikan.
Di Indonesia kini mulai bermunculan gerakan sosial seperti Hunger Bank dan Garda Pangan untuk menyelamatkan makanan yang tersisa sehingga dapat mengurangi sampah makanan sekaligus mengentaskan masalah kelaparan dengan membagikan makanan berlebih kepada masyarakat yang kurang mampu.
Makanan yang dibagikan bukanlah makanan bekas di piring kita yang tak habis termakan, melainkan makanan berlebih dan masih layak yang berasal dari restoran, food festival, distributor buah, acara pernikahan, catering, dan pastry dan & bakery yang setiap harinya untuk menjaga kualitas terhadap konsumen harus diganti dengan makanan yang baru.
Makanan yang berlebih tersebut dengan prosedur quality control yang ketat, dinilai dari sisi higienitas dan kesehatannya agar selanjutnya dapat didistribusikan kepada masyarakat yang lebih membutuhkan di hari yang sama.
Kunci menyelesaikan masalah ini tentunya bersumber dari kita pribadi. Mungkin kita masih memiliki keburuntungan untuk mampu makan tiga kali dalam sehari dengan jumlah yang membuat kita kenyang dan tidur yang nyenyak. Acap kali tanpa sadar, kita menyisakan makanan walupun hanya sedikit, dengan alasan yang beragam, perut yang telah kenyang, memesan atau mengambil makanan yang terlalu banyak, rasa makanan yang kurang nyaman dan masih banyak hal yang menjadi alasan untuk tidak menghabiskan makanan di piring.
Menjadi lebih bijak terhadap makanan yang konsumsi tentunya menjadikan diri kita untuk tidak berprilaku mubazir. Bukankah, di dalam Al Quran kita telah diperingatkan dalam Surah Al Isra ayat 27, bahwa sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
Nb:
1. http://foodsustainability.eiu.com/food-loss-and-waste/
2. http://nationalgeographic.grid.id/read/13299225/19-4-juta-penduduk-indonesia-masih-alami-kelaparan?page=all
3. https://kumparan.com/@kumparanfood/1-3-triliun-ton-makanan-terbuang-setiap-tahun-bagaimana-mengatasinya-27431110790542298