Jumat, April 26, 2024

Saatnya Reformasi BPJS Kesehatan

Roziqin Matlap
Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta Peneliti Pusat Pendidikan dan Anti Korupsi (PUSDAK) UNUSIA dan LBH Ansor

Dunia kesehatan Indonesia akhir-akhir ini dikejutkan dengan tiga aturan baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), yang termaktub dalam Peraturan Direktur (Perdir) Jaminan Pelayanan nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018.

Peraturan tersebut terkait Penjaminan Pelayanan Katarak, Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Baru Lahir Sehat, dan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Menurut pihak BPJS Kesehatan, peraturan tersebut dibuat dalam rangka efisiensi biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan.

Atas terbitnya Perdir tersebut, beberapa kalangan memandang perlunya pencabutan atau minimal penundaan keberlakuan Perdir tersebut. Penulis berpandangan lebih jauh bahwa tidak sekedar pencabutan Perdir, namun yang dibutuhkan adalah reformasi BPJS Kesehatan.

Masalah Berulang

Pada tahun 2018 ini BPJS Kesehatan memperkirakan pihaknya akan mengalami defisit hingga Rp16,5 triliun, sementara penerbitan tiga aturan baru yang diklaim mampu menghemat anggaran Rp364 miliar. Defisit merupakan masalah berulang bagi BPJS Kesehatan. Sejak berdirinya, BPJS Kesehatan tercatat terus mengalami defisit, dan nilainyat terus bertambah setiap tahun. Terakhir tahun 2017, BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp9,75 triliun.

Defisit pada akhirnya sudah menjadi hal yang dimaklumi oleh masyarakat. Sebagian masyarakat bahkan menganggap defisit BPJS Kesehatan adalah hal yang wajar di tengah upaya penjaminan kesehatan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan berlanjutnya defisit, BPJS Kesehatan tampak belum melakukan perubahan dari tahun ke tahun. Padahal defisit ini tidak terjadi saat program jaminan kesehatan dikelola oleh PT Askes (Persero), yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bahkan PT Askes (Persero) bisa membagikan dividen, meski dalam jumlah tidak terlalu besar.

Kelembagaan Tidak Jelas

BPJS Kesehatan, bersama BPJS Ketenagakerjaa dibentuk oleh negara dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), dan ditetapkan sebagai badan hukum publik. Sayangnya, bentuk tersebut masih menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan teori, badan hukum publik dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, badan hukum privat dibentuk oleh para pihak berdasarkan hukum privat.

Sejauh penelusuran peneliti, hanya BPJS yang dinyatakan dengan tegas sebagai badan hukum publik, meskipun banyak ragam badan hukum publik, mulai dari lembaga negara (pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian), BUMN/D, maupun Badan Layanan Umum (BLU).

UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU BPJS sebagai dasar berdirinya BPJS Kesehatan, tidak mengatur badan hukum publik seperti apakah BPJS Kesehatan, apakah termasuk lembaga negara, BUMN, atau BLU. Selama ini BPJS Kesehatan tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan mengenai lembaga negara, BUMN maupun BLU.

Di satu sisi, karakteristik BPJS Kesehatan berdasarkan UU BPJS mirip dengan lembaga negara karena memiliki kewenangan membuat peraturan perundang-undangan yang mengikat umum, bertanggung jawab langsung kepada presiden, serta tidak dapat dipailitkan dan dibubarkan. Di sisi lain, ia juga mirip dengan BUMN/D karena memiliki direksi dan pengawas, gaji dan fasilitas standar BUMN, memberikan pelayanan ke masyarakat dengan menyaratkan pembayaran iuran, serta mudah mendapat suntikan dana dari pemerintah dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) atau subsidi.

Namun demikian, BPJS juga memiliki sifat mirip BLU karena bersifat nirlaba dan tidak perlu menyetor dividen. Ketidakjelasan bentuk badan hukum tersebut menjadikan BPJS Kesehatan memiliki berbagai keistimewaan dibandingkan dengan lembaga negara, BUMN maupun BLU. Berbagai keistimewaan, terutama adanya sifat nirlaba, tidak perlu menyetor dividen, dan mudahnya mendapatkan suntikan dana, berpotensi menjadikan BPJS minim kreatifitas, setelah sebelumnya berbentuk BUMN.

Sebagai badan hukum publik, BPJS Kesehatan memang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Namun demikian, kewenangan tersebut justru kontraproduktif bagi pengelolaan BPJS Kesehatan. Untuk pengaturan teknis jaminan kesehatan, UU BPJS hanya mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, dan tidak mengamanatkan pembentukan Peraturan BPJS kecuali untuk pengaturan mengenai pengendalian mutu dan penanganan pengaduan peserta. Dengan adanya kewenangan BPJS membuat Peraturan BPJS, bahkan kini hingga Perdir, maka BPJS memiliki konflik kepentingan karena bertindak sebagai regulator sekaligus operator.

Reformasi Sebagai Keharusan 

Mengelola BPJS Kesehatan sebagai program sosial harus dilakukan ekstra hati-hati. Bila tidak, bisa membuka celah fraud (kecurangan). Terlebih bila berlindung dalam konsep welfare state (negara kesejahteraan). Atas nama welfare state, berbagai bantuan, sumbangan, suntikan dana, subsidi, dan penyertaan modal dari pemerintah meluncur tanpa dicek kebenaran pemanfaatannya.

Sangat disayangkan bila kebaikan negara tidak disambut dengan pengelolaan yang baik. Kita turut menyaksikan berbagai BUMN yang terus merugi, bahkan setelah mendapat penyertaan modal; bantuan sosial yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi maupun golongan tertentu, serta subdisi yang tidak tepat sasaran.

Bila ini terus terjadi, maka anggaran negara akan terbuang percuma. Kegagalan mengelola welfare state menurut Palmer (2012) menyebabkan krisis keuangan di dunia sehingga pertumbuhan ekonomi bergerak lamban, atau bahkan negatif, serta menyebaban krisis utang sebagaimana yang terjadi di Eropa, Amerika Serikat, dan negara lain. Kita sepatatutnya belajar dari kegagalan negara lain.

Dengan target bahwa pada tahun 2019 seluruh rakyat Indonesia sudah menjadi peserta BPJS, maka reformasi BPJS Kesehatan menjadi keharusan. Upaya reformasi BPJS Kesehatan memiliki kemiripan dengan reformasi birokrasi, karena keduanya merupakan aparat pemerintah dari badan hukum publik. Birokrasi seringkali menghadapi masalah multidimensional karena strukturnya yang sangat hierarkis, terkotak-kotak dan rigid serta masih adanya budaya feodalisme. Kondisi ini membuat para pejabat birokrasi kurang mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Alrasyid, 2007).

Reformasi BPJS Kesehatan perlu dilakukan mengingat implementasi welfare state rawan terjadi penyimpangan dari tujuan semula yaitu untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Hal ini pula yang menjadi sumber kritik ekonom klasik atau penganut ekonomi liberal yang tidak menyukai campur tangan negara seperti pada masa merkantilis. Campur tangan negara pada masa merkantilis ternyata dimanfaatkan oleh pejabat untuk mendapatkan manfaat pribadi dan menguntungkan kelompok tertentu. Jika itu terjadi, tidak ada lagi perlindungan bagi rakyat di bidang kesehatan. Masyarakat pun harus membayar lebih mahal biaya asuransi kesehatan, karena harga semata ditentukan oleh pasar.

Reformasi BPJS Kesehatan antara lain perlu dilakukan dengan perubahan pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. BPJS Kesehatan harus diurus sedemikian rupa sehingga menjadi badan usaha publik yang sehat.

Roziqin Matlap
Roziqin Matlap
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta Peneliti Pusat Pendidikan dan Anti Korupsi (PUSDAK) UNUSIA dan LBH Ansor
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.