Ramadhan tahun ini hampir sama seperti Ramadhan 2014 di mana bertepatan dengan panasnya suhu politik di Bumi Pertiwi. Pemilihan Presiden yang kembali mempertemukan dua kandidat sama, Jokowi dan Prabowo, membuat nuansa politik makin bergairah.
Meskipun secara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan hasil rekapitulasi suara di mana Jokowi jauh lebih unggul dari Prabowo, nyatanya hal itu tidak serta merta memadamkan bara persaingan kedua kubu. Mulai dari elite politik, tim sukses, hingga lapisan bawah yang identik disebut “Cebong” dan “Kampret”.
Cebong adalah sebutan bagi pendukung Jokowi sedangkan Kampret adalah sebutan bagi pendukung Prabowo. Dua kubu ini nyaris setiap hari berseteru terutama di medan dunia maya. Sindiran berupa satire bahkan hingga cacian yang tanpa “tedeng aling-aling” hampir setiap hari menghiasi beranda Facebook, kiriman Twitter, Instagram hingga pesan jejaring Whatsapp.
Di dunia nyata, ada sepasang kekasih yang akhirnya memilih jalan sendiri-sendiri lantaran beda pilihan politik. Dalam sebuah keluarga bahkan suami-istri berdebat hebat hingga nyaris cerai lantaran sang suami adalah Cebong dan istrinya adalah Kampret atau sebaliknya. Bahkan permusuhan keduanya sampai pada taraf agama di mana para ulama serta ormas islam terbelah menjadi dua kubu. Ada yang menyebut dirinya muslim toleran dan menyebut kubu satunya sebagai muslim radikal.
Tentu masih melekat ketika beberapa ulama dicekal di suatu daerah yang secara tersirat akibat dari beda pandangan politik. Juga dengan isu kriminalisasi ulama yang bagi para Kampret menjadi alasan untuk melakukan perlawanan politik bagi Pemerintah. Sedangkan di sisi lain, Cebong melawan dengan berteriak lantang, “Saya Indonesia, Saya Pancasila, NKRI harga mati.”
Maka jadilah hari demi hari dalam masa kampannye menjadi hari yang menggemaskan pun juga memuakkan. Hoax bertebaran, caci-maki berseliweran. Tidak peduli suasana Ramadhan, baik Cebong maupun Kampret masih sibuk saling serang hingga menyerang ke ranah pribadi. Puncaknya adalah ketika Pemilu usai digelar. Angka-angka dari berbagai lembaga survei seperti tabuhan genderang perang. Cebong bersorak, Kampret berteriak.
KPU menjadi pihak yang paling teraniaya. Kepercayaan sebagian masyarakat benar-benar sudah hilang. Berbagai video dan bukti kecurangan disebar oleh Kampret yang disikapi Cebong dengan pertahanan yang disebut “Hoax-isme”. Hingga pada 22 Mei, pecahlah kericuhan di berbagi tempat. Di Jakarta, tepatnya di sekitar Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kerusuhan antara massa dan aparat pecah. Delapan orang diporkan meninggal dunia dan puluhan lainnya dilarikan ke rumah sakit.
Jalanan menjadi medan perang yang merembet hingga ke daerah lain seperti Madura. Sekelompok massa membakar Polsek Tembalangan. Puluhan orang menjadi Daftar Pencarian Orang. Narasi dibangun. Dalam DPO terpampang jelas beberapa nama yang bergelar Habib. Cap Islam Radikal kembali mengudara hingga sampai pada titik beberapa wilayah yang ingin melakukan Referendum. Salah satu yang paling santer beritanya adalah keinginan Referendum pemerintah Aceh.
Momen tepat bagi “Cebong” dan “Kampret” untuk saling memaafkan
Bagi umat islam, momen Idul Fitri adalah momen untuk mengembalikan diri ke dalam kesucian. Tradisi “Halal bil Halal” menjadi salah satu cara untuk meraih kesucian itu. “Halal bil Halal” sendiri secara sederhana dimaknai sebagai ritual saling memaafkan satu sama lain dalam sebuah ruang pertemuan sekaligus ruang silaturahmi yang disimboliskan dengan berjabat tangan. Dalam tradisi Jawa, ada pula ritual sungkeman yaitu ketika seseorang meminta maaf kepada orang tua, juga dengan sanak-saudara yang lebih tua.
Tradisi Halal bil Halal ini sepantasnya menjadi waktu yang tepat bagi Cebong dan Kampret untuk saling memaafkan. Kembali merajut tali silaturahmi yang beberapa waktu terkahir kian menipis bahkan telah putus. Sudah saatnya keduanya saling berjabat tangan. Sebab bukan hal mustahil baii Cebong maupun Kampret pada akhirnya bertemu di jalan pulang yang sama.
Bisa jadi keduanya berada di bus yang sama, kereta yang sama, pesawat yang sama, kapal yang sama dan bahkan bertemu di kampung halaman yang sama. Sebuah momen romantis yang tentu belum tentu tercipta di hari-hari kemarin.
Dalam momen Idul Fitri tahun ini, baik “Cebong” maupun “Kampret” bisa jadi sama-sama mudik ke kampung halaman dengan pesawat, kereta, bus, atau mobil yang sama. Beristirahat dan bahkan berbagi tempat di rest area yang sama. Sebuah momen romantis yang akan sulit ditemukan di hari-hari biasa.
Idul Fitri menjadi sarana mengembalikan persatuan dan kesatuan
Sebagai negara yang majemuk dan menjadikan perbedaan sebagai sarana menjalin persatuan dan kesatuan, tentu perbedaan pandangan serta pilihan politik tidak semestinya meruntuhkan Kebhinekaan yang sudah dibangun oleh nenek moyang bangsa ini.
Perbedaan pandangan dan pilihan politik tentu tidak serumit perbedaan suku, ras dan agama. Jika perbedaan yang mendasar saja masih bisa dipersatukan oleh bangsa ini, tentu perbedaan politik sudah seharusnya juga bisa.
Idul Fitri tahun ini tidak hanya menjadi momen untuk kembali kepada kesucian secara nilai spiritual namun juga menjadi momen untuk merajut kembali keharmonisan sosial. Lebih jauh lagi, tentu juga menjadi sarana mengembalikan persatuan dan kesatuan bangsa yang sempat retak oleh panasnya pertarungan pemilihan presiden.
Sudah saatnya “Cebong” dan “Kampret” saling memaafkan, saling berjabat tangan dan mengucapkan, “Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir batin. Mari kita kembali menjalin keharmonisan dan bersama-sama memajukan bangsa dan negara.”