Kesehatan seharusnya tentang kemanusiaan tentang bagaimana negara hadir melindungi setiap warganya ketika mereka sedang berada dalam kondisi paling rapuh. Namun kenyataannya, isu kesehatan di Indonesia kerap berubah menjadi panggung politik penuh strategi komunikasi. Mulai dari janji “kartu sehat gratis” hingga klaim sukses menurunkan angka kematian, isu ini selalu mencuat ketika pemilu datang. Sayangnya, yang lebih sering kita temui bukanlah solusi jangka panjang, melainkan sekadar sensasi yang mudah menarik perhatian publik.
Saat kampanye berlangsung, wajah calon pemimpin terpampang di mana-mana. Slogan seperti “Berobat gratis tanpa repot!” terdengar sangat menggiurkan. Namun, setelah pemilu selesai, masyarakat tetap harus menghadapi layanan kesehatan yang mahal, proses administrasi yang rumit, dan fasilitas yang belum merata. Data Kementerian Kesehatan tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60 daerah masih memiliki program kartu kesehatan lokal yang seharusnya sudah tidak diperlukan lagi karena terdapat BPJS Kesehatan yang bersifat nasional. Akibatnya, anggaran daerah terbuang hingga Rp1,2 triliun per tahun hanya untuk biaya operasional dan percetakan kartu yang ujungnya tidak menambah manfaat nyata bagi masyarakat.
Dan yang lebih disayangkan, kartu tersebut sering kali disertai foto kepala daerah atau simbol politik tertentu. Program kesehatan berubah menjadi alat pemasaran politik. Di sinilah letak masalahnya: ketika pengelolaan layanan kesehatan tidak lagi berdasar pada kebutuhan masyarakat, melainkan pada apa yang terlihat menguntungkan bagi citra pemimpin.
Di sisi lain, pembangunan fasilitas kesehatan juga kerap tidak merata. Rumah sakit megah dibangun di kota besar agar mudah dilihat media, sementara puskesmas di kecamatan terpencil tetap kekurangan tenaga medis, alat pemeriksaan sederhana, bahkan pasokan obat rutin. Padahal, mayoritas penduduk justru tinggal jauh dari pusat layanan kesehatan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan kesehatan sering mengikuti kepentingan politik, bukan prinsip pemerataan.
Selain itu, pandemi COVID-19 beberapa waktu lalu menjadi bukti nyata bagaimana politik dapat memengaruhi kebijakan kesehatan. Keputusan terkait pembatasan sosial, distribusi vaksin, hingga pelaporan data kasus sering kali dipengaruhi pertimbangan citra politik. Ketika keputusan kesehatan publik dipengaruhi opini, bukan sains, kepercayaan masyarakat pun merosot. Tenaga medis di lapangan bekerja keras, sementara masyarakat bingung menghadapi informasi yang simpang siur.
Namun, kita perlu melihat bahwa bukan semua pemimpin menggunakan kesehatan sebagai alat pencitraan. Ada daerah yang mampu memberikan pelayanan dengan adil tanpa memanfaatkan simbol politik. Salah satunya adalah Kabupaten Kulon Progo, yang menguatkan layanan kesehatan dasar dengan pendekatan komunitas melalui Posyandu Prima dan kemitraan dengan fasilitas lokal. Tidak ada wajah pemimpin di setiap program, namun hasilnya jelas: angka kunjungan ke fasilitas kesehatan meningkat dan masyarakat merasakan kehadiran negara dengan nyata. Ini menunjukkan bahwa pemimpin yang baik bekerja untuk rakyat, bukan untuk baliho.
Pertanyaannya kemudian: mengapa isu kesehatan begitu diminati politisi? Karena kesehatan menyangkut kebutuhan semua orang, tanpa kecuali. Membahas kesehatan adalah cara termudah untuk mendapatkan simpati publik. Justru karena sifatnya universal inilah, politisasi kesehatan bisa sangat berbahaya bila dilakukan tanpa tanggung jawab moral. Kesalahan dalam kebijakan kesehatan tidak hanya menyebabkan program gagal, tetapi bisa mengancam nyawa.
Di sinilah peran masyarakat menjadi sangat penting. Kita harus lebih kritis ketika mendengar janji manis berupa layanan kesehatan gratis. Layanan kesehatan berkualitas bukan hanya soal biaya, melainkan soal kesinambungan sistem, standar pelayanan, tenaga profesional yang cukup, dan pengawasan publik yang kuat. Saat mendengar janji kampanye, kita perlu bertanya: apakah program ini masih berjalan setelah masa jabatan selesai? Benarkah ada anggaran yang jelas? Siapa yang akan bertanggung jawab?
Pada akhirnya, kesehatan adalah hak asasi setiap warga negara. Ia tidak boleh bergantung pada siapa pemenang pemilu atau apa warna partai yang memimpin. Semakin kesehatan digunakan sebagai komoditas politik, semakin jauh kita dari nilai kemanusiaan yang sebenarnya. Semoga ke depan, semakin banyak pemimpin yang sadar bahwa kesehatan bukan panggung pencitraan, tetapi amanah besar untuk menyelamatkan kehidupan.
Karena kesehatan bukan hanya janji di atas baliho. Ia adalah wujud kepedulian nyata. Dan negara yang maju adalah negara yang memastikan setiap rakyatnya sehat, bukan hanya yang memilihnya.
