“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia…”. Kalimat berikut merupakan bunyi pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Selanjutnya disingkat UUD NRI 1945). Hak tersebut memiliki korelasi dengan hak atas perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Konklusi yang muncul adalah setiap orang harus mendapat perlindungan hukum dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Dari sekian banyak bentuk penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat, kekerasan seksual menempati strata teratas dalam hal menyorot perhatian publik. Berdasarkan data yang dipaparkan peneliti MaPPI FHUI Bestha Inatsan Ashila, bahwa pada periode Agustus hingga Oktober 2017 tercatat ada 275 pemberitaan mengenai kekerasan seksual di Indonesia.
Secara lebih rinci, kekerasan seksual menimpa perempuan sebesar 87%, sementara laki-laki 13% (www.rappler.com/indonesia/berita/189514-indonesia-mengalami-darurat-kekerasan-seksual). Selama ini, perlindungan dari kekerasan seksual diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun perkembangan zaman membuat KUHP tidak mampu lagi memberi perlindungan hukum yang maksimal atas kekerasan seksual. Terdapat 2 (dua) alasan untuk mendukung argumen tersebut. Pertama, hanya terdapat 2 (dua) macam kekerasan seksual dalam KUHP, yaitu pencabulan dan pemerkosaan. Sehingga terlalu minim untuk perlindungan hukum atas kekerasan seksual.
Kedua, pada KUHP hanya dikenakan sanksi pidana bagi pelaku, namun tidak diiringi dengan pemulihan atas kerugian yang dialami korban. Kelemahan-kelemahan itu mencoba diperbaiki lewat RUU Perlindungan Kekerasan Seksual (RUU-PKS).
Dalam pembicaraan sehari-hari mengenai kekerasan seksual, stereotype yang terbangun di masyarakat menempatkan wanita sebagai satu-satunya korban kekerasan seksual. Nuansa demikian juga terlihat pada Naskah Akademik RUU PKS. Hal ini berimplikasi kepada substansi RUU PKS yanng lebih condong memberi perlindungan hukum kepada perempuan. Data-data yang terkumpul memang menyatakan bahwa perempuan adalah korban paling dominan.
Namun demikian tidak mengesampingkan fakta bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban dari kekerasan seksual. Contohnya seperti pada kasus Ibu Emayartini yang memperkosa 6 laki-laki. Kedudukan laki-laki sebagai korban pada realitanya kurang diperhatikan. Hal ini dikarenakan telah tercokol kokoh dalam masyarakat jika patriarki merupakan sistem sosial yang berlaku.
Sistem patriarki menempatkan laki-laki sebagai penguasa tunggal, sementara perempuan adalah pihak inferior, sehingga melahirkan hubungan yang subordinat. Hubungan yang demikian menyebabkan laki-laki menjadi pihak yang gagah dan memiliki kekuasaan atas perempuan. Hal ini yang menyebabkan laki-laki seringkali melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan, dengan sistem patriarki sebagai alat legitimasinya. (https://news.detik.com/berita/2616422/divonis-8-tahun-penjara-ibu-muda-pemerkosa-6-anak-laki-laki-ajukan-kasasi)
Akibat dari budaya yang demikian, melahirkan pola pikir bahwa pelaku adalah laki-laki dan korban adalah perempuan dalam kasus kekerasan seksual. Status ini tidak menguntungkan bagi laki-laki. Bukan karena mereka di posisi sebagai pelaku, namun karena seakan-akan tidak mungkin laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Berlaku prinsip “all sex is good sex” bagi laki-laki. Melahirkan kesan bahwa laki-laki tidak mungkin mengalami kekerasan seksual.
Pandangan yang demikian menimbulkan kerugian bagi laki-laki hingga pada tataran perlindungan hukum. Seperti pada pasal 285 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan…” Secara eksplisit pasal ini memposisikan korban adalah wanita, dan pelaku adalah pria.
Pasal ini menutup kemungkinan adanya pemerkosaan oleh perempuan terhadap laki-laki. Lalu bagaimana jika ada seorang perempuan yang mengancam seorang laki-laki agar dirinya disetubuhi laki-laki tersebut? Semua unsur pasal 285 KUHP terpenuhi, kecuali objek perbuatannya yang seorang laki-laki, bukan perempuan.
Akibatnya perempuan tersebut tidak bisa dikategorikan melakukan pemerkosaan. Berangkat dari hal tersebut, perlu kiranya laki-laki mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan perempuan dari kekerasan seksual. Asas non-diskriminasi harus dianut dan dijiwai dalam RUU PKS.
Dalam Naskah Akademik RUU PKS dijelaskan bahwa non-diskriminasi merupakan asas yang mencerminkan perlakuan yang tidak membedakan, tidak menyingkirkan/mengecualikan korban berdasarkan latar belakang apapun, atau mengutamakan pihak lain. Latar belakang yang dimaksud disini salah satunya adalah jenis kelamin.
Asas non-diskriminasi sendiri tertuang dalam pasal 2 huruf b RUU PKS. Namun asas non-diskriminasi sepertinya masih sekedar embel-embel yang hanya dicantumkan saja. Justru pada RUU PKS sendiri tertuang substansi yang bersifat diskriminatif dalam ketentuan pasalnya. Seperti pasal 40 ayat (4) berbunyi “Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diutamakan berjenis kelamin perempuan.” Pendamping yang dimaksud adalah pendamping korban kekerasan seksual.
Frasa “diutamakan berjenis kelamin perempuan” mengisyaratkan bahwa korban adalah berjenis kelamin perempuan, sehingga diutamakan mendapat pendamping yang berjenis kelamin sama yaitu perempuan. Apakah kemudian jika korbannya adalah laki-laki tetap diutamakan mendapat pendampingan dari perempuan?
Tentu ketentuan yang demikian memperlihatkan adanya diskriminasi dengan lebih berorientasi pada perempuan sebagai korban, tanpa mengindahkan laki-laki sebagai potensial korban juga. Sehingga perumusan ulang ketentuan tersebut haruslah dilakukan. Hal ini agar tidak terjadi diskriminasi dalam proses pendampingan korban kekerasan seksual, atau dalam arti lebih luas dalam perlindungan hukum atas kekerasan seksual.
Bahwa urgensi adanya Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah dalam rangka lebih meningkatkan perlindungan hukum atas kekerasan seksual yang terjadi. Pada realitanya, kembali ditekankan bahwa kekerasan seksual terjadi kepada setiap jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu, RUU PKS harus mengandung substansi yang berorientasi pada perlindungan hukum kepada kedua jenis kelamin tersebut. Bukan hanya satu, namun keduanya.
Dengan demikian, maka asas non-diskriminasi bukan hanya tertuang dalam pasal 2 huruf b RUU PKS, namun menjiwai setiap ketentuan pasal dalam RUU PKS. Mari akhiri tulisan ini dengan merenungi adagium hukum berbunyi “Id perfectum est quad ex omnibus suis partibus constant” yang kurang lebih berarti: Sesuatu dinyatakan sempurna bila setiap bagiannnya komplit. RUU PKS belumlah sempurna jika belum memandang sepenuhnya laki-laki sebagai pihak korban.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Irma Sakina dkk. “Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia”. Jurnal Social Work Vol. 7 No. 1.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.