Sabtu, April 20, 2024

RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan?

Rohmatul Izad
Rohmatul Izad
Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Formula yang terdapat dalam judul “RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan” tampaknya masih menimbulkan masalah serius. Frasa di dalamnya juga mengandung sejumlah polemik-untuk tidak mengatakan keliru-, bahkan secara logika-redaksional cukup rancu dan tidak kompatibel.

Jika RUU ini dimaksudkan untuk mengelola berbagai sistem pendidikan keagamaan di negeri ini, harusnya cukup menggunakan judul “RUU Pendidikan Keagamaan” saja, yang saya kira lebih mewakili substansi UU, sebab pesantren hanyalah salah satu bagian dari lembaga dan sub-kultur pendidikan keagamaan di tangah air.

Persoalan yang menurut saya perlu untuk dikaji ulang adalah untuk apa sih sebenarnya pendidikan keagamaan yang umumnya dikelola oleh masyarakat ini, lalu diatur oleh UU? Atau katakanlah mengapa pemerintah ikut campur? Mengapa pula “kuasa negara” terasa begitu menggebu-gebu untuk mengatur pendidikan keagamaan semacam pesantren, pendidikan di Gereja, dan yang lainnya?

Apakah benar hal ini terkait dengan sejumlah ketakutan yang menghantui pemerintah dengan menganggap bahwa pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan lain menjadi tempat yang subur bagi lahirnya “radikalisme”? Hadirnya RUU ini ternyata dapat memberi gambaran yang terang betapa negara ingin mengintervensi kemandirian masyarakat dalam mengelola pendidikan yang mereka miliki.

Paling tidak, bentuk pengaturan baru terhadap lembaga pendidikan keagamaan yang tertuang dalam RUU ini akan berdampak pada hilangnya atau berkurangnya keragaman pola dan budaya pendidikan keagamaan yang selama ini telah berjalan dengan tanpa kendala. Di tambah negara sendiri seringkali membuat dan memaksakan kebijakan secara beragam dan terlalu sentralistik untuk mengatur semuanya.

Jika ditarik pada persoalan hukum, apa akibatnya bila di lapangan terdapat pesantren atau lembaga pendidikan lainnya yang “tidak mau” atau tidak patuh terhadap UU ini? Terhadap pengandaian fakta ini, apakah kyai, ustadz, pastur, bikhu atau lembaga itu sendiri kemudian akan dikriminalisasi? Cukup pelik jika itu terjadi.

Satu Contoh Masalah                                                  

Pada Rabu, 24 Oktober 2018 lalu, sumber detik memberitakan bahwa Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) keberatan dengan dua pasal tentang pendidikan umat Kristen di RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.

Begini redaksi keberatannya “Kami melihat, ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja.

Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja”, demikian salah satu poin dalam pernyataan resmi PGI yang dimuat di situs resmi.

Poin keberatan dari PGI di atas menunjukkan bahwa negara tidak paham betul dengan substansi yang terdapat dalam Pendidikan Keagamaan di negeri ini. Lebih lanjut, PGI juga menyatakan bahwa model pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi tidak bisa disetarakan dengan pesantren. Oleh karenanya, RUU ini justru malah menambah masalah baru di mana model kesetaraan pendidikan akan menghilangkan  pola dan budaya yang sudah ada.

Padahal, salah satu tujuan dari lahirnya UU ini adalah untuk mengembalikan pesantren dan lembaga pendidikan  keagamaan lainnya pada jati dirinya masing-masing. Jika yang terjadi justru sebaliknya, atau melahirkan masalah baru terkait pola pendidikan dan pengajarannya, maka dapat dipastikan lembaga keagamaan tersebut malah akan menjauh dari jati dirinya yang sebenarnya.

Memang, banyak yang beranggapan bahwa UU ini merupakan kebutuhan bagi kalangan pesantren dan pendidikan keagamaan yang lain. Sebab, UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini bisa diartikan menghadirkan satu kesempatan praktik di pesantren yang direkognisi oleh negara.

Selain itu, salah satu poin penting dalam UU tersebut adalah adanya alokasi anggaran pendidikan bagi pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lainnya.  Ini merupakan kepentingan mendasar karena dengan alokasi anggaran ini, maka ada proyeksi keberpihakan pada kesejahteraan rakyat. Tetapi yang perlu dikaji ulang, apakah UU ini sudah mengakomodir semua kebutuhan pesantren dan pendidikan keagamaan? Saya kira masih banyak yang belum.

Sebuah Apresiasi

Saya sendiri cukup mengapresiasi bila pemerintah bermaksud melakukan pemerataan perhatian terhadap seluruh lembaga pendidikan agama di negeri ini, misalnya adanya dukungan anggaran publik untuk membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan. Khususnya yang selama ini masih tertinggal dan terbelakang akibat ketimpangan ekonomi pada lembaga-lembaga pendidikan yang sudah terlanjur berjalan dengan logika profit dan swastanisasi.

Sejauh ini, banyak lembaga pendidikan di berbagai pelosok negeri, seperti sekolah-sekolah Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan tak terkecuali juga madrasah-madrasah Islam, masih sangat kesulitan dalam hal pendanaan.

Jika aspek pendanaan atau alokasi anggaran ini sangat penting dan mendasar, maka seharusnya dana itu diambil dari uang pajak, bukan dana pinjaman dari korporasi atau Bank Dunia/IMF. Meski hal ini pun bukan tanpa masalah, kerena lembaga-pembaga pendidikan agama dari kalangan “minoritas”-yang selama ini ditindas dan diskriminasi oleh kebijakan pemerintah sendiri- tidak akan turut memperoleh bagian dari jatah anggaran publik yang dialokasikan.

Terakhir, hal yang paling inti dari kehadiran UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah bagaimana ia dapat mengakomodir semua kebutuhan pendidikan agama. Seperti misalnya soal pendanaan dan pemberlakuan pola pendidikan. Dalam konteks ini, pemerintah harus benar-benar mengerti sistem pendidikan yang selama ini berlaku di lembaga keagamaan, agar kebijakan-kebijakan barunya tidak merugikan lembaga tersebut. UU ini juga harus berorientasi pada kemajuan dan dapat melahirkan generasi baru yang secara moral dan intelektual cukup mumpuni.

Rohmatul Izad
Rohmatul Izad
Alumni Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.