Jumat, April 26, 2024

RUU Omnibus Law: Paradigma Kuno dalam Meningkatkan Kesejahteraan

Muhammad Farhan
Muhammad Farhan
Mahasiswa Akhir FEB Universitas Brawijaya, Malang. Presiden Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya 2020. Mahasiswa Berprestasi FEB UB dan Akuntansi Nasional 2019.

Pemerintah Republik Indonesia sedang berupaya meningkatkan iklim investasi melalui konsep Omnibus Law yang terdiri dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, Pemberdayaan UMKM, serta Perpajakan.

RUU tersebut bertujuan untuk memicu penciptaan lapangan kerja yang selama ini dinilai sulit karena tumpang tindih birokrasi. Menurut Audrey Obrien dan Lili Rasyidi Omnibus Law adalah Rancangan Undang-Undang yang mengandung lebih dari satu materi atau beberapa materi yang dijadikan satu Undang-Undang. Tertanggal 13 Februari 2020, pemerintah resmi mengajukan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI yang mencakup 11 bidang kebijakan, 79 Undang-Undang multisektor, dan 174 pasal.

Menurut catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia, regulasi wirausaha di Indonesia masih inkonsisten. Contohnya Hak Guna Bangunan (HGB), dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 disebut jangka waktunya 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 20 tahun.

Sementara, dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 adalah 80 tahun dengan diperpanjang di muka 50 tahun serta diperbarui untuk 30 tahun. Aturan yang berbeda ini menimbulkan kebingungan ketika pengusaha berkonsultasi dengan Badan Pertanahan Nasional ketika HGB akan berakhir.

Iklim bisnis di Indonesia menurut laporan World Bank Group, menempati urutan ke-73 dengan skor terendah pada aspek Starting a Business. Sejak 2014, Indonesia pernah menduduki peringkat 120, 106, 91 hingga sekarang berada di posisi 73.

Artinya secara grafik Indonesia mengalami kemajuan iklim wirausaha. Namun begitu pemerintah tetap ingin mendorong sektor investasi dengan “terobosan” Omnibus Law karena angka pengangguran terbuka per Agustus 2019 mencapai 5,28%. RUU Ciptaker diharapkan mampu menjadi solusi atas persoalan pengangguran di Indonesia.

Negara-negara maju dalam perkembangannya telah menerapkan model Green Economy, yaitu kebijakan ekonomi yang ramah terhadap sosial dan lingkungan. Lantas apakah dalam praktiknya model ekonomi Indonesia sudah selayaknya menjadi kelas papan atas? RUU Ciptaker menjawab sebaliknya.

Para pemangku kebijakan berpikir mundur dengan mengedepankan perekonomian model kapitalistik kuno yang hanya mengedepankan nilai perekonomian seraya menjustifikasi pengorbanan lingkungan maupun eksploitasi pekerja. Sebagai contoh pasal 23 menghilangkan kriteria spesifik pengadaan AMDAL, sifat publik, serta pengurangan sanksi administratif bagi pencemar yang mana mencederai prinsip 10 pada Rio Declaration.

Tidak hanya itu, pada aspek ketenagakerjaan RUU ini berusaha menghilangkan upah minimum, pesangon dan mengganti sistem kerja menjadi per jam. Upaya tersebut adalah bentuk eksploitasi manusia dan seharusnya tidak dilakukan oleh negara sekelas anggota G-20.

Di sisi lain, Negara-negara kelas atas lainnya justru telah menerapkan konsep modern ini diantaranya India’s National Rural Employment Guarantee Act: program untuk menjamin pesangon pekerja domestik dan Renewable Energy in China: The outline of 11th Five-year Plan: Kebijakan alokasi anggaran untuk energi terbarukan. Itu artinya, spirit yang dibangun pada RUU Ciptaker sejak awal sudah jelas bertabrakan dengan pola perekonomian negara kelas atas.

Jikalau kita melihat kampanye pemerintah dalam mensosialisasikan RUU Ciptaker, kita akan selalu mendapati janji manis akan sebuah lapangan pekerjaan yang berujung pada kesejahteraan masyarakat.

Namun apakah itu sepenuhnya benar?  Sebuah studi yang dilakukan oleh Brueckner dan Lederman tahun 2015 menunjukkan hasil dengan premis bahwa peningkatan pada 1.1% PDB per kapita dapat menurunkan 1 poin persentase pada Koefisien Gini dalam 5 tahun.

Hal itu disebabkan karena sirkulasi perekonomian terutama di negara berkembang hanya berkutat pada para pemilik modal dan mayoritas berfokus pada eksploitasi sumber daya alam sehingga ketimpangan akan semakin membesar antara kelas atas dan kelas menengah ke bawah.

Badan Kordinasi Penanaman Modal mengkonfirmasi premis tersebut dengan melaporkan investasi tahun 2019 mencapai Rp. 809,6 Triliun yang mana mayoritas berfokus pada bidang pemanfaatan sumber daya alam yaitu gas, air, logam, dan listrik.

Lebih dari itu, RUU Ciptaker bahkan memanjakan para pemodal dengan penurunan persentase pajak menjadi 22% dan 17% bagi WP domestik padahal penghindaran pajak badan usaha seperti kasus panama papers dsb mencapai kerugian 500T dalam periode 10 tahun tanpa penegakan hukum yang tegas.

Fenomena ini mengindikasikan sebenarnya dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, persoalan nya tidak hanya terletak pada birokrasi, tetapi juga pada aspek kelembagaan dan diversifikasi investasi. Sayangnya, RUU ini seakan buta akan persoalan lainnya.

Permasalahan birokrasi perlu diakui keberadaannya sehingga tetap memerlukan perbaikan. Namun RUU Ciptaker bukanlah jawaban karena terlalu banyak keberpihakkan terhadap kelas atas yang mengakibatkan ketimpangan semakin luas.

Indonesia harus segera menerapkan Partnering for Green Growth and Global Goals (P4G) National Platform: sebuah konsep Green Economy yang diusung oleh Bappenas sehingga tidak hanya sekedar menjadi sebuah dokumen Blueprint. Dari sisi kelembagaan, perlu juga penetapan UU Tipikor sektor Swasta yang saat ini hanya ditemukan pada sektor BUMN.

Jikalau pemerintah menginginkan peningkatan performa ekonomi, kita mempunyai solusi alternatif yang lebih ramah terhadap manusia. Investasi terhadap Human Capital dengan Social Investment Approach dapat menjadi salah satu solusi.

Hasil studi Seoul National University menunjukkan social service orientedness dapat meningkatkan economic growth. Social service dapat diartikan dengan dengan kebijakan sosial berbasis kebutuhan non-materiil bagi masyarakat kelas rentan seperti drug abuse counselling, health services, dan child care services serta diiringi dengan cash transfer dan pelatihan vokasi yang memadai,

Penelitian ini pula berkesimpulan bahwa paradigma Keynesian dan Neoliberal hanya mengkonsiderasikan ukuran welfare state dan gagal memperhitungkan struktur kesejahteraan yang lain.

Tujuan negara yang salah satu nya memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial dapat tercapai apabila pemerintah mau memberhentikan pembahasan Omnibus Law. Seyakinnya, usaha menuju tujuan tersebut selalu memiliki banyak jalan alternatif.

Oleh karena itu, diperlukan gerakan pembaharu dan paradigma sosial komprehensif yang datang tidak hanya dari sisi pemangku kepentingan, tetapi juga dari elemen masyarakat yang merespon positif segala kebijakan. Hal tersebut dapat terjadi hanya apabila pemerintah mampu menerapkan prinsip Good Governance yang partisipatif.

Muhammad Farhan
Muhammad Farhan
Mahasiswa Akhir FEB Universitas Brawijaya, Malang. Presiden Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya 2020. Mahasiswa Berprestasi FEB UB dan Akuntansi Nasional 2019.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.